Setelah berjalan kaki selama lebih dari 20 menit, ketika akhirnya dia menuruni tangga dan berjalan menuju ke rumahnya, Dian benar-benar berpikir untuk mengutuk kondisi jalanan pada malam itu.
Pemimpin besar dari mana yang datang malam ini? Mobil benar-benar dilarang beroperasi di kota!
Namun, dalam situasi larangan operasional mobil di kota seperti itu, si 'Tuan muda Keluarga Adam' itu bahkan berani mengemudi dengan santai di jalanan. Huh! Mungkin saat ini 'Tuan muda kedua Keluarga Adam' itu telah ditangkap!
Untung saja dia memilih keputusan yang tepat dan tidak ikut dengan 'Tuan muda kedua Keluarga Adam.'
Setelah menaiki lift, dia akhirnya tiba di lantai 28, Dian menghela nafas panjang.
Akhirnya sampai di rumah! Setelah berjalan lama sekali!
Namun, saat pintu lift tertutup, semua lingkungan tiba-tiba menjadi gelap, dan lampu darurat tidak menyala.
Tatapan mata Dian terlihat kebingungan, dan dia menekan lift beberapa kali. Rupanya lift itu rusak lagi!
Kegelapan menyelimuti dirinya. Seolah-olah ada banyak tangan di sekitar yang terus-menerus menariknya, ingin menelannya!
Kaki Dian mulai gemetaran, dan 'Tuan muda kedua Keluarga Adam' tiba-tiba muncul dari benaknya! Ya, ketika ada pemadaman listrik sebelumnya, listrik di rumah 'Tuan muda kedua Keluarga Adam' masih menyala!
Dian mengumpulkan semua keberaniannya, hanya berpikir kalau dia dapat melihat cahaya dengan segera, dan bergegas menuju pintu rumah Baim.
Untungnya, rumah Baim sangat dekat dengan lift, dan Dian hanya berlari dua atau tiga langkah sebelum menyentuh pintu rumah Baim.
Dian mengetuk pintu Baim dengan panik. Dia berdoa dalam hati agar 'Tuan muda kedua Keluarga Adam' tidak tertangkap karena larangan mobil beroperasi di kota.
Untungnya, Dian hanya perlu mengetuk pintu dua kali, dan pintu rumah Baim terbuka.
Seberkas cahaya mencuat dari rumah Baim, dan Dian segera masuk. Dia bahkan mengabaikan Baim yang berdiri membukakan pintu untuknya.
Yang tidak dilihat Dian adalah bagaimana Baim menyeringai saat dia bergegas memasuki pintu.
Duduk di sofa Baim, lampu di sekitarnya membuat Dian merasa aman dan santai. Dia mendongak dan melihat Baim, Dian sangat malu.
Awalnya dia merasa sangat bangga, tapi sekarang dia malah bergegas ke rumah Baim. Wajah gadis itu sekarang terlihat sangat merah.
Karena sangat terganggu oleh ulah Baim, Dian bahkan melupakan apa yang terjadi dengan Oscar sore ini.
"Aku lapar, memasaklah."
Tepat ketika Dian dengan gugup mengira Baim akan mengusirnya keluar, Baim berjalan melewatinya dan mengatakan kalimat ini tanpa sedikit pun emosi di dalamnya.
"Apa kau lapar? Kau ingin makan apa?" Orang-orang harus menundukkan kepala di bawah atap rumah orang lain, dan akhirnya bisa menemukan jalan keluar. Dian jelas sangat memahami prinsip itu.
Bagaimanapun juga, selama dia bisa tinggal di tempat yang terang, dia hanya perlu melakukan tugasnya untuk memasak. Tidak lebih dari itu.
Baim masih duduk di kantornya, dan tangannya sudah mulai mengetuk keyboard, "Diamlah, diamlah."
...
Dian mengayunkan tinjunya dengan kuat ke arah punggung Baim, dan dia merasa kesal. Tidak bisakah dia mengatakan sesuatu yang lain?
Gadis itu beranjak, dan memasuki dapur.
Kali ini, dia sudah lebih pintar.
Dia akan makan sambil memasak. Ide bagus! Dia tidak pernah merasa sepintar ini sebelumnya.
Dian paham, dan dia tidak bisa mengharapkan Baim akan sukarela menyisakan makanan untuknya. Tentu saja, dia tidak bisa menunggu hingga hidangannya siap, jika tidak, dia akan mudah ketahuan.
"Suka sekali ya makan?"
Suaranya terkesan rendah dan dalam, tapi tidak sedingin sebelumnya.
Dian mengangguk sambil makan, dan dia menyahut masih dengan mulut penuh, "Tidak buruk, rasanya tidak buruk."
Tetapi ketika dia selesai menjawab, Dian sadar siapa yang ada di belakangnya!
Dian menelan daging di mulutnya secepat mungkin, karena takut Baim akan meminta untuk memuntahkannya.
Kemudian, dia menjawab dengan nada serius, "Aku mencoba mencicipi hidangan yang dimasak."
"Jadi ... apa sudah matang?"
Bahkan dengan punggung yang membelakangi Baim, Dian bisa merasakan aura pria itu. Sikap Baim benar-benar terkesan sedang menindasnya. Dia terus berpura-pura memasak. Dian menggelengkan kepalanya saat memasak.
"Belum terlalu matang. Masih harus menunggu sebentar lagi."
Nyatanya, makanan itu sudah dimasak sebentar… hanya untuk porsi dua suapan. Sedangkan sisanya masih digoreng.
"Oh? Benarkah? Sepertinya aku mencium bau terbakar."
Baim tiba-tiba mengulurkan tangannya dari belakang Dian, dengan akurat menggenggam tangan kanan Dian yang memegang spatula, dan mengaduknya beberapa kali. Benar saja, bau gosong tercium lebih kencang.
Dian masih dikejutkan oleh kelakuan Baim, tapi saat mencium bau gosong, dia dengan cepat mengalihkan perhatiannya.
Dia tidak menyadari kalau seluruh proses penyajian hidangan dilakukan oleh tangan besar Baim yang memegang tangan Dian.
Punggung Dian berada berdekatan dengan dada Baim, dan Baim sangat tinggi. Sosoknya mampu menutupi Dian, yang tingginya 167 cm.
Ketika Dian bereaksi, dia sadar kalau sedang berada di pelukan Baim. Dengan detak jantung yang gemetar, Dian segera keluar dari pelukan Baim dengan erat.
"Kau ... apa yang ingin kau lakukan!" Dian mengedarkan pandangan ke sekeliling, lalu meraih spatula dan menatap Baim-bermaksud membela diri.
Baim memandang Dian dengan tak acuh. Dia memegang daging tenderloin yang baru disiapkan di tangannya, lalu mengerutkan kening dengan jijik, "Teknik anti-seranganmu itu diajari oleh koki?"
Terakhir kali Dian menggunakan sendok sayur. Kali ini juga, dia menggunakan alat pertahanan yang tidak jauh berbeda.
Dian sangat malu. Dia tidak dapat menemukan alat lain! Namun, tampaknya spatula itu benar-benar tidak berpengaruh pada Baim, dan juga tidak benar-benar bisa membuat Baim terancam terakhir kali.
"Memangnya kau peduli aku mau menggunakan alat pertahanan macam apa?! Bagaimanapun juga, jangan main-main denganku! Kecuali kalau mau ingin aku tidak sengaja memukulmu beberapa kali di wajahmu. Kita lihat saja bagaimana nanti kalau kau keluar menemui orang dengan kondisi wajah seperti itu!"
Secara umum, pria gay sangat perhatian dengan wajah dan penampilan. Dian tahu dari mana?
Hehe, sebagai penulis media online yang melek dengan lingkungan para ahli professional, tentu dia harus menyentuh segala aspek ilmu.
Benar saja, Baim tidak melakukan perbuatan buruk lainny. Tapi dia malah meletakkan piring di tangannya di depan Dian. Sedangkan Dian tidak yakin mengapa dia melakukannya.
"Apa yang kamu lakukan?"
Baim masih memiliki ekspresi dingin, "Mencicipi masakan."
Dian tertegun, dan kemudian langsung menyadari kalau pria itu menggunakan dia sebagai kelinci percobaan. Biarkan saja gadis itu mencobanya kalau Baim khawatir dengan kualitas masakannya. Lakukan saja!
Berpegang pada prinsip lebih baik makan daripada tidak, Dian langsung memulainya. Dia menjepit sepotong daging tenderloin di antara ibu jari dan telunjuknya, mengendusnya dengan hati-hati, dan kemudian menggigitnya.
Ya! Rasanya sangat enak! Keahliannya benar-benar menjadi lebih baik.
Dian membuka mulutnya. Ketika dia hendak memakan daging yang tersisa di tangannya, sebuah bayangan hitam menekan dan menggigit sisa daging tenderloin di tangan Dian dengan sangat rapi. Orang itu menghisap dengan keras, memakan daging di tangannya, dan memegang jarinya.
Ngiiing!
Dian hanya merasa otaknya tiba-tiba meledak, dan arus listrik mengalir di sekujur tubuhnya dari ujung jarinya, dan dia merasakan mati rasa yang tak terlukiskan.
Dian buru-buru menarik tangannya, sorot panik melintas di matanya. Dia berpura-pura tenang, dan berkata, "Apa yang kau lakukan?!"