webnovel

Mendiskusikan Syarat Pernikahan

"Baim, aku ingin membuat tiga persyaratan denganmu!" Dian merasa kalau semua ini tidak bisa dilanjutkan.

Dia harus menentukan batasan di antara keduanya. Sebelum segala sesuatunya berkembang ke arah yang tidak diinginkan olehnya.

Benar!

Perjanjian di antara keduanya harus segera ditentukan!

Baim bukanlah tuan muda kedua keluarga Adam. Jelas, dia adalah pria dewasa yang sangat agresif. Hormon pria yang terpancar di sekujur tubuhnya membuat siapapun panik. Kondisi itu harus ditahan.

"Dalam pernikahan kita, kau tidak boleh melakukan apapun padaku, maupun memiliki niat buruk terhadapku!"

Baim memandang Dian dengan tak acuh, dan mengatakan sesuatu yang mendominasi, "Sebagai seorang istri, kau memiliki kewajiban untuk memuaskan fisik suamimu. Jadi poin ini ditolak. "

"Tapi ... tapi kau tidak bisa memaksaku! "Dian membantah penuh alasan. Dia memang menikah dengan Baim sekarang. Jika Baim benar-benar membutuhkannya untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri, dia bisa apa?

Baim memandang Dian dalam-dalam untuk waktu yang lama. Setelah beberapa saat berlalu, saat Dian sudah sangat gugup, dia berkomentar santai, "Aku juga tidak suka memaksa."

Huhu!

Bagus, bagus!

Dian merasa hatinya jauh lebih tenang, dan dia agak memercayai kata-kata Baim. Karena bagaimanapun juga, Baim tidak perlu berbohong padanya tentang hal semacam ini.

"Satu lagi, kau tidak dapat mengganggu hidup saya. Tentu saja, aku juga tidak akan mengganggu hidupmu. Jika kau perlu tenagaku untuk bekerja sama, aku akan melakukan yang terbaik. Sebagai imbalannya, kau harus membantu saya membalas dendam pada keluargaku."

Dian langsung berbicara tentang kondisinya sendiri. Dia menikahi Baim untuk membalas dendam pada keluarganya, dan melindungi dirinya dan Ibu kandungnya.

Jelas, dia sepertinya telah menemukan orang yang tepat. Dian tidak akan melupakan adegan yang dialaminya sebelum ini. Ayahnya selalu sombong dan bersikap seakan lebih unggul dari orang lain. Dian belum pernah melihat siapa pun yang tidak hormat pada wajah Joko, dan dia juga belum pernah menyaksikan Joko diusir secara memalukan seperti itu.

Baim bisa melakukannya.

Dengan kata lain, jika dia meminta Baim untuk membantu dan mengambil kembali hak asuh Ibunya, maka dia tidak perlu lagi takut Joko akan mengancamnya dengan menggunakan nyawa ibunya sebagai sanderanya.

"Apa sudah selesai?" Baim diam-diam mendengarkan penjelasan Dian tentang kondisinya, tapi dia mengucapkan tiga kata ini dengan penuh makna.

Dian berpikir sejenak, lalu mengangguk, "Sudah selesai."

"Kalau begitu kau bisa meninggalkan rumah sakit."

Baim berdiri, tapi mengatakan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.

"Berarti kau setuju? Lalu apa sebaiknya kita menandatangani perjanjian atau sesuatu?" tanya Dian.

Dengan adanya kesepakatan di antara mereka, dia masih merasa aman.

"Setelah pulang nanti, akuakan meminta pengacara khusus untuk menyusun perjanjian. Jika kau tidak memiliki keberatan setelah membacanya, maka perjanjian itu akan berlaku setelah kita menandatanganinya."

Jawaban Baim kali ini sangat sederhana dan ringkas. Dian berpikir sejenak dan bangkit. Dia mengikuti Baim dari Rumah Sakit C dan masuk ke mobil untuk pulang.

Namun, Dian hanya menyadari ada yang tidak beres saat dia berada di tengah perjalanan.

"Tunggu sebentar, kita akan pergi kemana? Ini bukan jalan pulang."

Dia tidak mengenali area yang mereka lewati sekarang.

Dengan kata lain, jalan pulang mereka benar-benar berlawanan dengan arah tempat tinggal keduanya.

Baim tampak sangat sibuk, bahkan dia sedang membaca dokumen saat berada di dalam mobil. Kondisinya sama ketika Dian menghentikan mobilnya terakhir kali.

"Pulang." Baim tidak mendongak, masih menatap dokumen di tangannya, dan melontarkan kedua kata ini secara mekanis.

Dian sedikit malu mengganggunya saat melihat Baim yang begitu sibuk. Dia menoleh ke arah pengemudi dan dengan ramah mengingatkannya, "Paman Asep, kita salah arah. Jalan pulang ke rumah berada di arah berlawanan."

Paman Asep adalah pengemudi Baim. Saat mengemudi dengan penuh perhatian, dia berkata, "Nona muda, kita tidak salah. Ini adalah cara pulang. Kita sedang berada di jalan kembali ke rumah tuan muda."

Pergi ke rumah Baim. Jalanan menuju tempat itu?

Dian buru-buru melihat ke arah Baim, "Apa ini? Bukankah kita akan pulang? Kenapa malah pergi ke rumahmu?"

Baim mengoreksi ucapannya sambil membaca dokumen di tangannya, "Maksudmu rumah kita."

Dian tiba-tiba cemas. Sekujur tubuhnya agak gemetaran. Dia menatap ke arah Baim, dan berkata dengan nada sangat serius, "Apa yang sudah pernah kubilang sebelumnya? Mengapa kau malah mau pulang ke rumahmu? Kita tidak membuat kesepakatan untuk ini!"

Meskipun Dian menyetujui permintaan Baim untuk tinggal bersamanya, tetapi dia tidak pernah mengatakan kalau akan tinggal di rumahnya. Dia terbiasa tinggal di apartemen, dan dia tidak terbiasa tinggal di rumah besar.

Karena rumahnya terlalu besar, dia tidak bisa menyalakan semua lampu di malam hari, yang akan membuatnya sangat cemas.

Baim akhirnya meletakkan file di tangannya dan menatap Dian, "Mulai hari ini, kau harus belajar membiasakan tinggal di rumah denganku. Apartemenmu sudah kukembalikan, dan semua barangmu sudah dipindahkan ke rumah, jadi kau tidak perlu ke sana lagi."

Apa? Dia bilang apa barusan? Semua barangnya sudah dipindahkan? Tanpa seizinnya?

Baim bahkan membereskan barang-barang di apartemennya dan memindahkan semuanya.

Setelah mendengar ini, Dian benar-benar tidak tahan. Dia tiba-tiba menjadi marah, dan suaranya naik beberapa oktaf.

"Baim! Mengapa kau mengatur hidupku? Aku bisa tinggal di mana pun yang kumau! Kalau kau merasa harus tinggal denganku, maka tinggallah di apartemen. Siapa yang setuju untuk pindah ke vila denganmu!"

Dian adalah seorang orang yang tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Dia akan merasa tidak nyaman setelah terbiasa dengan satu lingkungan dan terpaksa pergi ke lingkungan lain.

Terutama dalam hal berkreasi.

Baim mengalihkan perhatiannya ke dokumennya lagi, dan menandatanganinya tanpa merasakan emosi, "Jika tuan tanahmu ingin terus menyewakan apartemennya padamu, kau boleh kembali."

Dian memandang Baim. Sikap tak acuh pria itu membuat hatinya marah. Dia mengeluarkan ponselnya dan menelepon tuan tanah.

Setelah telepon disambungkan, Dian dengan cepat berkata, "Tuan tanah, ini Dian. Aku ingin terus menyewakan rumah Anda. Bisakah aku tidak pindah?"

Namun, kata-kata tuan tanah selanjutnya memupuskan semua harapan Dian.

Karena kata tuan tanah, apartemennya sudah dijual pada orang lain.

Dia mendengar kalau orang ini sangat murah hati dan mau membeli dengan 10 kali lipat dari harga pasar. Tentu saja, tuan tanah setuju untuk menjualnya.

Setelah menutup telepon, Dian merasa sangat tertekan. Mengapa begitu banyak tiran lokal tahun ini? Membeli apartemen 10 kali lipat harga pasar, apa kepala orang ini terjepit pintu?

Tiba-tiba, Dian menoleh untuk melihat Baim dan berkata, "Baim, idiot yang membeli apartemenku dengan 10 kali lipat dari harga pasar, bukankah itu kau?"

Dian memiliki firasat yang kuat. Dia yakin pelakunya adalah Baim.

Baim masih melihat dokumen-dokumen itu dan tidak terusik. "Apartemenmu akan dikembangkan menjadi generasi baru taman oasis perkotaan. Sekarang seluruh apartemen itu milikku dan akan kugunakan untuk perkembangan bisnisku selanjutnya. Kalau kau ingin membelinya setelah kebijakan baru sudah diberlakukan, hehe, harganya bahkan tidak akan bisa ditebus dengan 50 kali lipat harga pasaran."

Generasi baru taman oasis perkotaan?

Dian belum benar-benar memahaminya. Tapi saat mendengarkan maksud Baim, dia bukan orang idiot. Tapi pihak yang menjual apartemen itulah yang merupakan orang idiot.

次の章へ