Oscar mengangkat tangannya dan melihat arloji itu lagi, dan ternyata sudah 30 menit berlalu.
Kali ini, alis Oscar berkerut semakin erat. Tentu saja, pandangan matanya sudah terlihat agak terusik.
Dia mengeluarkan ponsel edisi terbatas terbaru milik IU Group dari saku pakaiannya, memutar nomor, dan berjalan sedikit lebih jauh sebelum berkata, "Bagaimana kabarmu? Air mancur musikal pukul lima belum dimulai. Uangku tidak sedikit dan tidak mudah mengumpulkan dana sebesar itu."
Karena letaknya agak jauh, Dian tidak bisa mendengar apa yang dia bicarakan. Tetapi jika melihat dari ekspresinya, wajah Oscar muram, seolah-olah dia sedang menegur seseorang.
Oscar ... sangat berbeda dari sebelumnya. Di masa lalu, Oscar sangat lembut dan tidak pernah marah kepada orang lain. Dia adalah seorang pria yang lembut. Dian baru pertama kali ini melihat Oscar bersikap keras dan menegur orang lain melalui telepon.
Setelah beberapa saat, Oscar menutup telepon dengan ekspresi tidak senang dan berjalan ke Dian lagi.
"Sekolah mengatakan bahwa saluran di air mancur musikal rusak untuk waktu yang lama. Saya khawatir air mancur musikal tidak akan dimulai hari ini."
Dian mengangguk dan menatap air mancur musikal, dengan penyesalan di matanya.
Oscar secara alami menangkap sorot penuh sesal di mata Dian. Dia tersenyum, dan berkata, "Mengapa kita tidak pergi saja? Apa kau masih ingat Jalan Valentine di sana? Kita awalnya kan sering datang ke sana."
Jalan Valentine.
Tempat terbaik bagi pasangan untuk berkencan di universitas, karena jalan dipagari dengan pepohonan yang rapi di kedua sisinya, serta lingkungan yang anggun dan romantis. Ketika musim gugur tiba, daun maple akan berguguran-pemandangannya sangat indah.
Dian mengangguk. Dia sudah lama tidak bersekolah, dan ingin melihat apakah kenangan saat itu masih ada.
Saat keduanya berjalan menuju Jalan Valentine, Oscar berkata, "Ingat kapsul waktu yang kita tanam di Jalan Valentine? Kenapa kita tidak pergi dan mencarinya saja?"
Ketika menonton drama TV, dia sering menemukannya di kampus. Dia akan melihat jembatan, dan menulis keinginannya di atas kertas, lalu menaruhnya di dalam kotak dan menguburnya, Nantinya mereka akan menggali kotak kapsul waktu itu setelah bertahun-tahun untuk melihat apa keinginan asli mereka telah terwujud.
Banyak siswa akan mengikuti cara itu, Mereka juga menulis keinginan mereka sendiri di awal dan setuju untuk menggali kotak kapsul waktu bersama-sama di masa depan untuk melihat apa keinginan pihak lain telah terwujud.
Dian tidak pernah berpikir kalau mereka akan menggali kotak kapsul waktu itu bersama-sama dalam keadaan dan identitas mereka sekarang.
Untuk beberapa alasan, dia tidak ingin menemukan kotak kapsul waktu itu. Rasa enggan memenuhi benaknya.
Karena yang dia tulis di awal adalah berharap bisa membentuk keluarga yang bahagia dengan Oscar di masa depan dan memiliki bayi yang manis.
Tapi sekarang, Oscar akan menjadi kakak iparnya, hehe. Kalau dia menggali kotak itu, dan melihat keinginan aslinya, Dian akan merasa malu.
Dia menyukai Oscar, tapi bukan berarti dia tidak punya harga diri.
Namun, Dian juga ingin tahu apa yang ditulis Oscar saat itu. Karena penasaran, Dian memutuskan untuk pergi bersama Oscar untuk menemukan kotak kapsul waktunya di masa lalu.
Adapun apakah dia dapat menemukannya, mari kita lihat nanti.
Mungkin, Tuhan tidak ingin mereka menemukan kenangan di tahun itu. Jalan Valentine sebenarnya sedang direnovasi dan seluruh jalan diblokir.
Entah kenapa, tiba-tiba Dian tidak mau berlama-lama di sana lagi. Meski tidak percaya pada takdir, tampaknya Tuhan suka bercanda dengannya, dan mengingatkannya dengan berbagai cara di sepanjang waktu bahwa semuanya hanyalah masa lalu, dan banyak hal telah berubah sekarang.
Air mancur musikal rusak, dan Jalan Valentine yang tetap tidak berubah selama ribuan tahun rupanya sedang direnovasi.
"Ayo kembali." Dian berbalik dan berjalan ke arah mereka tadi berasal.
"Dian." Oscar mengulurkan tangan dan meraih lengan Dian dengan paksa, Dian bahkan merasakan sedikit sakit di lengannya.
"Lepaskan. Oscar, lepaskan." Dian tidak tahu seberapa besar keberanian dan kekuatan yang telah dia kumpulkan dengan mengatakan ini. Dia hanya merasakan sakit di hatinya, seperti tersayat pisau.
Tangan Oscar mencengkeram erat Dian, seolah-olah Dian akan menghilang begitu dia melepaskannya. Cengkeraman itu terasa kuat dan memaksa.
Dian menoleh ke belakang dan menatap mata Oscar yang dalam dan rumit, "Lepaskan, kau sudah membuat pilihan pada tiga tahun lalu, bukan? Kau baru saja memberitahuku tentang jawaban ini dan semuanya terlambat sampai tiga tahun. Tapi itu sudah cukup bagiku."
Oscar masih menatap Dian begitu dalam, seolah-olah dia akan meleburkan Dian ke sumsum tulangnya. Saat angin bertiup, meskipun saat itu musim panas, masih ada daun yang jatuh dengan lembut.
"Dian, ayo kita menikah."
Suara lembut Oscar penuh dengan nostalgia dan antisipasi.
Hati Dian tiba-tiba seperti dipukul. Memang hanya beberapa kata, tapi itu menghantam hati Dian dengan sangat keras.
Saat itu, Dian berpikir apa dia akan bertanya pada Oscar-pria itu apa berencana menikahinya pada hari kelulusan mereka? Tapi hari ini, mereka masih berdiri di kampus, orang yang sama, tempat yang sama, dan dia mendengar lamaran Oscar.
Untuk sementara waktu, semua emosi membuncah di dalam hatinya. Setelah menunggu bertahun-tahun, mengapa itu yang dikatakan Oscar?
Tanpa diduga, dia mendengarnya sekarang.
"Dian, apa kita akan menikah?"
Melihat Dian belum menjawab, Oscar bertanya lagi. Ekspresinya terlihat tegas, dan sorot matanya terlihat lebih yakin dari sebelumnya.
Saat memandang bagaimana mata Oscar yang penuh kasih sayang dan cinta yang dalam, Dian hampir berkata "Oke."
"Setelah menunggu lama, akhirnya aku menunggu sampai hari ini. Setelah sekian lama, akhirnya aku mewujudkan mimpiku. Jalan di depanku panjang dan aku ada di sini. Untunglah kau ada di sini."
Ponsel Oscar berbunyi.
Tak disangka-sangka, ringtone ponsel Oscar masih sama dengan ringtone yang mereka buat sebelumnya. Hanya saja ringtone Dian sudah berubah, dan ringtone Oscar masih sama.
"Kau tidak mengangkat ponselmu?"
Dian sempat kehilangan fokus pikirannya saat dia mendengarkan lagu itu berulang kali, dan respon 'Ok' tadi juga ikut musnah.
Oscar dengan keras kepala menolak untuk menjawab telepon. Dia hanya menatap Dian, "Kau belum menjawabku. Dian, apa kau bersedia menikah denganku?"
"Setelah menunggu lama, akhirnya aku menunggu sampai hari ini. Setelah sekian lama, akhirnya aku mewujudkan mimpiku. Jalan di depanku panjang dan aku ada di sini. Untunglah kau ada di sini."
Dering telepon tidak pernah terputus, seolah-olah pihak lain tidak tahu kalau Dian sudah lelah mendengarnya.
Oscar akhirnya mengeluarkan ponselnya dan melirik ke arah layar. Pandangan matanya menjadi gelap, dan ada jejak kerumitan yang terpancar di sana.
Hati Dian mencelos.
Tidak sulit untuk menebak dari ekspresi Oscar kalau Rara yang menelponnya.
Haha!
Ya, mengapa dia bisa lupa kalau ada Rara? Tadi, dia benar-benar terpesona oleh ingatannya, dan dia lupa beberapa saat. Pria di depannya yang ingin melamarnya baru saja bertunangan dengan adik tirinya beberapa hari yang lalu!
Dian memandang Oscar, dan dia juga ingin tahu apa yang akan dilakukan Oscar.
Oscar akhirnya menutup telepon dan tidak menjawab. Segera setelah panggilan lain masuk, Oscar awalnya ingin terus menutup telepon, tetapi setelah melihat ID penelepon, dia ragu-ragu dan menekan tombol jawab.