Separuh laboratorium sudah mulai kosong. Beberapa anak sudah selesai dan meninggalkan ruangan itu. Hanya tinggal lima orang anak yang masih mencuci-cuci.
Setelah selesai mengelap semuanya sampai bersih, Pradita memanggil Pak Usep untuk mengecek barang-barang laboratorium yang habis ia pakai sesuai dengan tabel yang ada di depan lemari. Jadi, setiap anak memiliki meja masing-masing dan harus menjaga barang-barang yang sudah dipakai, jangan sampai ada yang rusak atau hilang karena itu adalah milik sekolah.
Pak Usep menyebut nama-nama benda satu per satu dan kemudian setelah semuanya lengkap, ia pun menutup lemari itu dan menguncinya. Pradita mengangkat tasnya dan berjalan keluar dari laboratorium.
Regi dan Lintang baru saja keluar dari pekarangan laboratorium resep. Pradita sengaja berlama-lama supaya ia tidak perlu dekat-dekat dengan kedua makhluk menyebalkan itu.
Ia membuka labjas milik Bara yang samar-samar masih bau aroma pria itu. Tanpa sengaja Pradita menghirup labjas itu … agak dalam. Bara memang wangi. Aroma parfum Bara bercampur dengan bau pahit obat. Pradita seharusnya membawa pulang labjas itu dan mencucinya sampai bersih.
Semakin Pradita menghirup labjas itu, semakin ia menjadi gila karena membayangkan lagi wajah Bara. Kenapa ia jadi sulit untuk berkonsentrasi? Ia ini anak pelajar yang mempunyai kewajiban untuk belajar dan memperoleh nilai KKM meski hanya pas-pasan.
Lantas kenapa hidupnya malah dipenuhi oleh kegalauan karena dua laki-laki yang tega menyiksa hati dan pikirannya?
Jika, orang lain bertanya padanya, apakah ia menyukai Bara? Mungkin, tapi ia masih belum yakin untuk menjadikannya seorang pacar. Pradita tahu diri sedikit. Ia hanyalah siswa jelata yang tak pantas bersanding dengan siswa tajir sekaligus model yang sudah bisa mencari uangnya sendiri.
Lalu, bagaimana dengan Danu? Laki-laki itu adalah murni sahabatnya. Ini adalah pertama kalinya Danu bersikap aneh seolah-olah ia adalah pacarnya Pradita saja. Mengingat nama Danu hanya membuat mood-nya semakin turun.
Pradita mengeluarkan botol minumnya yang tinggal sedikit dan kemudian meneguknya sampai habis. Ia masih haus. Seharusnya Pradita membawa botol cadangan, tapi ia lupa. Pradita mengecek dompetnya dulu sebelum berniat membeli minum ke kantin.
Ternyata uangnya hanya cukup untuk membayar angkot pulang saja. Ia lupa meminta uang pada ibunya tadi pagi sebelum berangkat sekolah. Itu adalah uang sisa kemarin ia membeli nasi goreng di tempat renang.
Pradita mengurungkan niatnya, jadi ia terpaksa melewati kantin yang melambai-lambai padanya. Ada wangi gorengan; Tante Didin pasti baru saja menggoreng gehu. Pradita mendesah.
Nasib jadi siswa jelata, hanya bisa menggigit jari saat pulang praktikum sore. Syukurlah matahari masih bersinar indah. Pradita senang sekali memperhatikan matahari sore di sekolahnya.
Beberapa temannya masih sempat bermain basket di lapangan meski hanya bertiga. Pradita sudah tidak ada tenaga untuk melempar bola sama sekali. Tenggorokannya haus dan perutnya mulai lapar.
Pradita berjalan melewati lapangan basket dan auditorium, kemudian melewati pekarangan sekolah yang super jauh menuju ke gerbang depan. Seandainya ia punya sepatu roda atau otopet, ia tinggal menggeser-geser sedikit kakinya dan ia sudah tiba di gerbang dengan cepat.
Satpam sekolah, Pak Purwo, tersenyum ke arah Pradita yang dibalasnya dengan anggukan. Pak Purwo memang ramah sekali pada semua anak, tapi jangan salah, kalau sampai ada anak yang terlambat, ia tidak akan segan-segan mengunci gerbang pintu sekolah, kecuali untuk murid yang memang jadwal masuk sekolah siang.
Jangan salah, Pak Purwo itu tahu semua jadwal sekolah anak-anak. Beliau memang canggih. Untung saja, Pradita tidak pernah terlambat ke sekolah.
Pradita sedang menunggu angkot yang agak penuh supaya tidak banyak ngetem, sambil melihat-lihat apakah mobilnya agak bagus atau buluk. Biasanya, angkot yang buluk-buluk bawanya ngebut, tapi baunya tidak enak. Untuk angkot yang agak bagus, bawanya sedikit lebih kalem, tapi yaaa namanya juga angkot tetap saja baunya warna-warni.
Ketika ia sedang memilih-milih angkot, tiba-tiba seseorang menyebrangi jalan dengan menggunakan motor sport hitam dan helm fullface yang juga berwarna hitam. Suara motornya menggerung-gerung, terdengar sangar.
Motor itu lalu berhenti tepat di hadapan Pradita. Laki-laki itu memberi tanda pada Pradita dengan menyentak kepalanya sekali ke pinggir.
Pradita dibuat bingung karenanya. Ia sama sekali tidak mengenal laki-laki itu hingga akhirnya ia membuka kaca helmnya.
"Ayo naik ke motor, Yank," ucap laki-laki itu.
Pradita menyeringai. Ternyata itu adalah Bara. Untuk apa cowok itu memanggilnya 'yank'? Yang yang digoyang. Idih. Pradita ingin sekali dangdutan setiap kali Bara menyebutnya seperti itu.
"Ngapain sih lu nyebut-nyebut gua 'yang' segala? Getek tau!"
Bara tertawa. "Aku kan gak ngegelitik badan kamu. Kok jadi getek sih?"
"Lu jangan manggil-manggil gua 'yang' lagi bisa kan?" protes Pradita keras kepala.
"Oke, Sayang," ucap Bara penuh penekanan. Suaranya agak teredam karena mengenakan helm full face.
Pradita ingin meggetok kepalanya dengan mortir, tapi sayang mortinya tertinggal di laboratorium. Lalu Bara menyerahkan sebuah helm pada Pradita. Helm itu berwarna pink terang dengan gambar lope lope di bagian belakangnya. Yaiks!
"Lu gak salah ngasih gua helm kayak gini?" Pradita menatap helm biadab itu dengan wajah jijik. Meski helm itu terlihat baru, tapi tetap saja warnanya super ngejreng dan membuat sakit mata yang melihatnya.
"Hah? Apa?" tanya Bara. "Ayo buruan naek!"
Bara pasti pura-pura conge. Pradita terpaksa mengenakan helm pink ngejreng itu yang ternyata masih bau toko. Apakah mungkin jika Bara sengaja membeli helm baru itu untuk Pradita pakai?
Memikirkan hal itu malah membuat sesuatu berdenyut-denyut di dalam dadanya. Pradita suka cowok yang perhatian, tapi mungkin tidak Bara juga orangnya. Bara terlalu sempu … menyebalkan.
Bara itu sok cakep, sok ganteng, sok baek, sok perhatian. Iuh! Gak banget deh. Kalau bukan karena Pradita terpaksa memenuhi janjinya, ia mana mau pura-pura pacaran dengan cowok itu?
Kemudian Pradita naik ke atas motor sport yang super tinggi itu. Pradita harus merapikan roknya dengan saksama agar pahanya jangan sampai terlihat. Untung saja ia sudah selesai menstruasi sejak hari minggu pagi. Jika tidak, ia pasti merasa risih sekali mengangkat-angkat kaki tinggi-tinggi.
"Duh, ini motor tinggi amat sih?!" keluh Pradita. Ia biasanya baik motor bebek milik ayahnya, tidak pernah setinggi ini.
"Pegangan yang erat ya, Sayang," ujar Bara sambil menoleh sedikit ke samping.
"Emoh!"
"Serius, Sayang, nanti kamu jatuh."
Bara serius memanggilnya 'sayang' terus menerus? Idih lelah kuping Pradita mendengarnya.
"Di sini tuh gak ada siapa-siapa. Ngapain lu nyebut-nyebut gua 'sayang' terus dari tadi?"
"Oke sip." Bara langsung tancap gas hingga badan Pradita tersentak ke belakang.