Arkan membalut telapak tangannya dengan kain tipis, dia membelit kan dengan rapi hingga kain tersebut habis dan di ikat.
"Apa lo yakin? mau ngehajar gue sekarang, Arkan?" cowok di ujung barat menyeringai setan.
Arkan mendelik.
Kedua tangan Richo di masukkan ke saku celana, tidak merasa takut dengan ancaman dari sahabat kekasihnya itu.
Richo tenang-tenang saja.
Arkan maju dua langkah, napasnya mulai tidak netral.
"Lo benci banget, ya sama, gue?" Richo bertanya santai.
Arkan menatap penuh amarah.
"Waktu kenalan dulu, lo keliatan baik." Richo mulai cerita sedikit, saat pertama dia dan Arkan bertemu, "..tapi, aslinya lebih busuk dari bangkai."
Arkan semakin memanas, tubuhnya mulai bercucuran keringat dingin.
"Freya, bodoh banget. Dia percaya aja sama lo yang modelan begini." Richo mulai mencemooh.
"Tutup mulut lo, bajingan!"
Richo tersenyum.
"Kalau aja lo waktu itu nurut, gue ga mungkin kayak gini." Arkan menyanggah, dia tidak bersalah.
Richo masih memasang seringai yang belum memudar, "Ngomong-ngoong soal bajingan...disini itu, gue? atau.. elo?"
Arkan sudah naik pitam, tangan yang terbalut kain itu segera meninju rahang Richo dengan ganas.
Richo sampai terkapar lemas, dia tidak bisa menghindar dari setiap tinjuan Arkan terhadapnya.
Perut Richo memanas. Arkan baru saja menginjak dan menendangnya tak kenal ampun, sampai Richo kualahan dan tidak bisa melawan.
Arkan berjongkok, sebelah lututnya tepat di depan wajah Richo, dia memperingati, "Lo jangan pernah deketin Freya lagi! karena lo emang ga cocok sama dia!" Arkan memekik, menekan setiap ucapannya.
Richo tersenyum tipis, bibirnya terasa perih walau ingin tersenyum, pun. Richo membalas, "Sampai kapanpun, gue ga akan pernah.. ninggalin cewek yang gue cinta."
"Terserah lo! ngomong sama lo emang buang waktu." Arkan berdiri, dia menatap Richo jijik.
Arkan melangkah pergi meninggalkan Richo yang tengkulai di atas aspal, segera menaiki motornya dan melaju dengan kecepatan tinggi.
Richo mendesis, Arkan sudah di rasuki setan. Richo tidak habis pikir dengan tinjuan Arkan yang semakin membuatnya sekarat.
Tapi bagi Richo itu bukanlah akhir.
Justru, Richo menantikan Arkan untuk menghajarnya nanti...menunggu Arkan menambah benci padanya.
***
Arkan melepas helmnya, dia simpan di atas tangki motor.
"Kalian pada ngapain?" Arkan bertanya bingung, menatap orang-orang yang menunggu di depan pintu rumahnya.
"Freya ngajak kita kesini, Ar. Lo emang darimana?" Milano bertanya kembali.
Arkan tampak kebingungan untuk menjawab. Arkan menoleh, dia melirik Freya yang berjalan dari arah belakang.
"Kenapa ga jawab? gue ngajak semua buat ngumpul bareng, sesuai omongan waktu di kantin, kan? kita udah nunggu lo tiga jam lebih disini, Arkan." ucapan Freya terdengar seperti mengintimidasi Arkan, cowok itu bungkam.
"Lo berdua ada masalah apa, si?" Guntur berjalan mendekat, satu tangannya merangkul bahu Arkan, "Come on, man. Lo selalu cerita ke gue, ke Trian soal apapun. Kenapa sekarang, lo kayak menghindar dari kita."
Arkan diam seribu kata, dia tidak bisa menjelaskan.
"Ar, lo abis berantem?" tanya Freya.
Arkan menghela napas, "Engga, lah."
"Seragam lo ada bercak darah."
Damn!
Arkan lupa.
"I–itu cuma darah ayam..tadi gue ga sengaja nabrak pas ngebut."
Trian yang duduk di teras rumah Arkan mengeryit, memang ada orang menabrak ayam darahnya sampai muncrat kena baju? dan tepat di kerah baju tersebut?
"Bohong!"
Arkan semakin cemas.
"Itu darah orang, lo habis lakuin apa, Arkan?" Freya semakin buat Arkan gelisah.
Arkan takut Richo akan mengejeknya, jika dia cerita yang sebenarnya. Richo pasti belum puas menjatuhkan harga dirinya di depan Freya.
"Jawab jujur aja, Ar." Galen menyahut, tidak ingin berlama-lama dengan masalah yang tidak jelas itu.
Arkan semakin bingung, "Tadi gue hajar preman, udah berani halangin jalan gue."
Semuanya mengangguk, alasan Arkan masuk akal.
"Lo bisa hubungin kita kalo ada apa-apa." komentar Guntur.
Arkan tersenyum.
"Nah, kita juga bisa kok bantuin lo..pasti itu preman badannya gede-gede." timpal Milano.
"Kalian kayak gatau, Arkan. Dia orang sekampung juga di buat lebam, apalagi preman satu..ya, kan, Ar?" Trian menyahut sambil kedua tangannya terlipat.
"Bisa aja lo."
Freya belum percaya, Arkan pasti berbohong. Selain dia jago dalam hal berkelahi, cowok itu paling pandai merangkai kata alasan untuk teman cowok-cowok 'nya.
Freya akan mencari tahu sendiri.
Kenapa Arkan tidak ingin berkata jujur padanya.
>>>
Richo berjalan santai menuju tempat yang kekasihnya kirimkan lewat pesan chat. Dia selalu memamerkan senyumannya di setiap langkah, tidak peduli jika ada yang mengumpat---seperti orang gila.
Luka lebam di wajahnya masih terpancar jelas, plaster di sudut pelipis terlihat baru di tempel, tampilannya seperti anak muda seumurannya--kekinian. Richo itu sangat sempurna jika dia bisa merubah... pola pikirnya.
"Hello, baby."
Freya membuang muka.
Richo duduk tepat di depan Freya, dia berucap, "Tumben, kamu yang ngajak duluan."
Freya datar, dia menghela napas sebelum menjawab, "Apa. Yang udah lo lakuin ke, Arkan?"
Richo berkedip, dia tersenyum manis, "Memangnya, Arkan kenapa?" cowok itu bertanya, belaga tidak tahu menahu.
"Gue mau lo jawab yang sebenernya, Richo."
Cowok ganteng di depan menatap gadisnya mesra, "Untungnya apa? harusnya kamu tanya keadaan aku, nih, ga liat apa luka-luka di wajah aku?" Richo menunjuk wajahnya dengan tubuh yang di condongkan ke depan.
"Urusan lo."
Richo kembali tegap, dia cemberut.
Percuma juga bicara dengan Richo, akan mustahil jika cowok itu berkata yang sebenarnya tejadi. Tidak ada bedanya dengan Arkan, memang.
Freya berdiri, langkah keduanya terhalang oleh cekalan Richo.
Freya menoleh, Richo berucap. "Mau kemana, si? kita makan aja dulu, nanti aku cerita."
Freya akhirnya duduk kembali, demi mengetahui soal Arkan.
"Arkan kemarin itu...hajar gue."
Freya menatap Richo menusuk.
Cowok itu mulai bercerita kejadian kemarin sore, saat Arkan yang tiba-tiba mengiriminya pesan chat, dengan alasan Freya ingin bertemu.
Freya tersenyum sinis, "Huh, lo pikir..gue percaya."
Richo berkedip, mengotak-atik ponselnya lalu menyodorkannya tepat di depan wajah Freya.
08311234571
yestoday
|Ke jalan utara sekarang..Freya mau ketemu.
3.25pm
Singkat.
Tapi berhasil buat Freya terkejut.
Nomor yang tidak di simpan itu memang nomor, Arkan. Freya sangat jeli menghafal nomor teman-temannya. Freya masih tidak percaya.
Apakah benar pengirim pesan itu, Arkan?
Otak Freya masih bergulat, Arkan mengatas nama 'kan dirinya untuk kepentingannya sendiri?
Freya tidak mengenal jika itu Arkan sungguhan. Selama ini, Freya sudah menganggap Arkan sebagai saudaranya sendiri.
Tapi, kenapa Arkan membalas Freya seperti teman perempuan yang sedang di manfaatkan?
"Seharusnya yang kamu benci dari dulu itu, bukan aku. Kenapa kamu percaya dengan ucapan, yang tidak jelas dengan bukti?"