Vincent kewalahan menghadapi bocornya skandal seks dirinya. salah satu perempuan yang Ia tiduri dengan nekat membuka mulut dan menyebabkan huru-hara di seantero kantor perusahaan Sidomuktiningjaya. Parahnya, nama gadis yang mewarnai gelap mimpi tidurnya terseret jauh dan dituduh sebagai wanita malam langganan Vincent. Vincent mau-mau saja memiliki gadis itu, tapi tidak dengan cara berbagi. Ia tidak rela jika Bella melayani banyak pria.
Menyikapi masalah itu, Vincent tidak ambil pusing. Ia menyingkirkan semua corong-corong sumber masalah di kantornya dalam hitungan jam. PHK massal dengan cara tidak hormat terjadi malam itu juga. Vincent memiliki hak penuh untuk mengelola perusahaan itu, dewan direksi senior yang membersamainya hanyalah paduan suara dan pemandu sorak, formalitas semata.
"Ini sangat penting untuk menjaga kepercayaanku. Tolong bekerja sama dengan baik dan jangan mempersulit diri. Tidak usah dibahas dan diungkit lagi karena ibuku akan sangat shock jika tahu," ujar Vincent.
Tidak ada yang berani melawan di perusahaan yang dikuasainya, karena hanya akan sia-sia. Vincent hanya tunduk pada keluarga, akar dari semua kekuasaannya saat ini. Ia memang masih bergantung pada keluarga dan Ia mengakui itu. Tetapi suatu hari nanti Ia akan berdiri tegap sendiri, Ia yakin. Hanya menunggu waktu yang tepat. Sembari membesarkan nama dan hatinya, Vincent dengan sabar menghadapi semua yang ada pada saat ini.
"Bagaimana, Vin? Kau senang seperti tinggal di surga?" ledek Gerry.
"Sialan Kau, Ger," Vincent menoyor kepala Gerry dengan ujung botol.
Ketiga temannya sudah tahu dengan ulah bejat Vincent yang Lexa dan Geisha ceritakan. Awalnya Tommy terkejut, tetapi Farell dan Gerry justru tertawa terbahak-bahak dengan ulah Vincent kali ini. Sepanjang hidup, Vincent selalu gagal dengan rencana-rencana indahnya. Tepat dengan dugaan Farell dan Gerry, ulah Vincent gagal total bahkan menunai tragedi menggelikan.
"Sudah kubilang, kan. tidak ada mulut perempuan yang beres," ujar Farell.
"Memangnya semua mulut lelaki beres?" rajuk Geisha.
"Bukan begitu, maksudku perempuan itu identik dengan bergosip dan tidak bisa menjaga rahasia," ucap Farell.
"Idih, laki-laki kalau di belakang perempuan juga begitu," tanggap Geisha.
"Iya, parahnya yang mereka bicarakan itu sangat-sangat jauh mengerikan dari pada obrolan perempuan," sambung Lexa.
"Emangnya mereka bicara apa?" tanya Tommy.
"Apa yang kalian bicarakan di belakang perempuan itu tentang aset-aset perempuan, ada juga yang sharing testimoni setiap habis menidurinya. Jadi jangan heran kalau Kau dapat klien dari temannya klienmu sebelumnya, Geisha," papar Lexa panjang lebar.
Geisha meringis jijik, yang lain hanya tertawa-tawa kecil mengakui bahwa itu semua tidak salah. Tetapi Vincent tetap menampakkan wajah kakunya di antara mereka, Ia sedang tidak baik-baik saja. Sesekali layar handphonenya menampilkan notifikasi pesan dari jajaran HRD yang sedang lembur.
"Lalu apa yang Kau lakukan sekarang, Vin?" ucap Tommy melihat Vincent sibuk sendiri.
"Kupecat semua yang membicarakanku di belakang," jawabnya ringan.
"Walaupun itu yang tidur denganmu kemarin?"
"Iya," jawab Vincent lagi.
Suasana hening beberapa saat sebelum akhirnya Farell berujar, "Aku juga benci orang yang bermuka dua. Di depanku Ia memanfaatkanku di belakang Ia menjelekkanku."
"Farell, itu bukan bermuka dua lagi," ucap Lexa di tengah kebingungan teman-temannya.
"Lalu berapa?"
"Terserah," jawab Lexa ketus.
Geisha tertawa kemudian menyesap cairan dari pipa di gelasnya.
Malam sudah hampir habis, seperti biasa geng Vincent memang sangat suka menghabiskan malamnya di kelab. Apapun bisa mereka lakukan di sini sesuka hati. Jika mereka bosan untuk dirty party, masih banyak hal yang bisa dilakukan, termasuk mendengarkan Lexa dan Geisha membicarakan drama Korea yang sedang mereka ikuti.
Seperti halnya Vincent, mereka semuanya bukan pengangguran yang rumahnya di kelab. Namun kelab adalah pelarian favorite mereka dari penatnya kehidupan yang mereka jalani.
"Kalian suka sekali membicarakan oppa-oppa, mengapa tidak didatangi saja ke sana?" timbrung Tommy.
"Tom, Kau tidak tahu kultur di sana. Asal aku mau saja, aku bisa memacari salah satu artis favorite-ku. Tetapi aku belum siap menerima risikonya," ucap Lexa.
"Risiko? Emangnya apa yang Kau takutkan?"
"Kegilaan penggemar mereka bisa menular. Puluhan juta penggemar yang tadinya membuat kita serasa disembah akan berbalik mencelakakan kita. Aku tidak mau gila hanya karena menikah dengan artis Korea," Lexa kesal karena para lelaki yag ada di sekitarnya tidak mengerti. Mereka tidak suka mengikuti gosip seru di negeri para oppa tinggal.
"Seperti penggemar Vincent ya? Mereka mati-matian membuatnya sempurna hanya untuk mereka elu-elukan sendiri?" celetuk Gerry.
"Mengapa semuanya dianalogikan kepadaku?!" teriak Vincent.
Teman-teman laknat yang tidak tahu diri memenuhi ruangan dengan tawa menyebalkan. Secara tidak langsung mereka sedang menyinggung kultur di keluarga besar Vincent. Orangtua Vincent bersikeras agar putranya sukses dan menjadi subjek kecemburuan para sepupunya. Mereka bangga dengan kesuksesan Vincent tanpa bertanggung jawab dengan kondisi batin anak itu.
"Mengapa Kau marah, Vin? Memang pada kenyataannya begitu. Lalu Kau tidak bisa berbuat apa-apa, kan?" otot Gerry.
"Akan kubuktikan kalau kalian semua salah. Aku bisa keluar dari semua ini," geram Vincent.
"Baiklah. Satu hal saja, apa Kau bisa menentukan pernikahanmu sendiri tanpa kehendak mereka?" racau Gerry yang sepertinya sudah setengah mabuk.
"Aku terima tantanganmu," desis Vincent.
"Aku ikut bertaruh," Farell mengangkat tangannya.
"Aku tebak Kau hanya akan menyesal, Vin," ujar Tommy mengejek.
"Memangnya Kau sudah punya calon istri selain yang sudah disodorkan Ibumu, Vin?" tanya Geisha.
Vincent mengerutkan dahi lalu membuka mulutnya, "Belum." Jawabnya singkat membuat semua yang ada di ruangan VVIP kelab tertawa.
Vincent tidak berekspektasi untuk memiliki pasangan hidup dengan kriteria tertentu. Tetapi ketika Ia dihadapkan dengan perjodohan bisnis lagi-lagi Ia merasa sangat ingin memberontak. Menikahi Primadona yang cantik jelita pilihan Ibunya sama dengan membawa kamera perekam hidupnya ke kehidupannya yang baru. Nasibnya tidak akan berubah meskipun dengan status keluarga baru.
"Belum? Bagaimana jika kau nikahi saja anak ingusan itu, Vin. Kulihat Ia sangat membencimu. Itu pasti sangat seru jika Kau bisa menundukkannya," seringai lexa.
"Si Bella kecil itu?" ujar Geisha.
"Iya, yang tempo hari mengamuk di restoran," Lexa tertawa.
"Aku bisa melakukannya. Asal masing-masing kalian memberiku kado pernikahan termahal yang kalian punya," Vincent menjentikkan jarinya.
"Vin! Kau gila, ya?" Tommy melotot ke arah lelaki itu.
"Biarkan saja, Tom. Ia sudah gila sejak dulu," timpal Gerry.
"Kau serius dengan ini semua, Vin? Kukira kita bercanda," ucap Farell.
"Sialan kalian!" umpat Vincent.
"Tapi tenanglah, usaha permusikanku tidak akan bangkrut jika hanya untuk membelikanmu mobil sembilan ratus juta," ujar Farell.
"Itu terlalu murahan," decih Vincent.
"Yang penting kau buktikan dulu, Vin. Urusan kado pernikahan untuk menambal kemiskinanmu nanti urusan kami," ucap Gerry.
Ucapan sarkas Gerry yang sangat dalam, membuat dada Vincent semakin bergemuruh. Sudah barang tentu jika Ia menikahi perempuan selain Primadona, kekayaan dan kemewahannya akan hilang dalam hitungan detik.
***
Terima kasih telah membaca part ini, masukkan ke library Teman-teman dan tunggu bab selanjutnya ya. Jika memungkinkan, besok sore 3 Februari akan update lagi