Kalau bukan karena hari ini adalah ulangan praktek, Pradita bisa saja membolos praktikum. Tapi tidak. Meskipun mood-nya sedang buruk sekarang, ia tetap harus bisa menjalani ulangan prakteknya dengan sebaik mungkin. Ini menyangkut masa depannya. Kalau sampai ia remidial, maka nilainya tidak akan maksimal.
Pradita menimbang bahan, lalu menggerusnya dengan mortir dan stamper. Dasar Danu sialan! Ia menumpahkan kekesalannya pada obat yang sedang digerusnya. Kadang kala Danu memang suka seenaknya kalau berbicara.
'Oh jadi sekarang lu sama kakak kelas?'
'Lu kok mau-maunya sih gitu-gituan sama dia?'
Dasar berengsek! Memangnya apa yang sudah ia lakukan dengan Bara? Seenaknya saja! Ugh! Jika Danu ada di sini, ia akan menggetok kepanya dengan stamper. Karena tidak ada Danu di sini, obatlah yang menjadi korban.
Pradita justru penasaran, apa saja yang Danu lakukan bersama Arini kemarin. Benarkah mereka hanya pulang bersama? Itu saja? Jangan-jangan mereka sudah jadian. Syukurlah! Kalau memang Danu sudah berpacaran dengan Arini, berarti Danu sudah berhasil menggapai cita-citanya selama ini.
Pradita berusaha untuk fokus menghitung dosis maksimal. Ia melihat buku DM-nya. Baiklah. Perhitungannya sudah oke. Danu pasti bangga padanya jika melihat betapa cepatnya ia menghitung dosis dan mengisi jurnal dengan sangat rapih. Pradita mendesah. Seharusnya ia tidak membayangkan senyuman Danu saat ini. Hal itu sangat mengacaukan konsentrasinya.
"Dita," panggil Ibu Hasni.
Pradita mendongak, lalu menoleh ke arah meja guru. "Ya, Bu?"
Ibu Hasni memberi tanda agar ia mendekat. Dengan patuh, Pradita melangkah menghampiri guru cantik itu. Lipstiknya berwarna pink fuschia, sungguh sangat mencolok. Rambutnya dibonding lurus, terurai hingga ke pinggangnya. Pradita sempat melirik pahanya yang putih dan montok sedang disilang di bawah meja. Roknya sudah pasti terlalu pendek.
"Kamu baik-baik saja kan?" tanya Ibu Hasni saat ia sudah berada di depan mejanya, Wajah Bu Hasni tampak mengkhawatirkan Pradita. Aneh.
"Baik, Bu," jawab Pradita dengan ekspresi bingung.
"Sejak tadi Ibu lihat, kamu seperti yang sedang kesal."
Pradita menyeringai. "Gak kok, Bu."
"Iya benar. Kamu mendesah-desah terus sejak tadi," kata Bu Hasni sungguh-sungguh. "Tidak perlu kesal menghadapi ulangan praktek. Ini semua demi kebaikanmu sendiri. Kamu akan menyadarinya suatu hari nanti."
"Sa-saya tidak..."
"Sudah ya. Sekarang kamu tarik napas dalam-dalam..." Bu Hasni memberi contoh cara menarik napas yang baik dan benar. Tangannya dikibas-kibas di depan wajahnya, sementara dada dan pundaknya naik secara dramatis. "Seperti ini. Ayo."
Pradita menoleh ke belakang. Teman-temannya sedang memperhatikannya dan Bu Hasni. Terpaksa Pradita mengikuti Bu Hasni. Ia menarik napas asal.
"Naaahh... begitu. Ulangi lagi sampai kamu benar-benar tenang ya." Wajah Bu Hasni tampak glowing, dihiasi senyuman lebar yang memukau -- dan agak menyebalkan.
Pradita balas tersenyum hambar. Bahunya merosot. "Baik, Bu."
"Ya, sudah sana kembali ke mejamu," kata Bu Hasni mengusirnya. "Waktunya tinggal lima belas menit lagi!" serunya, membuat Pradita berlari ke mejanya.
Semua anak-anak tampak bekerja semakin cepat. Ia kembali meneliti jurnalnya. Racikan pulveres, kapsul, sirup, dan salep, semuanya sudah selesai dikerjakan. Ia tinggal merapikan mejanya, setelah itu menyerahkannya pada guru pengawas.
Selesai ulangan praktek, Pradita berjalan lunglai keluar dari laboratorium. Ia mengeluarkan botol minum dari tasnya, lalu meneguknya banyak-banyak. Kakinya terasa pegal. Jadi ia menghempaskan bokongnya ke kursi kayu yang terdapat di depan laboratorium.
Anak-anak lain bergegas menggendong tas masing-masing, lalu hampir setengah berlari meninggalkan laboratorium. Mereka melambai pada Pradita sambil tersenyum riang.
"Dadah Dita! Duluan ya!"
"Yuk dadah!" balas Pradita.
Koridor lab resep sudah hampir kosong. Hanya tinggal Lintang, Regi, dan Cica yang masih sedang asyik mengobrol membahas tentang ulangan praktek tadi. Pradita mengeluarkan coklat Bling-Bling dari tas, lalu merobek plastik pembungkusnya dan menggigitnya dengan penuh perasaan.
Seseorang mendekat lalu berdiri menjulang di hadapannya. Pradita mendongak dan terkejut melihat sesosok lelaki yang tidak ia harapkan kehadirannya.
"Hai Dita. Boleh kan aku panggil kamu Dita?" sapa Bara sambil tersenyum manis, semanis permen Yopi Cacing.
"Bara, Lin!" seru Regi dari pinggir. Pradita melirik teman sekelasnya itu.
"Mana? Mana?" Lintang bebalik lalu menatap Bara terpesona.
"Oh. Jadi gara-gara cowok itu." cemooh Regi.
"Maksud lu?" tanya Cica
"Tadi kan si Dita disuruh ke depan gegara gak konsen kerjain ulangan," jawab Lintang.
"Oh. Hahahaha...." Cica terbahak.
Pradita memanah mereka bertiga dengan tatapan tajam. Regi mendesis keras. Cica dan Lintang segera menutup mulut mereka. Lalu buru-buru meninggalkan lab. Pradita masih terus memperhatikan ketiga cewek menyebalkan itu sampai mereka benar-benar menghilang dari hadapannya. Eh tapi ada seseorang yang tidak juga menghilang dari hadapannya.
"Ngapain lu di sini?" tanya Pradita ketus.
"Galak banget sih."
Sebenarnya bukan salah Bara jika suasana hatinya sedang buruk hari ini. Danu mengatakan hal yang tidak menyenangkan padanya karena ia telah pergi bersama Bara tanpa berpamitan dengan Danu. Bisa jadi Danu kesal karena hal itu. Sebaiknya ia tidak perlu terlalu dekat dengan Bara.
Pradita hanya bisa menatap Bara sejudes mungkin agar lelaki itu menjauh dari hadapannya. Bara malah tampak yang seperti menahan tawa. Ia menutup mulutnya dengan punggung tangan. Sudut matanya berkerut.
"Apa?!" tantang Pradita menyembunyikan rasa malunya. Sepertinya ia sudah tahu apa yang ada di pikiran Bara. Lelaki itu pasti menertawakannya atas apa yang Lintang katakan.
"Gak, gak. Gak apa-apa kok." Akhirnya Bara terbahak.
"Lu ngetawain gua sih?!"
"Ya habis kamu lucu."
Pradita berdiri menggendong tasnya, lalu berjalan melewati Bara sambil menggigit Bling-Bling dengan gayanya yang barbar.
"Eh, tunggu!" panggil Bara sambil menyamai langkah Pradita. "Jangan pergi dulu dong."
"Kaki kamu udah baikan?" Bara menunjuk kakinya yang keseleo.
"Lumayan," jawab Pradita sambil matanya menatap lurus ke depan.
"Syukurlah."
Bara mendesah lega sambil tersenyum separuh. Seharusnya Pradita tidak meliriknya. Senyuman itu memang manis dan pas sekali menghiasi wajah Bara yang tampan. Ralat. Lumayan tampan.
"Ngapain lu nungguin gua pulang praktek? Bukannya harusnya anak kelas dua belas udah pulang dari tadi?"
Bara kembali menahan tawa. "Kamu yakin banget sih aku nungguin kamu pulang?"
Sialan! Pradita meremas bungkus Bling-Bling dengan gemas.
"Aku gak nyangka loh kamu sampai tahu jadwal aku. Makasih ya."
"Eh?"
Pradita menoleh, menatap cowok menyebalkan itu dengan raut bingung campur kesal. Bara tidak jadi tertawa. Lelaki itu tersenyum manis sambil menekan bahunya dengan lembut. Sejenak Pradita merasakan sebuah aliran listrik menyengat bahunya.
Sangat mengejutkan. Lumayan menyenangkan ... eehh ... tapi juga menakutkan. Ia tidak pernah merasakan hal-hal seperti ini sebelumnya.
"Maaf. Aku cuma bercanda. Iya benar, aku memang nungguin kamu pulang praktek." Suara Bara begitu dalam, serak-serak basah gimanaaa gitu, dan ... seksi. Ah Pradita jadi tidak mau mendengar suara itu lagi! Ia harus menjauh dari suara menggairahkan itu!
"Bu-buat apa nungguin gua?" tanya Pradita menyembunyikan kegugupannya.
"Oh ya, Dita, kamu lapar gak? Aku mau ngajakin kamu makan," kata Bara sembari mengarahkan Pradita ke parkiran mobil.
"Gua udah makan." Pradita mengangkat bungkus Bling-Bling yang nyaris habis di tangannya.
"Yakin? Memangnya kamu kenyang makan itu doang?" tanya Bara lagi-lagi dengan cara yang menggoda.
"Gak. Makanya sekarang gua mau pulang," ujar Pradita berlagak cuek.
"Katanya Cafe Hopefully lagi promo." Sejenak langkah Pradita terhenti. "Aku mau cobain Ayam Penyet. Katanya di sana paling enak itu ya?"
"Ramen, nasi goreng, ayam teriyaki, sama satenya juga enak," tambah Pradita.
Sial! Bagaimana Bara bisa tahu kalau ia paling suka makan di cafe itu? Kalau mendengar kata 'promo' itu ibarat mendapat lotre di siang bolong. Seketika perut Pradita meronta-ronta minta untuk dikenyangkan. Belum lagi lidahnya yang nyaris menjulur keluar, ngiler membayangkan makanan enak di cafe itu.
"Kalau gitu tunggu apa lagi?" Bara menarik Pradita ke mobilnya.
"Lu apa-apaan sih?" Pradita menyentak tangan Bara sambil meringis kesakitan.
"Oh maaf."
Kaki Pradita kini berdenyut-denyut lagi. Padahal dari tadi tidak apa-apa. Bara berjongkok di hadapannya, lalu menyentuh sepatu Pradita.
"Bara! Lu tuh ya ..."
Kata-kata Pradita terkunci ketika Bara melepaskan sepatunya. Ia sampai harus menahan keseimbangan dengan berpegangan pada jendela mobil Bara. Lelaki itu memijat-mijat kakinya dengan lembut. Rasanya sangat nikmat dan menenangkan. Urat syaraf di kakinya mendesah lega.