Naura terbangun setelah dua hari tidak sadarkan diri dalam kondisi tubuhnya tetap utuh, bahkan di rawat dengan baik. Selang infus terpasang pada tangannya, luka yang sudah terobati dengan sangat baik.
Sudah 1 bulan sejak Naura membuka matanya kembali, Delice tidak menemuinya. Delice sedang mengurus perusahaan dengan sangat baik, sehingga tidak ada waktu untuk kembali ke mansion.
Saat Delice tidak kembali ke mansion, seharusnya Naura merasa senang dan tenang. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Naura merasakan kesepian yang mendalam. Hampir semua buku yang ada di ruang baca Delice, terbaca oleh Naura, tapi tetap saja hatinya terasa kosong.
"TUAN DELICE SUDAH KEMBALI!"
"MASALAH BESAR KALI INI."
"APA TUAN AKAN MENYIKSA GADIS YANG DI BAWANYA?"
Jantung Naura berdebar sangat hebat, ketika mendengar para pelayan di mansion membicarakan soal Delice yang sudah kembali. Naura mengatur nafasnya, keberaniannya, hatinya, semuanya Naura siapkan untuk menghadapi Delice.
"Nona, mari saya bantu untuk bersiap-siap," Maria masuk dengan membawa sebuah gaun putih di tangannya. Seperti biasa, Naura di perlakukan seperti seorang putri sejak Delice tidak ada.
"Bersiap untuk apa?" tanya Naura.
"Tuan ingin mendengar Nona bermain piano," jawab Maria.
Naura menuruti keinginan Delice, tanpa membantah. Penyiksaan pada malam itu, tidak ingin di rasakan lagi olehnya. Rasa sakitnya masih membekas tajam meskipun lukanya sudah hampir sembuh total.
Naura terlihat begitu anggun, dengan dres putih selutut dan bagian atas tanpa lengan, hanya terdapat dua tali yang terikat seperti sebuah pita. Naura tidak terlalu nyaman, karena menurutnya, dress itu sangat terbuka.
Naura masuk ke dalam ruangan kosong dan hanya ada piano di sana. Tapi tidak hanya ada Naura dan Delice, ada seorang pria yang duduk di depan piano.
"Kemarilah!" pinta Delice.
"Mulai!" perintah Delice pada pria itu. Delice menarik Naura untuk mulai berdansa dengannya dan di iringi oleh suara piano yang di mainkan oleh pria paruh baya.
"Aku... Aku tidak bisa berdansa," ucap Naura ragu karena sudah 7 x, kakinya menginjak kaki Delice.
"Aku akan mengajarimu sampai bisa!" Delice menghentikan gerakannya. "Injaklah kaki!" perintahnya.
"Tap... Tapi..."
"Kau tidak berat. Kalau hanya menompang tubuhmu ytang sebesar kedelai, tidak akan membuat tubuhku sakit," Naura menuruti perintah Delice.
Naura mulai melepaskan heels pendek yang di pakainya, lalu perlahan naik di atas kaki Delice. Delice memulai gerakannya dengan perlahan. Ke kanan, ke kiri, ke depan ke belakang, semuanya gerakan di lakukan oleh Delice secara sempurna.
"Mungkin, kalau kau baik dan lembut seperti ini, aku bisa mencintaimu sebagai seorang Istri. Tapi... jika seperti malam itu, apa aku bisa menahannya seumur hidup," batin Naura.
Meskipun para pelayan mengatakan Delice pulang dengan emosi yang siap meledak, tapi saat ini... Naura sedang merasakan kelembutan dari seorang Delice.
"Sisimu yang mana sebenarnya darimu yang benar? Atau kau memiliki dua kepribadian itu?" batin Naura.
"Kita akan terus berlatih dansa. Dalam 1 minggu, kau harus bisa menguasainya," ucap Delice. Kelembutan yang baru saja di rasakan oleh Naura, hilang seperti di terpa oleh angin.
"Iya!" jawab Naira.
Jam makan malam sudah tiba, Delice menghentikan latihan mereka. Naura tidak tahu alasan apa yang membuat Delice harus melatihnya berdansa dalam satu minggu ini.
Naura juga tidak berani untuk bertanya, karena di hadapan Delice, tidak ada tempat untuknya berbicara. Satu kata yang terucap dan tidak di sukai Delice, lidah menjadi taruhannya.
"Ayo, kita harus makan dulu," Delice menggandeng tangan Naura dengan hangat.
Naura hanya tersenyum saat Delice tidak kasar padanya. Naura tidak menyadari, senyumnya bisa menjadi bumerang untuk kedamaian hidupnya.
"Duduk!" sikap Delice berubah lagi menjadi sangat mengerikan. "Makan yang banyak!" pinta Delice.
Delice mengambilkan makanan yang sangat banyak ke dalam piring Naura. Makanan satu piring besar penuh, membuat Naura tidak lagi merasakan lapar di perutnya.
"Kalau aku tidak menghabiskannya, apa yang ajan dia lakukan padaku?" batin Naura.
Naura sudah merasakan ketakutan yang mendalam, sehingga tangannya gemetaran saat menyentuh sendok dan mulai menyuapkan satu sendok makanan ke dalam mulutnya.
"Apa makanannya tidak enak?" tanya Delice.
Delice sudah menyelesaikan makannya, sedangkan Naura sudah mual karena harus terus memaksa makanan masuk ke dalam perutnya. Perut kekenyangan tapi makanan masih setengah lebih di dalam piringnya.
BRAKKKKKK
"Aku bertanya padamu, apa makanannya tidak enak? Kenapa kau seperti enggan untuk memakannya?" bentak Delice sembari memukul meja dengan sangat keras.
"Tidak, Tuan. Tapi..."
Naura belum selesai menjawabnya, tapi Delice sudah mencengkram rahangnya dan menyuapkan sendok demi sendok makanan ke dalam mulut Naura.
"Kalau aku katakan kau harus makan, berarti kau harus makan!" bentak Delice.
Penderitaan Naura tidak hanya itu, Delice bahkan membenamkan wajah Naura ke dalam piring yang penuh dengan makanan. Delice juga menyiramkan satu teko air putih ke wajah Naura.
"Aku tidak suka di bantah! Kau tahu itu, tapi kau tetap melakukannya lagi!" bentak Delice lagi.
Naura merasakan matanya yang mulai pedih, Delice menarik rambut Naura dan menyeretnya masuk ke dalam kamar.
"Tuan... Ampun! Saya minta maaf... Tolong jangan siksa saya lagi... Saya mohon Tuan..."
HIKS... HIKS... HIKS...
Delice tidak menghiraukan tangisan yang terdengar pilu, tidak menghiraukan rintihan dari Naura. Bahkan Naura yang sudah memohon belas kasihan darinya, tidak bisa meluluhkan kekesalannya.
"Aku tidak ingin melakukan ini, tapi kau memaksaku melakukannya. Kau sendiri yang mengundang emosiku," ucap Delice dengan sangat keras.
Delice memasukkan kepala Naura ke dalam air di bathtub berisi air hangat yang di siapkan Olin untuk di pakai Delice mandi. Tapi air itu, malah di gunakan Delice untuk menyiksa Naura.
Delice terlalu lama membenamkan kepala Naura ke dalam air, hingga tubuh Nuara lemas, tidak bisa bernafas. Delice menarik kepala Naura supaya bisa menghirup oksigen.
"Aku tidak ingin menyiksamu, jadi jangan mengundang amarahku!" ucap Delice pada Naura.
"Olin! Olin!" teriak Delice.
"Iya, Tuan!" jawab Olin.
"Kau bersihkan Nyonya, dan suruh dia istirahta dengan baik. Aku tidak kembali sampai 3 hari ke depan. Pastikan, Nyonya aman dan nyaman di sini," ujarnya lalu pergi.
"Nyonya, mari saya bantu," Olin membantu Naura untuk berdiri.
"Saya bisa membersihkan tubuh saya sendiri," ucap Naura.
Naura meminta Olin untuk menyiapkannya pakaian. Naura ingin membersihkan dirinya sendiri sembari menangis sepuasnya di bawah guyuran air dingin. Perasaannya sangat tertekan dengan sikap Delice yang tidak menentu dan sering berubah-ubah.
Naura mengusap wajahnya yang tergores garpu, wajah cantiknya sekarang terlihat begitu kurus. Tangan yang penuh dengan luka, meskipun bekasnya sangat samar dan tidak terlihat.
Tangan lentik dan cantik yang biasa di pakai untuk bermain piano, kini terlihat lebih kecil. Hidup bebas tapi beraturan, sudah lenyap dan yang tertinggal hanyalah hidup seperti sebuah burung di dalam sangkar.
"Delice, dirimu yang mana yang harus aku percaya? Kadang kau baik, kadang kau menyiksaku hingga aku hampir mati," gumam Naura.