webnovel

» Harun dan Setiawan.

Dewa datang dengan kemarahan yang terlihat jelas di wajahnya. Kemarahan yang baik Harun maupun Setiawan tidak mengerti alasannya.

Sewaktu menghubungi Dewa untuk mengatur janji temu, suara Dewa terdengar baik-baik saja. Mereka bahkan sengaja bertemu di salah satu Rumah Kopi karena Dewa yang menginginkannya. Dewa tidak ingin istrinya khawatir.

Alasan kemarahan Dewa, mereka sama sekali tidak bisa menebaknya.

"Apa seperti itu cara kerja kalian?! Mendapatkan informasi sepihak kemudian menyebarkannya pada anggota keluarga lain?"

Terjawab sudah alasan kemarahan Dewa.

Setiawan ingin menanggapi namun dihentikan oleh Harun. Ia mengambil alih sebagai pembicara. "Kami hanya ingin memastikan kebenaran. Di mana letak kesalahan dari cara kami?"

Dewa semakin marah. "Tapi dalam hal ini istri saya tidak ada hubungannya! Kebenaran seperti apa yang kalian inginkan? Saya yang saat itu ... " kalimat Dewa terhenti. Ia menyadari sesuatu. "Bukan, bukan kalian." Dewa duduk di kursi kosong depan Harun dan Setiawan. "Apa ada petugas lain yang juga menyelidiki kasus ini?"

"Sayang sekali. Padahal tampaknya saya nyaris mendapatkan sesuatu," Harun berkata dengan nada bercanda.

"Tidak ada sesuatu. Ini serius! Seseorang menelepon istri saya dan mengatakan kebohongan," ujar Dewa.

"Kalau boleh tahu kebohongan apa yang diberitahukan ke istri Anda?" Setiawan menimpali dengan cepat.

"Saya tidak terlalu yakin, saya hanya bertanya pada perawat istri saya. Dia bilang ada telepon dari polisi dan setelahnya istri saya histeris."

"Hanya itu?" Kali ini Harun yang bertanya. "Bagaimana Anda bisa tahu informasi yang masuk ke telinga istri Anda adalah kebohongan?"

"Karena dengan Rindang, selain atasan dan pegawai saya tidak terlibat dalam hubungan apa pun!" tegas Dewa penuh keyakinan.

Setiawan menatap ke arah Harun. Kalimat Dewa telah menepis dugaan yang sebelum ini berkembang di kepalanya. Ditegaskan seperti ini, Setiawan sama sekali tidak melihat kebohongan atau keraguan di mata Dewa. Kalimatnya jelas bukan kebohongan. Keyakinanya jelas tidak main-main.

"Anda tahu siapa pelakunya?" Harun bertanya lagi. Dewa menggeleng.

Harun ragu Dewa tidak bisa menerka siapa sebenarnya identitas si penelepon. Orang yang berhubungan dengan kasus jumlahnya terbatas, walau hanya sekadar tebakan, Dewa pasti memiliki orang yang dicurigai. Meski begitu Harun tidak berencana untuk terus mendesak. Tidak akan ada gunanya.

"Oke, kalau begitu kita langsung saja ke inti pembahasan."

Harun mengubah cara duduknya. Ia mencondongkan badannya ke depan. Dengan satu anggukan kepala, Setiawan meletakkan foto seorang wanita di tengah meja.

"Anda mengenal wanita ini?" tanya Harun.

Dewa memperhatikan foto wanita yang memiliki tahi lalat di sebelah kanan bagian bawah bibir. Senyum yang ditarik dari bibir tipis itu terlihat menawan. Rambutnya yang panjang diikat rapi ke belakang. Penampilannya terlihat seperti seorang wanita karier. Usianya berada di awal angka tiga puluhan.

Tidak perlu terlalu lama bagi Dewa untuk memperhatikan. Ia mengenal wanita itu. Tentu saja.

Dewa mengangguk dengan kaku. Seperti ada yang salah dengan sendinya. Ia pikir pertemuannya dengan Harun dan Setiawan masih menyangkut kasus Rindang.

"Saya pikir kita masih akan membahas kasus pembunuhan Rindang?" tanya Dewa masih tidak tahu ke mana arah pembahasan mereka akan berlanjut.

Harun mengangguk, Setiawan menjelaskan. "Lima bulan lalu Kamilia Ulfa ditemukan meninggal di rumahnya."

Rahang Dewa turun dan matanya melebar. Ia perhatikan lagi foto yang diletakkan di tengah meja. Kali ini Dewa berubah ragu. Benarkah Ulfa yang disebutkan telah meninggal oleh Setiawan adalah Ulfa yang sama dengan yang ia kenal.

Dewa berpikir.

Benar, tidak salah lagi. Kamilia Ulfa yang baru saja disebutkan memang sama dengan Kamilia Ulfa yang dikenalnya. Ulfa si ketua kelas ketika mereka masih di sekolah menengah atas. Si pekerja keras sekaligus si kepala batu.

"Permisi!" Dewa mengangkat tangannya dan memanggil pramusaji. Mendadak ia memerlukan asupan kafein agar bisa berpikir dengan jelas.

Harun tidak mempermasalahkan. Ia memberi waktu Dewa untuk memulihkan diri dari keterkejutannya. Harun menyesap kopi hitamnya, begitu pun dengan Setiawan dengan teh hijaunya.

Setelah Expresso Dewa datang, ia menyesapnya sedikit. Ia kembali berpikir sebelum melanjutkan pembicaraan.

"Maaf," Dewa merasa telah mengambil jeda terlalu lama "Ini benar-benar kabar yang mengejutkan."

Harun dan Setiawan mengangguk maklum bersamaan.

"Kapan kira-kira terakhir kali Anda bertemu Kamilia Ulfa?" Setiawan mulai mengajukan pertanyaan ketika dilihatnya Dewa telah mampu mengendalikan diri.

Dewa mengambil jeda lagi untuk mengingat. "Kalau dipikir-pikir," katanya "Kalau Ulfa ditemukan meninggal lima bulan lalu, itu terjadi setelah reuni SMA ... "

"Benar. Lima jam setelah reuni," Harun menimpali.

Alis Dewa terangkat, kulit bawah alisnya tertarik. "Hari itu ... saya juga datang ke reuni."

"Jadi Anda bertemu dengan Kamilia Ulfa hanya saat berada di tempat reuni?" Setiawan mendesak Dewa untuk memberi jawaban dengan jelas.

Dewa menggeleng, "Saya sempat mengantarnya pulang."

Hening.

"Lalu?"

Harun dan Setiawan masih menunggu tapi Dewa tidak kunjung menambahkan apa-apa pada kalimatnya.

"Tidak ada lalu. Hanya sampai di situ." Dewa mengangkat kedua bahunya. "Sebenarnya bahkan saya tidak ingin datang karena jika saya datang artinya saya harus ke kota seberang dan meninggalkan istri saya. Tapi teman-teman yang lain mengirimi saya banyak pesan, membujuk, meminta untuk datang walau hanya sebentar."

"Bukannya kalian sempat dekat saat di sekolah?" Setiawan memancing.

"Lalu apa?" Dewa bertanya sengit.

Dewa tahu ke mana arah pembicaraan Setiawan. Ia sudah terlalu sering membaca tatapan-tatapan macam itu. Dewa bosan, merasa muak. Mengapa ia harus disamakan dengan beberapa orang yang melakukan perselingkuhan ketika istri mereka sakit.

"Sebenarnya ada persamaan antara terbunuhnya Rindang Saraswati dan Kamilia Ulfa." Harun kembali mengambil alih sebagai pembicara untuk mengalihkan pembahasan dan memperbaiki mood Dewa.

"Persamaan?" ulang Dewa dijawab dengan anggukan oleh Harun. "Apa?"

Harun menyadarkan punggungnya di punggung kursi. Ia melipat kedua tangannya di depan dada dan menunjuk ke arah Dewa dengan menggunakan dagunya.

"Saya? Kenapa dengan saya?!" Kening Dewa berkerut dalam. Suaranya meninggi. "Setelah mengantar Ulfa ke rumahnya, saya segera meninggalkan kota."

"Kami tahu." Harun memberi isyarat dengan menggunakan tangannya agar Dewa tetap tenang. "Wajah Anda tertangkap kamera CCTV ketika masuk jalan tol."

"Lalu?"

"Persamaan antara kedua kasus memang benar adalah Anda. Keberadaan Anda merupakan sebuah petunjuk karena Anda adalah orang terakhir yang bersama korban," jelas Harun.

Dewa ingin menyela, tapi ia urungkan karena Harun kembali memberi isyarat dengan tangannya bahwa ia belum selesai bicara.

"Hasil investigasi sementara kasus Kamilia Ulfa mengatakan motif pembunuhan adalah perampokan, melihat banyaknya barang berharga korban yang hilang. Tapi cara membunuhnya sangat tidak wajar, mirip dengan cara Rindang dibunuh. Yah, meski tidak benar-benar sama." Harun menyelesaikan kalimatnya.

Dewa tidak menanggapi. Kalimat yang sebelumnya ingin ia utarakan, tidak jadi dikatakan. Masih ada banyak hal yang harus ia pikirkan meski tidak benar-benar yakin dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Pertama-tama Dewa harus mengurutkan semuanya. Ia butuh waktu untuk itu.

"Saya tahu kecil kemungkinannya Anda sebagai pelaku, tapi Anda adalah kunci utama untuk dua kasus yang kami selidiki jadi kami minta kerja samanya." Harun kembali mencondongkan badannya. "Tolong ceritakan pada kami apa yang sebenarnya terjadi senja itu!" Tambahnya merujuk pada Rindang, bukannya Kamilia Ulfa.

Mata Dewa dan Harun bertemu. Harun membujuk, Dewa menimbang-nimbang.

Kalimat yang baru saja Harun katakan mengusik kesadaran Dewa. Meski kecil kemungkinannya, ia masih tetap ada dalam radar kepolisian, masih akan terus diawasi, terus dicurigai. Itu artinya Dewa tidak bisa melakukan semuanya dengan gegabah, tanpa rencana.

"Maaf, semua ini benar-benar mendadak." Dewa berusaha mengulur waktu. Ia melirik ke arah jam di pergelangan tangannya, "Saya ada janji dengan orang lain. Kalau tidak ada yang dikatakan lagi, saya pergi sekarang."

Dengan anggukan, Harun mempersilahkan Dewa pergi.

"Dia ragu untuk bekerja sama tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dewa sedang meminta kita memberinya waktu untuk berpikir." Harun berbicara lebih seperti kepada dirinya sendiri.

"Anu ... " Setiawan ragu untuk memulai "Saya minta maaf karena terlalu mendesak Dewa tadi."

Harun mendelik, Setiawan menundukkan wajahnya. Jelas merasa bersalah. "Bagus kalau kamu tahu letak kesalahanmu," Harun menghela napas. "Bagi Dewa, istri dan perasaannya adalah hal paling sensitif melebihi apa pun."

Setelah meneguk kopinya hingga tetes terakhir, Harun dan Setiawan beranjak dari tempat mereka. Masih ada banyak hal yang menunggu untuk dikerjakan.

Begitu Harun dan partnernya menghilang dari balik pintu keluar, seseorang yang mengenakan hoodie yang terlalu besar untuk ukuran tubuhnya, juga celana jins komprang yang terlihat buluk, berjalan ke meja yang baru ditinggalkan penghuninya. Ia berjongkok untuk mengambil sesuatu yang diameternya kurang lebih baterai jam tangan.

Ia mengulum senyum. Earphone yang sebelumnya menutupi telinganya, ia gantung ke leher.

Pembicaraan yang menarik. Hasil kerja yang bagus. Laporan yang harus ia serahkan kepada klien untuk hari ini lebih dari cukup.

Sebelumnya ia masuk ke dalam Rumah Kopi dengan jeda yang tidak terlalu lama setelah Dewa masuk. Ia telah mengikuti Dewa seharian ini, juga hari-hari sebelumnya. Jadi tahu ke mana dan apa yang telah Dewa lakukan. Juga mengenai kunjungan Dewa ke TKP dan pertemuannya dengan Alexi.

Hari ini ia berpenampilan lebih serampangan agar terlihat seperti anak laki-laki. Topi yang menutupi sebagian wajahnya, earphone yang menutupi telinganya, ransel besar, dan sepatu cats. Ia bahkan tidak ragu memilih meja yang dekat dengan targetnya.

Alasan memilih meja terdekat adalah agar mudah melemparkan alat penyadap dan merekam apa yang dibicarakan.

Alat penyadap miliknya bukan peralatan berteknologi tinggi seperti yang ada dalam film-film intelijen. Penyadap miliknya hanya bisa mengirim sinyal sampai jarak terjatuh 20 meter. Jika melebihi jarak jangkau, suara yang dikirimkan akan putus-putus, bahkan bisa tidak terdengar sama sekali. Syarat lain juga tidak boleh ada tembok penghalang. Benar-benar alat dengan kualitas buruk.

Harus melemparkan alat penyadap ke bawah meja target memang sangat berisiko, tapi toh pekerjaannya sejak awal memang penuh risiko. Jadi, kalaupun ketambahan sedikit lagi risiko tidak akan masalah. Hanya akan menjadi pekerjaan dengan bertumpuk risiko.

Untuk melempar alat penyadap, ia berpura-pura sedang membenarkan tali sepatu yang sejak awal memang telah dibiarkan longgar. Beruntung lemparannya mendarat dengan tepat dan tanpa suara karena menggelinding ke bawah meja si target. Jikalau gagal karena membentur sesuatu dan menarik perhatian, ia hanya perlu melarikan diri secepat mungkin. Ia tahu banyak jalan tikus di daerah ini. Jadi, dalam sekejap ia bisa menggunakan jurus menghilang tanpa jejak.

Persiapannya memang sudah sangat matang karena ia adalah seorang profesional.

"Raditya Dewangga," katanya menyebut nama Dewa dengan akrab dan penuh arti.

_abcde_

Sejujurnya karakter baru ini terinspirasi dari karakter Erika Guruh dalam novelnya Lexie Xu, tapi Erika Guruh terlalu bar-bar, tanpa tanding, karakterku lebih MANUSIAwi :D

NurNurcreators' thoughts
次の章へ