"Permisi, maaf. Apa aku boleh bergabung?"
Rea, Ferdinan dan seluruh anggota divisi musik menoleh pada seseorang yang izin untuk bergabung rapat.
Rea menarik napasnya panjang.
Lagi-lagi hari ini ia harus bertemu dengan Hans. Seseorang yang seharusnya ia lupa, namun jelas sangat tidak bisa, jika Hans terus-terusan menampakkan dirinya di hadapan Rea.
"Ini rapat internal. Aku tidak ingin ada orang luar tahu, termasuk ketua umum di organisasi yang menaungi divisi musik."
Kali ini Rea tegas.
Tapi sayangnya, Hans adalah ketua umum yang seharusnya tidak bisa ia tolak, jika ingin bergabung rapat bersama mereka.
"Rea …," singgung Ferdinan dengan mencubit punggung tangan Rea.
"Ouh … aku hanya ingin memberitahu, kalau aku sudah mendapatkan wakil untuk mendampingi kamu, Re …," ujar Hans, menyebutkan niatnya.
"S—siapa?"
"Rega."
Semua diam.
Semua tahu siapa Rega.
Seorang gitaris tampan yang digandrungi oleh para wanita, bukan hanya di kampus.
"Terima saja. Kapan lagi kita memiliki anggota yang keren seperti Rega," bisik Ferdinan, lagi.
"B—baiklah … kapan Rega bisa bergabung?" tanya Rea.
"Saat jadwal latihan pertama divisi musik, aku pastikan Rega sudah bergabung dengan kalian," jawab Hans.
***
"Jadi Hans yang meminta kamu bergabung dengan band nya?" tanya Rea, kemudian menggigit sate kambing yang dibelikan oleh Ferdinan, untuk makan malamnya.
Aldy mengangguk, mengiyakannya. Ia sedang mengunyah makanan di dalam mulutnya.
"Aku memang ingin bergabung dengan organisasi seni. Tapi aku ingin masuk dalam divisi seni rupa, bukan musik. Saat daftar, pria berkaca mata itu menghampiri dan memintaku untuk bergabung dengan band nya," papar Aldy kemudian.
"Aku pikir Hans tidak ingin band kita menambah personel baru, Re," timpal Ferdinan. "Dia tidak bisa melihatmu bersama pria lain."
Rea diam.
Ucapan Ferdinan membuat suasana makan malam menjadi tidak baik. Selera makan Rea mendadak hilang. Ia membalikkan sendok dan garpu, menyudahi makannya.
"Aku bilang seperti itu, tapi kamu jangan hilang selera makan, Re … habiskan! Aku tidak akan traktir kamu makan malam lagi kalau makanan ini kamu sisakan," gerutu Ferdinan.
"Iya …," jawab Rea, kembali menyuap sate kambing dengan lontong nya itu.
"Apa ada hubungan diantara Rea dan pria berkaca mata itu?" tanya Aldy, akhirnya penasaran.
"Dia, adalah masa lalu. Tidak perlu lagi kita bahas. Dan mulai sekarang, jangan memanggilnya pria berkaca mata lagi, Al. Kamu juga pria berakaca mata," jawab Rea yang kemudian menyuap lontong terakhir di dalam bumbu sate.
"Cukup diketahui saja, Rea memiliki masa lalu yang indah dengan Hans. Namun meninggalkan luka mendalam. Selebihnya, mungkin Rea belum siap untuk menceritakannya, Al," timpal Ferdinan menambahkan.
Ya …
Hans adalah masa lalu Rea. Masa lalu terindah bagi Rea. Yang pernah menyempurnakan hidupnya selama beberapa bulan, namun tidak bertahan lama. Rea seolah dibuat jatuh dari ketinggian, sehingga ia harus menerima luka yang mendalam, yang hingga kini masih sulit untuk disembuhkan dan juga dilupakan.
***
'Temui aku di rooftop, Rea!'
Rea mendapat sebuah pesan yang ditulis pada secarik kertas. Ia menemukannya di dalam loker tempatnya menyimpan tas, saat memasuki area perpustakaan.
'Siapa yang menyelipkannya? Dan kenapa ia tahu kalau ini adalah loker tempat aku menyimpan tas?' batin Rea bertanya-tanya.
Rea bergegas mengambil tasnya dan segera keluar dari perpustakaan, kemudian menuju ke lift yang ada di gedung utama kampusnya. Ia bergegas menuju ke rooftop untuk menemui seseorang yang menuliskan pesan untuknya dalam secarik kertas.
"Huft … huft … huft …."
Napas Rea terengah karena ia terburu-buru untuk sampai di lokasi tersebut.
Cklek!
Rea membuka pintu rooftop dan kembali menutupnya.
Kakinya melangkah, pelan. Menghampiri seseorang yang kini sedang berdiri di tepi rooftop, dengan memunggunginya.
Rea diam tak bersuara. Memilih untuk menunggu, pria itu yang lebih dulu menoleh ke arahnya.
Deg!
Pria itu menoleh … dan itu adalah Hans.
"H—hans?"
"Kenapa kamu masih saja seperti ini?" tanya Hans, terlihat begitu dingin.
"M—maksud ka—mu?"
"Bersikap seolah kita memiliki masa lalu bersama."
"Hans … kita memang memiliki masa lalu bersama," ucap Rea.
"Rea, aku memberi perhatian padamu, memberikan kesempatan padamu untuk menjadi ketua divisi, bukan karena aku menyukaimu! Aku adalah ketua umum yang sudah sewajarnya berlaku seperti itu kepada setiap anggota. Aku dengar dari Ferdinan, kalau mama kamu kerap mencari dan mengkhawatirkanmu, kalau kamu masih saja berkeliaran di kampus saat malam tiba. Aku hanya tidak ingin, organisasi seni memilki image jelek diluar sana. Dengan alasan organisasi, untuk bisa pulang malam," papar Hans.
"Kamu masih saja tidak mengingatnya, Hans …," ucap Rea, tidak mampu lagi menutupi rasa kecewanya.
"Mengingat apa, Re? Aku tidak hilang ingatan!"
"Kalau kamu tidak hilang ingatan, mengapa kamu melupakanku?! Mengapa kamu tidak mengingat hubungan kita?! Saat kecealakaan, kamu sama sekali tidak kehilangan akal dan ingatanmu. Tapi … mengapa saat—"
"Aku tidak mengenalmu, Rea!!!" ucap Hans dengan nada tinggi dan membut Rea diam.
"…"
Rea benar-benar diam dan hanya bisa menangis.
"Jangan jadikan air mata ini sebagai senjatamu. Setelah ini, bersikap sewajarnya saja," ucap Hans, kemudian berlalu.
Hans benar-benar tidak mempedulikan Rea. Dengan tega ia meninggalkan Rea dalam keadaan kacau di rooftop.
Bugh!
Rea jatuh, terduduk.
Tangannya mengepal begitu kuat. Tak mampu menahan sakit hatinya.
Bagaimana bisa Hans melupakan Rea begitu saja. Bukan hanya karena hubungan mereka, tetapi seolah seperti kehilangan ingatan. Dan hanya tidak bisa mengingat Rea seorang.
"Aaaaaaaargg …!!!"
Rea menjerit sekuat tenaga, untuk menghilangkan beban yang menumpuk di hati dan juga pikirannya.
Ia kacau ….
Sangat kacau ….
"Hans …," rintihnya, kembali memanggil nama sang mantan kekasih.
Dengan tangisnya yang tak mampu dihentikan.
Rea tidak bisa beranjak dari rooftop dan memilih untuk tetap berada di sana sampai perkuliahan usai.
***
"Tidak tahu. Aku menemukannya sudah seperti ini!"
"Aku akan menghubungi keluarganya. Tetaplah bersamanya."
Rea mendengar dengan samar, suara seseorang yang sudah tidak asing lagi baginya.
Namun ia tak mampu membuka matanya. Terasa begitu berat sehingga membuatnya memilih untuk tetap memejamkan matanya.
"Hmmm …," gumam Rea memberikan tanda kalau ia sudah sadar.
"Re? Kamu sudah sadar?"
Rea diam kembali, tidak menjawabnya,
Bukan hanya mata yang berat untuk ia buka, namun kepalanya juga terasa begitu sakit dan sangat pusing. Sehingga membuatnya memilih untuk diam, tanpa menambah pergerakan apapun, termasuk bergumam lagi.
"Aku Al, Rea. Kalau terasa tidak enak, tetap diam saja, ya. Ferdi sedang menghubungi orang tuamu. Kami tidak bisa memutuskan apakah kamu perlu dibawa ke rumah sakit atau tidak. Tapi saat ini, suhu tubuhmu sangat tinggi," ujar Al yang terus menggenggam tangan Rea yang terasa hangat.
'Apakah aku … pingsan?'