Sudah dua hari di dalam kamar hanya ada Mawar— sahabatnya yang setia menemani, Gendis tidak tahu lagi bagaimana caranya menerima kondisi ini. Dadanya masih sesak jika mengingat, masih tak percaya dengan kepergian seluruh anggota keluarganya. Untuk bangun saja Gendis harus berjuang dengan rasa sakit kepala, mungkin efek dari menangis membuat kepala Gendis sakit. Gendis belum sanggup melihat tempat peristirahatan terakhir keluarganya, yang ia lakukan saat ini adalah bangun dari mimpi jika benar ini hanya mimpi.
"Makan dulu ya, kasihan perutmu. Sedikit aja," Mawar memberikan satu mangkuk bubur yang ia beli di pinggir jalan, sebagai teman sekaligus orang terdekat Gendis— ia ikut berduka atas peristiwa yang dialami Gendis. "Kamu ingat Ndis kata Mas Erik, sedih bukan jalan keluar. Bangkit Ndis, kamu kuat dan harus membuktikan sama mendiang keluargamu kalau kamu bisa menggapai semua mimpi mereka termasuk menyelesaikan kuliah sampai selesai," Mawar mencoba memberikan nasihat pada Gendis, Mawar tak tega melihat perempuan yang biasanya gembira mendadak menjadi gadis terluka.
Memang benar ucapan Erik dan Mawar tapi Gendis belum mampu untuk mempraktikkan, masih belum sanggup dan tak semudah itu. "Ya, Maw." Gendis mulai menerima mangkuk berisi bubur ayam, ia mulai menikmati karena menghormati Mawar yang sudah dua hari bersama Gendis. Perempuan ini rela izin tidak masuk kuliah hanya untuk menemani Gendis, rela tidur di kamar kecil milik Gendis padahal kamar Mawar jauh lebih nyaman. "Maw kalau mau pulang, pulang aja aku sudah aman kok,"
Nawar menggeleng. "Aku temani kamu,"
Gendis sangat beruntung ada Mawar yang selalu menemani, ada Erik yang setiap hari selalu menelepon Gendis meski sekedar bertanya kabar saja. Pria itu sudah dua hari selalu memperhatikan Gendis, mengirim pesan setiap satu jam. Gendis baru membukanya kemarin malam. "Aku mandi dulu ya," ucap Gendis setelah selesai menikmati sarapan buburnya.
Mawar mengangguk, membawa mangkuk kotor keluar. Sedangkan Gendis mengambil sesuatu dari laci meja riasnya, baju ganti, handuk. Ia melangkah ke kamar mandi yang letaknya ada di dalam kamar, Banyak sekali kenangan bersama keluarga kecilnya, Gendis tak yakin bisa menghadapi ini sendiri, kuat membawa tubuhnya sendiri.
"Maafkan aku ..." gumam Gendis dalam hatinya, Gendis mulai menaiki tangga milik bapaknya yang ia ambil dari sudut kamarnya, tangga ini biasa digunakan untuk mengganti lampu.
Sudah setengah jam Gendis belum keluar dari kamar mandi, Mawar sudah bolak-balik merasa khawatir padahal ia tahu Gendis tak kan berbuat macam-macam. Mawar menggigit bibir bawahnya hendak mengetuk pintu memastikan Gendis menyahut saat ia memanggilnya. "Ndis ... Sudah belum?" suara Mawar sedikit berteriak. Tak ada suara percikan air, tak tak ada sahutan dari dalam membuat Mawar semakin khawatir.
"Ndis, buka Ndis," teriak Mawar
"Gendis ..."
"Ndis, buka dong aku mau kencing,"
Belum ada sahutan. Mawar semakin dilanda ketakutan, ia membuka kenop pintu dan ternyata tidak dikunci sepertinya Gendis lupa mengunci pintu kamar mandi, untung kamar mandi ada di dalam kamarnya jadi sedikit aman. Mawar memaksa masuk, Mawar terkejut menatap tak percaya, ia menutup mulutnya. "Ya Tuhan ... Gendis ..!" teriak Mawar tak percaya dengan apa yang ia lihat, Gendis merusak plafon kamar mandi.
Mawar segera membuka lebar pintu kamar mandi, segera berlari meminta bantuan. "Bude tolong Bude ..." teriak Mawar
"Kenapa nduk?"
Mawar menarik tangan bude untuk segera melihat langsung, bude berteriak hampir tak percaya. "Ya Allah Gendis ... Nduk jangan tinggalin Bude," bude memeluk Gendis sembari menyuruh Mawar mencari bantuan lain untuk melepaskan tali yang menjerat leher Gendis.
Seluruh tubuh Mawar gemetar melihat kondisi Gendis saat ini, ia memilih mundur mencari ponsel Gendis untuk menghubungi seseorang. Ada suami bude yang akan melepaskan tali dari leher Gendis. Mawar tahu cara membuka ponsel Gendis karena terbiasa meminjam, Gendis mencari nomor seseorang yang ia maksud. Setelah ketemu, ia segera menghubungi.
"Ndis?"
Dari sana sudah menyahut. "Maaf Mas, ini Mawar temannya Gendis." Mawar menarik napasnya dalam-dalam.
"Gendis, Mas ... Hiks, Gendis mencoba bunuh diri, sekarang lagi di bawah ke rumah sakit Salemba,"
Suasana mendadak hening, sambungan telepon terputus sepihak. Mawar kembali keluar untuk melihat kondisi Gendis yang sebentar lagi akan di bawa ke rumah sakit.
"Ndis, ada Bude di sini kamu nggak sendiri,"
"Bangun Ndis ..."
"Aduh gusti pangeran cobaan keluargaku berat sekali,"
Mawar mendengar bude terus menangis, merancau sembari menggenggam tangan Gendis sangat erat. Mawar tak bisa menahan tangisnya, ia menangis dalam diam, Mawar tak ingin kehilangan Gendis.
***
Menggunakan Scewo miliknya, Erik menekan tombol lift untuk turun ke bawa. Scewo adalah Kursi Roda elektrik canggih yang Bisa Menaiki Tangga Secara Otomatis selain itu kegunaan Scewo memberi kemudahan untuk bergerak ke berbagai tempat. Erik merasa terbantu menggunakan kursi roda ini, ia bisa melakukan sendiri tanpa bantuan orang lain. Axel tunangan Fre yang memberikan ini secara cuma-cuma.
"Mas Erik mau kemana?" tanya salah satu satpam apartemen.
"Mau ke rumah sakit Pak,"
"Kita antar ya, jangan sendirian," satpam mencegah Erik, terlalu bahaya jika Erik sendirian.
"Nggak apa-apa Pak, rumah sakitnya dekat sini, saya pergi dulu ..." Erik segera pergi sendiri, Erik merasa terbantu dengan alat ini meski ia sempat menolak karena tak enak dengan Axel.
Erik khawatir mendengar kabar dari Mawar, Erik takut. Tak percaya jika Gendis memiliki pemikiran ke sana, andai Gendis tahu masih banyak yang harus ia raih meski tanpa semangat orang tua dan dua adiknya. Erik sudah sampai di rumah sakit yang dituju tak jauh dari apartemen karena rumah sakit ini satu-satunya yang terletak dekat dengan rumah Gendis dan apartemen.
Erik mendekati ruang UGD, mencari sosok yang pernah ia temui. Perempuan paru baya yang berdiri di dekat pintu UGD, Erik mengenal perempuan itu.
"Mas Erik?"
Mereka terlihat terkejut.
"Bagaimana keadaan Gendis?"
Perempuan paru baya itu menunduk. "Kami berharap Gendis bisa diselamatkan, Mas ..."
"Mudah-mudahan ..." balas Erik sembari memundurkan scewo miliknya, menghadap tepat ke arah UGD. Tak lupa ia juga memberitahu kabar ini pada Fre takut perempuan itu mencarinya, Fre sedang ada di restoran.
"Bagaimana bisa ini terjadi?"
"Gendis bilang mau mandi, aku tinggal dulu jadinya. Setengah jam kamar mandi nggak ada suara percikan air, aku curiga dan nekat membuka pintu yang kebetulan tidak dikunci," jelas Mawar sembari terisak.
Erik mendengar penjelasan dari perempuan yang ia yakini meneleponnya tadi, Erik menarik napasnya dalam-dalam sesulit ini membuat Gendis percaya dengan dirinya sendiri. Kepergian orang tua dan adiknya bukan berarti akhir dari hidupnya.
"Kondisi Gendis kritis,"
Erik mendongak, mencerna kata-kata dokter yang baru saja diucapkan.
"Kritis?"
Dokter itu mengangguk dan kembali menjelaskan akan segera membawa Gendis ke ruang ICU. Ruang dimana pernah Erik tempati selama berbulan-bulan, Erik menatap lurus ke depan, ia mengatakan sedikit kata-kata dalam hatinya.
"Bertahanlah Ndis, demi saya ..."
***