Gendis menjauhkan tubuh Erik, tangan nyaris melayang untuk menampar Erik. Dalam kondisi dirinya tak berdaya Erik masih saja mencari kesempatan apalagi di depan Mawar dan Fre, Erik tidak berpikir betapa malunya Gendis sekarang. "Jangan mencari kesempatan Mas, kelihatan sekarang kalau kamu memang brengsek!" Gendis mendorong tubuh Erik agar segera turun.
Sedangkan Erik menahan diri, kalau ia terjatuh bahaya untuk kakinya. "Ndis, nanti saya jatuh." Erik mengusap pipi Gendis, ciuman yang berawal ingin mendarat dibibir ternyata tidak, Erik masih waras akhirnya mendarat ke pipi Gendis, Gendis langsung diam mungkin terkejut dengan perlakuannya.
Tindakannya bukan semata-mata mencari kesempatan, omongan gendis ngawur. Erik tidak suka, ia pernah ada diposisi Gendis— tertekan karena keadaan. Saat ia menahan sakit diseluruh tubuhnya yang ada diotak Erik hanyalah keinginan mati, Erik merasa masa depannya hancur. Menjadi lumpuh bukan keinginan Erik, Erik mencoba berpikir panjang kalau sampai hari ini ia tidak mati artinya Tuhan masih sayang dengan dirinya.
"Mas jangan pernah berpikir Gendis selalu suka diperlakukan seperti ini!" kesal Gendis
"Cuman pipi,"
"Baik pipi atau bibir itu tidak boleh Mas, Mas paham sopan santun kan?"
Erik mengangguk-angguk, tak lama kemudian Mawar dan Fre meminta izin untuk di luar saja membiarkan keduanya saling menyelesaikan masalahnya.
''Kamu ngomongnya melantur, kaya nggak pernah sekolah aja." Erik mendekati Gendis tepat di samping telinga Gendis. "Di alam barzah nanti, kalau kita ditanya malaikat jawab dengan baik, Ndis. Pas malaikat bilang kamu mati karena apa, masa jawab karena bunuh diri. Diketawain kamu sama malaikat di sana," bisik Erik
Gendis memukul bahu Erik, alih-alih ingin marah malah berganti ia ingin tertawa. Bisa-bisanya disaat Gendis sedang sedih, kesal dengan Erik— Erik malah mencoba menghibur, sialnya Gendis terhibur dengan candaan Erik. Lebih parahnya Gendis tertawa tanpa sadar, ucapan Erik ada benarnya. Saat meninggal nanti semua malaikat menertawakan tingkah konyolnya yang ingin mati tapi bukan Tuhan yang mencabut nyawanya. "Receh!" Gendis menahan diri untuk tidak terlalu lepas saat tertawa, setidaknya kehadiran pria di sampingnya cukup membuat keadaan membaik.
"Sudah sembuh ya, Mas?" tanya Gendis
"Biasa aja, semenjak nggak ada kamu jarang minum obat,"
"Mas gimana sih? Dokter bilang obat harus dihabiskan sesuai jadwal Mas, nggak ginilah Mas ... Nggak selalu aku bisa membantu Mas, jangan manja! Kalau kamu sakit kasihan diri kamu, mau masuk ICU lagi?" cerocos Gendis
Erik masih diam, tatapan masih datar. Ia ingin mendengar kecerewetan Gendis lagi.
"Mas kok diam?"
"Sudah?"
"Iya,"
Erik diam-diam tersenyum sekilas saja karena takut Gendis melihatnya. "Makasih sudah perhatian, gimana keadaanmu?" Erik mengalihkan pembicaraan.
"Mendingan," jawab Gendis. Gendis mengubah posisinya menjadi tiduran, malas sekali dengan Erik padahal ia khawatir mendengar Erik tidak meminum obat sesuai anjuran dokter. Gendis pura-pura memejamkan matanya.
"Ndis, saya bawa obat." Erik memamerkan di depan Gendis, lalu meminumnya di depan Gendis. Erik meraih gelas berisi air putih yang ia yakini pasti milik Gendis.
"Nah gitu dong," Gendis kembali membuka suara. Hari ini dimana ia terbangun dari mimpi buruknya, terbangun dari masa kritisnya lalu ada Erik yang menghiburnya. Ia merasa dunianya kembali meski baru sedikit, masih terluka jika mengingat kedua orang tuanya dan dua adiknya yang telah tiada.
Kenapa harus nekat? Pasti pertanyaan itu akan muncul setelah ini, Gendis tidak memiliki pemikiran lain selain bagaimana ia bisa menyusul orang tuanya. Tali itu milik Gendis, dulu digunakan saat sedang melakukan kemah bersama teman-temannya. Gendis tidak tahu ke depannya bagaimana hidupnya, apa masih sanggup? Apa bisa membawa tubuhnya sendiri sementara orang-orang yang ia sayangi tiada?, untuk apa ia hidup kalau akhirnya sendiri. Gendis benci kesendirian, tak terasa air mata kembali membasahi pipinya.
"Kok nangis?"
Gendis merasakan Erik mengusap pipinya. Lemah sekali, Gendis dan bayangan wajah orang tuanya masih terngiang di kepalanya.
"Bangun," suruh Erik
Gendis menuruti, ia kembali merasakan Erik memeluknya sangat erat.
"Jangan nangis lagi, ada saya ..." bisik Erik
Gendis mengangguk, ia menemukan sisi lain dari Erik. Meski menyebalkan tapi Erik memiliki hati yang besar, hari itu mampu membuatnya tenang karena pelukan.
***
Pukul tujuh malam Gendis baru saja selesai menghabiskan makanannya, Erik sudah pulang sejam yang lalu atas paksaan Gendis karena tidak baik Erik selalu ada di luar, Gendis mengusap bibirnya dengan sehelai tisu. Mawar masih ada di sini bersama bude, tapi bude memilih pulang sebentar
Gendis beruntung memiliki teman seperti mawar karena mau menjaganya padahal mereka tidak memiliki ikatan saudara. Mawar manusia paling baik yang jarang Gendis temui.
"Teman-teman di kampus tahu keadaanku?"
"Sepertinya nggak, mereka cuman tahu orang tua kamu meninggal doang. Masuk rumah sakit aku beralasan sakit biasa,"
"Aku malu ..." Gendis menunduk.
Mawar mendekati Gendis, mengusap bahu Gendis. "Nggak usah malu, semua orang pernah salah. Jangan diulangi, aku nggak mau kehilangan kamu, Ndis ..." Mawar memeluk Gendis, memberikan separuh energinya untuk Gendis lewat pelukan. Ia berjanji akan selalu ada untuk Gendis.
"Makasih ya, Maw ..." pelukan mereka terlepas, Gendis terkejut saat Mawar bertanya tentang Erik. Ia sempat mengira Gendis lupa dengan peristiwa tadi, Gendis malu membahasnya.
"Kamu pernah bilang, Mas Erik pria yang menyebalkan tapi aku nggak lihat sifat dia yang itu, dia romantis banget, gimana rasanya dicium cowok ganteng?" Mawar mencolek dagu Gendis, menggoda Gendis agar kondisinya semakin membaik.
Gendis menutup wajah dengan kedua tangannya, Mawar sempat menjerit karena takut tangan yang sedang dipasang infus terlepas.
"Cie malu ..." Mawar masih belum menyerah ingin mencari tahu tentang Erik, ia penasaran. Pantas Gendis betah, Erik sangat tampan wajahnya mirip sekali dengan aktor Indonesia bernama Nicholas Saputra, wajah datarnya, jarang senyum dan Erik salah satu pria penganut sedikit bicara, langsung bertindak. Tipikal pria impian Mawar. "Ndis cerita dong ..."
"Biasa aja, mungkin lagi kerasukan setan jadi lembut banget."
"Oh iya? Pipimu nggak perawan lagi sekarang,"
"Hei! Mana ada begitu, sudah ah, jangan dibahas." Gendis menyuruh Mawar segera turun dari ranjangnya. Ia ingin tiduran lagi, kondisinya masih lemas.
"Gendis sudah dewasa sekarang, uhuk," Mawar menirukan orang yang sedang batuk lalu tergelak, jika diingat-ingat lucu sekali ekspresi Gendis saat dicium Erik. Mulutnya terbuka, dahinya berkerut, lelet, baru sadar ketika Erik melepaskan ciuman pada pipinya baru Gendis ingin melayangkan satu tamparan.
Mawar bersyukur hari ini ia melihat Gendis tertawa kembali karena Erik, Mawar tahu Gendis pasti bisa melawan rasa takutnya. "Aku balik dulu ya, mau mandi. Besok ke sini lagi ..." pamit Mawar
"Kalau capek nggak usah ke sini, aku nggak apa-apa. Terima kasih Maw ..." balas Gendis tulus
Kata tidak apa-apa yang keluar dari mulut Gendis memiliki trauma tersendiri untuk Mawar, sebelum Gendis nekat— perempuan itu mengungkapkan kata yang sama.
Gendis melambaikan tangan pada Mawar, perempuan itu butuh istirahat— Gendis tidak boleh egois untuk menyuruh terus di sini, sebentar lagi bude akan datang— bude pulang untuk mengganti pakaiannya. Kesendirian membuat Gendis kembali memikirkan kejadian yang berlalu. Gendis mengambil ponsel, bunga mawar yang beberapa hari ini Erik kirim untuknya. Lima diantaranya layu, tersisa dua lagi. Gendis mencium aroma mawar yang menenangkan, lalu kembali membuka ponselnya. Banyak ucapan belasungkawa dari teman-teman kampus dan lainnya. Gendis membaca pesan lain yaitu, Erik.
Cepat sembuh. Biar bisa kerja lagi, jangan enak-enakan terus!
Gendis mendengus kesal. Kata Mawar— Erik pria yang baik maka jawaban Gendis tetap tidak, Erik tetap pria menyebalkan dimatanya.
"Ndis,"
Gendis menoleh, terkejut dengan kedatangan seseorang di ujung pintu sana. Sepertinya sudah memasuki jam besuk sehingga bisa masuk ke ruangannya.
"Mas Rian ..." balas Gendis.
Pria itu mendekatinya, memeluk Gendis— Gendis menronta ia tidak mau pelukan ini menjadi masalah baru untuknya. "Mas, tolong lepas!"
"Kamu kenapa nggak bilang Ndis?" Rian menatap kedua mata Gendis, pelukan mereka terlepas.
"Mas ingat sudah punya istri, jangan meluk sembarangan! Mau aku bilang atau nggak, bukan urusan Mas Rian kan?" Gendis menepis kedua tangan Rian dari bahunya.
"Belum menikah Ndis, Minggu depan. Setidaknya bicara Ndis, walau kisah kita berakhir kamu tetap menjadi adik,"
Ternyata Gendis salah, mengira Rian sudah menikah. Tapi tetap saja memeluk hal yang salah. "Adik ya, Mas,"
Rian mengangguk. "Dari dulu, sejak kita pacaran kamu seperti adik, Ndis ..."
Gendis tersenyum kecut. Gendis terlambat menyadari, sejak dulu hanya ia yang mencintai Rian, Rian tidak. Percuma menjalin hubungan kalau hanya satu saja yang berjuang.
***