"Ini adalah kendaraan paling aneh sekaligus keren yang pernah kunaiki seumur hidup!" Edgar Arlie tersenyum gembira mengamati seluruh isi mobil Samuel. Tangannya menekan-nekan jok, meraba langit-langit, dan mengusap-usap kaca jendela dengan penuh minat. Tidak akan kau temukan persamaan dengan kereta kuda di Monte.
Belum lagi pemandangan kota yang dilalui. Edgar memekik kepada Raquela yang duduk di sampingnya ketika melihat seorang gadis tengah berjalan santai di trotoar bersama seekor anjing dachshund berwarna cokelat. Edgar bertanya-tanya apa anjing mungil tersebut tidak kesakitan akibat tali kekang yang menempel pada kalung di lehernya, dan Samuel menjawab tidak.
Deretan kios dan kafe di sepanjang jalan menyuguhi pemandangan yang mengesankan bagi Raquela. Ia bisa melihat beberapa toko yang memamerkan pakaian, kacamata, topi, atau sepatu yang dikenakan kepada dua hingga empat manekin di setiap etalase. Di Monte, adalah Rochesfeer yang berperan penting sebagai wilayah perniagaan. Selalu terjadi keramaian antara penjual dan pembeli setiap harinya, tetapi keramaian di kota ini melebihi kesibukan di Rochesfeer. Seolah segala-galanya kehidupan di Bumi berada pada level yang berbeda dengan Monte.
Samuel sengaja mengambil jalan lebih jauh hanya untuk memperlihatkan taman kota kepada Raquela dan Edgar. "Tepat di tengah taman itu kalian berbaring tak sadarkan diri," ungkapnya.
Keadaan taman siang ini terbilang ramai. Masyarakat Quebec dari berbagai kalangan menikmati waktu santai mereka dengan tawa dan suka cita. Para lansia duduk di bangku-bangku taman yang sejuk di bawah pohon maple. Muda-mudi bercanda ria sambil bernyanyi-nyanyi memenuhi undakan. Anak-anak berlarian riang gembira di jantung taman. Meski musim dingin akan segera tiba, rupanya panas matahari tetap mampu menghangatkan suasana.
Taman tersebut mengingatkan Raquela kepada bukit Arran di wilayah Ayrith. Di beberapa kesempatan, Raquela dan Edgar yang sama-sama berjiwa berpetualangan pasti akan menyempatkan waktu untuk mendatangi bukit itu. Jika sedang lelah dan mengantuk, mampirlah untuk beristirahat di bukit Arran yang indah dan nikmati kedamaian di kala napas berembus. Ketika mobil melaju meninggalkan taman, untuk sesaat Raquela merindukan Monte. Petualangan kali ini belum dimulai, tapi sosok ayah, kedua kakak, dan seluruh penghuni istana mengambil sebagian besar perhatian Raquela.
Kira-kira apa yang sedang dilakukan Raja Frederick Walmond bersama Putri Adrienne dan Putri Leandra saat ini? Salah satu kakaknya itulah yang menjadi alasan kepergian Raquela untuk mencari Anemone baru di Bumi.
Sepuluh menit kemudian, mobil memasuki lahan parkir di depan sebuah bangunan besar nan megah yang membuat Raquela dan Edgar terkesima. Mereka berjalan mengikuti Samuel dan Aidan ketika memasuki bangunan tersebut.
"Kita berada di swalayan," kata Samuel. "Toko serba ada di mana kau bisa membeli berbagai kebutuhan sehari-hari." Mereka semua berhenti tepat setelah melewati pintu masuk. Bagian dalam bangunan adalah sesuatu yang jauh lebih menakjubkan bagi Raquela dan Edgar. Tempat ini bagai sebuah lapangan yang penuh sesak dengan ribuan produk yang dijajakan dan ratusan manusia berlalu lalang.
"Swalayan adalah tempat yang besar dan luas, jadi kusarankan agar tetap bersama dan jangan sampai terpisah." Samuel berpesan lalu mulai menghampiri jajaran rak bumbu dapur.
Lantunan musik lamat-lamat mengalun entah dari mana membuat Raquela berusaha keras mendengarnya di tengah hiruk pikuk manusia Bumi di sekitar. Tanpa ia sadari, orang-orang melirik sosok Raquela Walmond dari atas hingga bawah. Aidan yang berjalan di belakang Raquela justru merasakannya, tatapan pasang mata yang penasaran. Aidan membayangkan apa sebelumnya tidak pernah ditemukan seorang gadis berbelanja mengenakan gaun, atau ada hal lain yang mereka perhatikan dari sosok Raquela.
Dengan sigap Aidan menempatkan diri di samping Raquela. "Berminat melihat-lihat ke sana?" tanya Aidan seraya menggiring gadis itu ke sebuah lorong. Mereka tiba di deretan rak aksesoris perempuan.
"Bagaimana dengan Edgar dan Tuan Richard? Bukankah kita tidak boleh terpisah?" Raquela menoleh ke sana kemari mencari dua orang lainnya.
Kau yang tidak boleh terpisah, hati Aidan berkoar-koar. "Tidak perlu khawatir," Aidan berkata. "Kita akan menemui mereka di kasir."
Raquela cukup percaya dengan perkataan Aidan. Perhatiannya pun beralih kepada kalung-kalung berliontin yang digantung pada salah satu rak. Kemudian ia mengamati setiap aksesoris yang ada. Kalung, cincin, gelang, anting, semuanya. Dengan sabar Aidan mengawasi gadis itu sambil sesekali melirik tajam orang-orang yang kedapatan mencuri pandang kepada Raquela. Lalu Aidan berhenti menggubris area sekeliling saat gadis itu mendadak diam menatap sebuah kalung dengan liontin berbentuk bunga.
Aidan ikut terpaku melihat kalung tersebut. Bagian rantainya terbuat dari manik-manik kecil sementara si liontin bunga terbuat dari kaca. Kelopaknya banyak—berwarna ungu terang sedangkan bagian tengahnya berwarna ungu gelap. Walau liontin itu hanya sebuah replika, tetapi Aidan merasa pernah melihat bunga versi aslinya di suatu tempat. Di bagian belakang liontin terdapat huruf-huruf kecil bertuliskan Montrose.
"Sederhana, tapi indah." Raquela bergumam.
Dering ponsel Aidan tiba-tiba menginterupsi. Rupanya Samuel telah selesai berbelanja dan meminta mereka untuk segera bertemu di kasir. Dengan berat hati Raquela mengembalikan kalung itu ke tempat semula. Mereka pun bergegas pergi. Ketika sampai, masing-masing Samuel dan Edgar telah menjinjing dua kantong plastik besar yang terlihat penuh dan berat. Awalnya Samuel meminta maaf kepada Edgar karena telah merepotkan dan menyuruh Aidan untuk mengambil alih belanjaan di tangan Edgar, tetapi si pirang itu mengatakan kalau dirinya tidak keberatan membantu.
Aidan meminta mereka keluar lebih dulu sementara ia pergi ke toilet. Meski begitu bukanlah toilet tujuan Aidan, melainkan lorong di mana rak aksesoris berada. Dengan cepat ia menemukan satu-satunya kalung liontin bunga yang dijajakan lalu mengambilnya dan lekas pergi ke kasir.
"Bonjour." sapa si petugas kasir bernama Lucy. "Hanya ini, Tuan?" Aidan mengangguk. Kepala gadis itu ditutupi rambut sewarna tembaga dengan manik mata berwarna ungu seperti ubi ungu. Aidan menebak pasti hanya lensa kontak. Kulitnya sawo matang dengan tubuh yang terbilang mungil, tapi senyumnya sangat manis.
Sekelumit rasa bingung menghampiri Aidan, bertanya-tanya apa perempuan ini sudah cukup umur untuk bekerja atau memang hanya penampilannya saja yang terlihat seperti anak remaja. Tangan-tangan mungil Lucy memasukkan kalung tersebut ke dalam plastik kecil lalu menyerahkannya kepada Aidan setelah pembayaran. Ketika berniat pergi, tiba-tiba dia memanggil Aidan.
"Untukmu, Tuan." ucapnya seraya menunjukkan sebuah kotak kayu berbentuk persegi.
"Apa ini?" Aidan mengambil kotak dan hendak membukanya, tapi gadis kasir tersebut buru-buru melarang.
"Kau bisa menyebutnya hadiah,"
"Tapi, aku tidak—"
"Semoga kelak hadiah itu bisa berguna." ujarnya tanpa memberi Aidan kesempatan untuk mengembalikan si kotak kayu. "Antrean berikutnya, silakan!"
*