Melihat Baim tidak mengejarnya, Dian bersandar ke dinding, menampar wajahnya dengan tangan. Dia seharusnya tidak melakukannya. Seharusnya dia lebih fokus!
Bagaimana dia bisa buru-buru masuk tanpa mengetuk pintu? Karena terpaksa menunggu Baim keluar setelah beberapa saat, nantinya Dian harus mengatakan kalau dia memata-matai pria itu lagi.
Lagipula, adegan barusan sangat memalukan. Dian belum pernah melihat tubuh pria. Bahkan jika dia mabuk selama dua malam itu, Dian masih dalam keadaan tidak sadar, dan sama sekali tidak mengerti seperti apa tubuh laki-laki.
Dian menyentuh pipinya, ternyata pipinya panas. Tanpa melihat ke cermin, dia tahu kalau pasti sekarang ekspresinya sedang tersipu.
Tunggu!
Sepertinya ada yang salah!
Dian tiba-tiba merasa ada yang tidak beres, bukankah ruangan ini kamarnya?
Mengapa Baim muncul di ruang ganti kamarnya?
Dengan kata lain, itu bukan salahnya, tapi Baim!
Ketika memikirkan hal ini, Dian segera menjadi percaya diri.
Klik!
Pintu ruang ganti terbuka.
Baim telah berganti pakaian untuk jamuan makan malam. Dia mengenakan setelan hitam gelap. Sulaman gelap di ujung lengan menunjukkan temperamen yang luhur. Jahitan tangan baju itu menonjolkan pesona Baim yang menyerupai model dengan jelas.
Saat Dian melihatnya, dia sangat tertarik dengan aura Baim. Tapi itu hanya sesaat. Dia pun bereaksi dengan cepat. Dia segera angkat bicara.
"Baim, kenapa kau berganti pakaian di kamarku?!"
Karena kepercayaan dirinya, suara Dian terdengar jauh lebih keras, dan dia berkacak pinggang.
Baim melepaskan ikatan kancing di pergelangan tangannya dengan tangan yang masih bebas dan mudah sebelum dia melirik Dian.
"Apa sudah jelas apa yang baru saja kaulihat?"
Jelas?
Ketika Dian mendengarnya, dia menjadi sangat marah, "Baru saja! Kau baru saja … aku tahu kau sedang mempermainkanku!" Dian malu bertanya ketika dia ditanya apa bisa melihat kejadian barusan dengan jelas!
Bisa melihat dengan jelas!
Dia tidak sebodoh itu!
Tentu sudah jelas! Ini HD! Kurang jelas apalagi?!
Baim tidak bergerak, lalu membuka kancing di pergelangan tangan satunya. "Artinya, kau bisa melihatnya dengan jelas."
Dian berkata dengan marah, "Jadi apa?! Siapa yang memperbolehkanmu datang kemari? Aku mau mengganti bajuku di kamarku sendiri! Kau jelas sengaja melakukannya!"
Baim mengangguk. Sepasang mata hitam pekat itu berlama-lama menatap Dian sebelum dia berkata, "Kau rupanya masih jujur. Waktumu terbatas hari ini, jadi kau berhutang padaku."
Apa?
Dian tidak mengerti apa yang dibicarakan Baim. Dia berhutang? Dia berhutang apa dengannya?
"Tunggu sebentar! Aku berhutang budi padamu?"
Jika berbicara dengan Baim, kau harus bertanya dengan jelas. Semua itu perlu dilakukan agar kau tidak terlalu mudah diperalat olehnya.
Baim berkata dengan sungguh-sungguh, "Aku seorang pengusaha."
Dian mengangguk dengan curiga. Dia tahu kalau Baim adalah seorang pengusaha. Jika tidak, orang yang bertanggung jawab atas mall perbelanjaan IU hari ini tidak akan sangat hormat pada Baim hari ini.
Tapi apa hubungannya ini dengan pengusaha? Tidak ada … kan?
"Aku tahu kau seorang pengusaha, tapi intinya bukan itu. Intinya kenapa kau ada di kamarku!"
Dian merasa agak marah saat menghadapi Baim. Dia sudah lelah karena terus-menerus ditipu dan dipermainkan oleh pria di hadapannya tersebut.
Baim tersenyum licik. Seringai yang mendebarkan terbentuk di parasnya ketika dia berjalan menuju Dian, dan menyelimuti sosok Dian dengan bayang-bayang tubuhnya.
"Pengusaha peduli untung dan rugi, seperti yang pernah kubilang sebelumnya. Aku akan memberimu pelajaran gratis hari ini, pebisnis tahu cara terbaik menangani kesopanan."
Dian mendengarkan kata-kata Baim. Setiap kata yang diucapkan olehnya seolah memiliki kekuatan magis, dan mengetuk hatinya.
Dian tidak lupa bahwa terakhir kali Baim mengatakan hal seperti itu-adalah pada siang hari ini!
Karena dia 'tidak sengaja' menyentuh dada Baim, dan kemudian ... dadanya disentuh kembali oleh Baim.
Bisakah dia mengerti bahwa maksud Baim barusan ... dia baru saja melihatnya berganti pakaian, jadi Baim juga harus melihatnya melakukan hal serupa?
Apa ini adil?
Ketika memikirkan hal ini, Dian tanpa sadar meletakkan tangannya di sekitar dada dan memandang Baim dengan sorot waspada.
"Kau… apa yang ingin kau lakukan! Jangan main-main, ada kesepakatan di antara kita! Apa kau sudah lupa?!"
"Kesepakatan?" Baim mencibir, dan cahaya yang tidak bisa dimengerti melintas di matanya. "Sebelum penandatanganan, perjanjian itu tidak memiliki kekuatan hukum."
Dian menggigit bibir bawahnya. Memang, karena ini perjanjian dalam bahasa Latin, maka dia belum menandatanganinya.
Sebelum menandatanganinya, dia sepertinya tidak bisa mengancam Baim dengan perjanjian itu.
Jadi, mungkinkah jika dia tidak menandatangani perjanjian dalam satu hari, dia akan 'dimakan' oleh Baim?
Dian merasa kalau dia harus segera mencari penerjemah bahasa Latin untuk menerjemahkan perjanjian pernikahan itu untuknya. Kalau tidak, dia tidak tahu trik apa yang akan digunakan Baim.
Namun, kelakuan Baim yang memaksanya menandatangani perjanjian dengan cepat juga membuat Dian waspada.
Baim begitu bersemangat. Pasti ada yang salah dengan perjanjian ini. Oleh karena itu, Dian harus lebih berhati-hati.
"Aku akan menandatanganinya! Tapi premisnya adalah tidak ada yang salah dengan persetujuanmu. Siapa yang tahu apa yang tertulis di tumpukan dokumen berbahasa Latin itu!"
Dian telah belajar dengan cerdas, dan tidak bisa mengurangi kewaspadaannya di depan Baim. Kalau dia tidak memahami segala sesuatunya, saat itu dia bisa saja dijual mentah-mentah.
Baim mendesak hingga Dian bersandar di dinding, dan dia menyelimuti Dian. Tiba-tiba Baim mengangkat tangannya. Sebuah jari digerakkan dan agak mengangkat dagu Dian, membuat Dian menatap matanya secara langsung.
Kemudian, jari itu terlepas dari dagu Dian dan bergerak di sepanjang kulit dengan sedikit demi sedikit. Tanpa sedikit pun jeda diambil, jarinya meluncur dari leher dan bergerak menuju ke tulang selangka, terus bergerak di sepanjang garis tengah kancing baju Dian, dan agak menekannya dengan sedikit tenaga.
Dian menatap Baim dengan tatapan kosong, dan ketika pandangan matanya bertemu dengan sorot mata yang mengejutkan itu, Dian sadar kalau dia seperti membeku di tempat. Pertahankan postur itu, jangan berani-berani menggerakkan leher! Dia harus bertahan!
Dia tidak pernah tahu kalau ekspresi yang terpancar di mata seseorang bisa begitu kuat sehingga hanya dengan satu pandangan saja bisa membuat orang gemetar dan melupakan segalanya.
Ketika Baim menyelipkan jarinya ke kancing terakhir di atas pusar Dian, dia berhenti, membungkuk, dan berbisik di telinga Dian, "Ingatlah untuk menandatangani perjanjian itu sebelum aku memintanya kembali. Hari ini, terima saja kenyataan kalau kau sudah menyaksikan kejadian menarik."
Dian belum bereaksi. Hanya saja, dia merasa telinganya gatal. Nafas hangat menyemprot di telinganya, dan bulu-bulu tipis di sekujur tubuhnya berdiri.
Detik berikutnya, Baim telah meninggalkan Dian yang berdiri tegak dan membeku. Dian tidak bisa bergerak sedikitpun dari posisinya di sana.
Dian tiba-tiba menyadari bahwa dia baru saja diusili oleh Baim!
Meskipun Baim tidak menyentuh bagian penting apapun dari dirinya, tapi kekuatan jari Baim yang meluncur ke bawah sedikit demi sedikit benar-benar menyebabkan seluruh tubuh Dian seakan terekspos. Sekujur tubuhnya gemetaran!
"Pergi dan ganti pakaian sana. Pakaiannya ada di ruang ganti."
Baim mengucapkan kalimat itu, lalu berbalik dan meninggalkan ruangan. Sekarang hanya tersisa Dian sendirian di ruangan itu. Gadis itu memandang ke arah pintu keluar dengan sorot terkejut dan dia hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja menimpanya sebelum ini.