webnovel

Kelahiran Anak Rere

Setelah Herman pulang, Rere bangun dari pingsan. Kaget dan shock ketika sadar sudah di rumah sakit. Bara sedang memainkan ponsel.

"Kamu sudah bangun?" Tanya Bara dingin menatap sang adik.

"Pasti abang ingin memarahiku?" Rere sudah berpikiran negatif.

"Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu?" Bara menyimpan ponsel dalam saku celana.

"Bang," cebik Rere beruraian air mata. Bara mendekati sang adik dan memeluknya.

"Jangan menangis Rere. Ada abang disini."

"Maafkan aku bang telah membuat keluarga kita malu. Aku baru tahu jika sedang hamil."

"Kamu hamil sudah enam bulan. Kenapa tidak sadar?" Kening Bara berkerut. Menatap Rere curiga.

"Abang tahu jika aku mengalami masalah hormon. Tidak datang bulan bukan masalah bagiku karena sudah terbiasa."

"Siapa yang telah menghamili kamu?"

Rere tergagap. Mulutnya terkunci. Tidak berani menatap kakaknya. Rere buang muka.

"Katakan sama abang Re? Siapa yang telah menghamili kamu?"

"Abang please….Aku enggak mau menikah dengan dia. Aku….." Rere sudah menangis tergugu.

"Kenapa Re?"

"Aku melakukan suatu kesalahan bang. Please..jangan paksa aku bang. Aku sadar sudah memuat malu keluarga. Bunda sudah mengusirku. Aku akan pergi dari rumah."

"Kamu mau pergi kemana?"

"Kemana saja agar aib ini tidak diketahui orang."

Bara berusaha membujuk Rere untuk mengatakan siapa pria yang telah menghamilinya. Rere punya alasan sendiri kenapa tidak menceritakannya pada keluarganya. Pertama pria yang telah menghamilinya telah memiliki istri dan anak. Kedua pria itu telah menghinanya karena dituduh menjebak si pria demi harta. Demi Tuhan dan seluruh isinya. Rere hanya ingin menolong pria itu bukan menjebaknya. Bukannya ucapan terima kasih yang di dapat, tapi malah tuduhan keji.

Bara gigit jari karena tak berhasil memaksa Rere untuk cerita. Sang adik memang keras kepala. Bara tak mau Rere kabur dari rumah jika dipaksa untuk cerita.

Keduanya pulang ke rumah. Bara menyakinkan sang adik untuk kembali meski Ainil sudah mengusirnya. Baru saja masuk pintu rumah Ainil berkacak pinggang menatap Rere.

"Masih berani kamu pulang setelah membuat bunda malu?" Ainil menatap sinis pada Rere.

"Bunda…." Bara memanggil ibu tirinya dengan lembut.

"Bar..Kamu jangan bela dia. Harusnya kamu usir dia dari rumah ini. Dia sudah mencoreng nama baik kita. Kamu masih menerima dia sebagai adikmu? Harusnya kamu marah Bar karena dia hidup dalam lingkungan salah. Dia sendiri tidak tahu siapa yang menghamilinya. Dasar gadis rendahan." Ainil membabi buta menghina putrinya.

"Bunda cukup!" Hardik Bara pada Ainil. Wanita paruh baya itu pun terkejut. Tak pernah dimarahi Bara.

"Yang bunda hina itu anak bunda sendiri. Anak yang bunda lahirkan dari rahim bunda. Menghina dia sama saja bunda menghina diri bunda sendiri. Ok. Rere memang salah karena hamil diluar nikah. Dia hamil tanpa suami. Tapi pikirkan bunda. Anak dalam kandungan Rere keturunan keluarga kita. Apa bunda akan membiarkan anak itu terlantar? Meski perbuatan orang tuanya zina, tapi anak itu tidak salah apa-apa. Anak itu butuh perlindungi kita. Sebagai seorang wanita gunakan empati bunda. Bunda boleh marah tapi tak perlu menyalahkan dia seperti itu. Kita enggak tahu apa yang terjadi sama Rere. Dia pasti punya alasa tersendiri kenapa tak mau menceritakan siapa ayah bayinya."

"Bar…"

"Aku belum selesai bicara bunda. Rere tetap tinggal di rumah ini sampai kapan pun. Tidak ada yang boleh keluar dari rumah ini. Jika bunda usir Rere aku juga akan keluar dari rumah ini. Aku tahu Rere salah, tapi tidak seharusnya kita men-judge dia. Rere masuk kamar!" Perintah Bara pada sang adik. Rere meninggalkan Ainil dan Bara.

Rere segera menutup pintu kamar dan menangis tersedu-sedu.

"Bar kenapa kamu membela Rere?" Ainil kecewa dengan Bara. Perempuan paruh baya yang masih cantik itu menangis.

"Bun…" Bara menggenggam tangan Ainil dan membawa ibunya duduk di sofa. Herman menatap istri dan anaknya dari jauh.

"Bun…Sepertinya Rere korban pemerkosaan," ucap Bara pelan nyaris tak terdengar.

"Apa?" Pekik Ainil kaget.

"Itulah yang menyebabkan dia kenapa tidak mau bicara sama kita. Sebenarnya Rere kembali ke Jakarta bunda tahu kenapa?"

"Kenapa?" Ainil khawatir dengan nasib putrinya.

"Rere saksi kunci dari sebuah pembunuhan. Dia jadi buruan para penjahat bersama Gesa."

"Gesa?" Ainil berpikir sejenak. "Gesa gadis yang kamu bantu sembuh dari depresi itu."

"Benar. Gesa dan Rere saksi kunci sebuah pembunuhan. Pelakunya orang berpengaruh di KL. Menurutku Rere menjadi korban kebiadaban mereka."

"Astagfirullah." Ainil menangis. Hatinya remuk mendapati kenyataan jika sang putri mengalami kejadian buruk. "Kenapa Rere tidak cerita pada kita Bar?"

"Mungkin tidak mau membebani kita. Melihat kondisiku yang belum pulih dan kondisi bunda makanya Rere tidak mau cerita."

"Apa ini cerita karangan Rere?" Ainil belum sepenuh percaya.

"Bunda kenapa suuzon sama anak sendiri? Yang jelas Rere butuh dukungan kita. Jangan buat dia khilaf karena kita tidak menerima dia."

*****

Rere menangis haru ketika berhasil melahirkan bayi laki-laki yang sehat secara normal. Bara dengan siaga menunggui kelahiran adiknya. Bayi laki-laki itu lahir dengan berat 3,3kg dengan panjang 50 cm.

Uty memberikan sang bayi pada Rere untuk IMD. Setelah dirasa cukup bayi di bawa ke ruangan bayi. Perawat memberikan sang bayi pada Bara untuk diazankan.

Bara menangis terharu mengazani keponakannya. Bayi itu sangat lucu dan tampan.

"Semoga jadi anak yang soleh nak. Mulai detik ini om akan jadi papa kamu nak. Om beri kamu nama Leon Khairul Anam. Kupanggil kamu Leon." Bara menggenggam tangan mungil keponakannya.

Berhubung Rere melahirkan secara normal ia sudah boleh pulang ke rumah. Rere hanya menginap satu malam di rumah sakit. Bara, Ainil dan Herman menjemputnya.

Rere menatap Bara sendu. Ada rasa haru menyelimuti hatinya memiliki kakak seperti Bara. Meski mereka hanya saudara tiri, tapi perhatian pria itu melebihi saudara kandung. Rere tidak menyangka pernikahan bundanya dengan Herman akan membuatnya memiliki saudara sebaik Bara. Pria itu menjadi garda terdepan selama ia hamil.

"Siapa nama cucu kakek ini?" Herman menatap bayi Rere. Matanya berkaca-kaca karena sudah memiliki cucu. Berharap cucu dari Bara namun apa daya sang anak ditinggalkan istrinya begitu saja.

"Namanya Leon Khairul Anam. Panggil dia Leon Pa." Bara berbicara menatap Herman. "Sudah abang beri nama. Gapapa kan?" Bara menatap Rere.

Rere mengangguk dan semakin terharu. Ia menghapus air matanya. Sikap Bara lagi-lagi membuatnya merasa dipedulikan dan dianggap.

"Terima kasih bang. Leon nama yang bagus." Rere menggenggam tangan Bara.

Sepanjang perjalanan menuju rumah Bara bercanda dengan si kecil Leon. Ainil yang awalnya tak bisa menerima kehamilan Rere menjadi luluh ketika melihat betapa lucu dan menggemaskannya Leon.

"Kamu kasih ASI ekslusif ya Re. Itu lebih bagus dari sufor," ucap Bara sambil bermain dengan Leon.

次の章へ