webnovel

Mencari Kartu Keluarga

Dian membuka pintu mobil, dan ada cahaya terang di luar, memberikan ilusi pada Dian bahwa saat itu masih siang hari.

"Untuk apa kau membawaku ke sini?" Dian melihat area sekitar dengan cermat,

Mereka barusan saling mengajukan lamaran nikah di mobil, kenapa sekarang mereka datang ke Biro Urusan Sipil?

Baim berjalan di depan Dian. Tubuhnya yang tinggi menutupi Dian dalam bayang-bayang, dan auranya yang menindas membuat siapapun tidak berani melihatnya secara langsung.

"Pernikahan."

Tidak diragukan lagi kalau satu kata itu berhasil mendominasi segalanya. Baim memegang tangan Dian dengan paksa dan berjalan menuju Biro Urusan Sipil.

Dian agak bingung, tapi tanpa sadar dia malah mengikuti Baim berdiri. Dian tidak tahu sejak kapan dan mengapa dia mengikuti Baim ke Biro Urusan Sipil.

Dian melirik arlojinya. Sudah lebih dari pukul delapan malam, dan sepertinya sekarang adalah hari Sabtu. Bukankah Biro Urusan Sipil sedang libur?

Mengapa kau begitu yakin dan bersikeras?

"Apa kau yakin ... kalau tempat ini benar-benar Biro Urusan Sipil dan bukan perusahaan swasta?"

Dian tidak mau percaya kalau departemen seperti ini yang biasanya tidak pernah mempekerjakan pegawainya untuk lembur bakal masih membiarkan stafnya bekerja dengan tidak manusiawi sampai larut malam.

Baim berdiri di sana, seperti seorang penguasa, "Bagimu, tempat ini adalah Biro Urusan Sipil. Sedangkan bagiku, ini tidak lebih baik dibandingkan perusahaan swasta."

Kelopak mata Dian berkedut beberapa kali. Mengapa pria gay ini sama sekali tidak berperasaan? Sebaliknya, dia lebih menyerupai penguasa yang mendominasi industri populer di bidang internet.

Dengan kata lain, ketika Dian menciptakan kembali kerangka berpikirnya untuk novelnya yang lain, gadis itu dapat mempertimbangkan untuk menggunakan sifat Baim sebagai contoh tokoh yang akan ditulisnya.

"Tapi, saya tidak membawa KTP, apalagi kartu keluarga." Dian benar-benar tidak bermaksud menunda. Dia benar-benar tidak membawa KTP, apalagi kartu keluarga.

Tempat tinggal permanen yang dihuni Dian didaftarkan sebagai rumah keluarga Joko, dan tentu saja kekuasaan tertinggi berada di tangan Joko.

Dia ingat pada suatu waktu, Dian kali diundang ke luar negeri untuk menghadiri pertemuan tahunan sebagai penulis, dan dia membutuhkan paspor. Dian ingin membuat paspor dengan kartu keluarganya, tapi Joko tidak mau memberikannya.

Pada akhirnya, satu-satunya kesempatan Dian untuk pergi ke luar negeri juga ditolak.

Oleh karena itu, Dian masih berpikir jika dia ingin memberitahu Joko kalau dia akan menikah, maka dia memerlukan kartu keluarga. Joko pasti akan berpikir kalau Dian ingin menikah sebelum Rara dan berjuang untuk menjadi pusat perhatian.

Baim mengulurkan tangan ke seorang pria, dan pria itu segera menyerahkan tas berisikan arsip. Baim melemparkan tas dokumen itu langsung ke Dian, yang buru-buru menangkapnya.

Dengan curiga, Dian membuka tas arsip dan menemukan kalau isinya adalah kartu identitas dan kartu keluarga yang ada di tangan Joko.

"Kamu… apa kau mencurinya?"

Dian memegang kartu keluarga di tangannya dan terus menatap Baim, seolah mengatakan kalau kartu keluarga itu dicuri.

Baim mendekat ke arah Dian selangkah demi selangkah, dan Dian tiba-tiba merasakan aura penindasan yang dalam. Dian berpikir untuk melarikan diri. Sebelum Dian bisa menjawab, Baim mengambil buku kartu keluarga dan KTP di tangannya.

Baim bahkan tidak melihatnya. Dia melemparkan dokumen-dokumen itu langsung ke juru tulis Biro Urusan Sipil. Petugas itu dengan hati-hati mendekap semua dokumen, karena takut dokumen-dokumen itu akan jatuh ke tanah dan pekerjaannya juga akan terganggu.

"Selama aku menginginkannya, tidak ada yang tidak bisa kudapatkan."

Staf Biro Urusan Sipil menyerahkan dua buku merah dengan hormat dalam waktu kurang dari satu menit. Kinerjanya kali ini benar-benar cepat dan tangkas, jauh berbeda dengan biasanya.

"Kuharap kalian berdua mendapatkan pernikahan yang bahagia!"

Dengan surat nikah di tangannya, Dian tidak dapat mempercayai bahwa semua ini nyata. Sejak kapan Biro Urusan Sipil begitu efisien? Dia hampir tidak bisa mempercayainya.

"Tunggu."

Baim tiba-tiba berkata. Pegawai Biro Urusan Sipil segera berdiri, memasang senyum standar di wajahnya, dan bertanya dengan penuh semangat, "Layanan apa lagi yang Anda butuhkan?"

"Panggil orang yang mengatur urusan kartu keluarga. Ngomong-ngomong, kartu keluarga itu perlu diubah."

Baim melirik kartu keluarga dengan nama "Joko" di halaman pertama dengan jijik, dan mengulurkan tangannya. Seseorang segera menyerahkan sapu tangan bersih padanya.

Baim menyeka tangannya dan langsung melempar saputangan itu. Sepertinya dia lumayan mual setelah menyentuh kartu keluarga itu. Benar-benar menjijikkan.

Dian sedang memikirkan tentang urusan apa sebenarnya yang terjadi di antara 'Tuan muda kedua Keluarga Adam' ini dan Ayahnya, Joko?

"Apa yang akan kau lakukan?" Dian masih bertanya, karena Baim hanya berkata dia ingin mengubah kartu keluarganya.

Dian bukan orang bodoh, dan tentu saja tahu bahwa Baim ingin mengubah kartu keluarganya.

Bukannya Dian tidak berpikir untuk mengubah kartu keluarganya. Dia pernah berkonsultasi dengan pusat pengelola pencatatan kartu keluarganya sebelumnya, namun sayangnya petugas di sana mengatakan bahwa kepala keluarga juga harus hadir pada saat yang bersamaan.

Jelas, Joko tidak akan melakukan hal yang memalukan seperti itu. Bagi Joko, tidak masalah apakah Dian adalah seorang anak perempuan atau bukan, yang penting adalah dia tidak bisa kehilangan orang ini.

Oleh karena itu, bahkan jika dia mengabaikan Ibunya dan Dian selama bertahun-tahun, tapi demi reputasi keluarga, Joko tetap tidak mengusir mereka dari rumah keluarga.

Baim mengamati Dian dalam-dalam, matanya sepertinya bisa melihat segalanya, membuat siapapun tidak bisa menyembunyikan kebohongan mereka.

"Ketika menikah, tentu saja siapapun ingin berada dalam daftar kartu keluarganya yang sama. Terlebih lagi, apa mungkin kau masih ingin tetap berada dalam kartu keluarga itu?"

"Tentu saja tidak!" sembur Dian. Dia tidak ingin berada dalam kartu keluarga yang sama dengan keluarganya sejak lama. Dari awal juga dia berpikiran demikian.

"Tapi, aku juga tidak mengatakan kalau aku ingin berada di kartu keluarga yang sama denganmu!" Setelah jeda, Dian menambahkan kalimat lain.

Baim memandang santai ke arah Dian, seolah-olah dia tidak ingin menjawab pertanyaan Dian.

Dalam waktu kurang dari 10 menit, kepala kantor manajemen pendaftaran kartu keluarga langsung berlarian, seolah-olah dia takut Baim telah menunggu lama.

Begitu dia melihat Baim yang auranya sedingin gunung es, Pak Kepala Sugeng segera bersikap lebih berhati-hati, dan dengan cepat berjalan mendekat. Dia mengulurkan tangannya, dan berjabat tangan dengan Baim.

Baim hanya berjabat tangan dengan Pak Kepala Sugeng secara singkat. Pak Kepala Sugeng sepertinya telah menerima berkah besar dari langit. Ketika dia ingin berbicara, Baim menyela.

"Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengubah pendaftaran kartu keluarga?"

Pak Kepala Sugeng menelan dan berkata dengan cepat, "Lima menit, lima menit pasti akan selesai!"

Ketika Pak Kepala Sugeng menerima pemberitahuan itu, stafnya sudah menjelaskan kepadanya. Jadi, Pak Kepala Sugeng datang kemari setelah menyiapkan semua informasi yang diperlukan.

"Atchoo!"

Dian bersin dengan tidak nyaman!

Baim mengerutkan kening, dan untuk pertama kalinya, dia melirik ke arah Dian. Wajah Dian masih sedikit pucat. Meskipun saat itu musim panas dan pakaian di dalam mobil telah kering setelah kehujanan, Dian masih sedikit tidak nyaman.

"Aku ingin melihat hasilnya dalam dua menit."

Suaranya mendominasi, tanpa keraguan sama sekali! Dia tidak akan mau menerima alasan kalau petugas itu tak mampu melakukannya!

次の章へ