Semenjak pertemuan dengan Rian, Gendis benar-benar menjadi gelisah. Wajah Rian yang kurang lebih satu tahun hilang dari bayangan kini kembali. Ternyata ini yang dinamakan susah melupakan, ah, Gendis menyesal bertemu Rian.
"Serius?"
Gendis mengangguk lemah, ia berada di kampus untuk mengikuti beberapa materi setelah itu akan kembali ke rumah sakit. "Makin ganteng ..." Bisik Gendis pada Mawar
"Cowok kalau sudah pakai jas dokter ketampanan mulai nambah, iya nggak sih?" Rena teman satu kampus beda jurusan menyahut diantara keduanya.
"Iya, terbukti kata Gendis, mas Rian makin ganteng. Efek apa kira-kira?" Mawar ikut menyahut.
"Efek lama nggak ketemu, jadi perasaan bilang lebih ganteng dari sebelumnya." Jawab Gendis masih menikmati Siomay kesukaan khas kantin.
Mereka bertiga terkekeh, baru-baru ini ada keanehan yang Gendis rasakan saat pergi ke kampus. Tiba-tiba khawatir dengan keadaan Erik yang ia tinggal sendiri, takut pria itu jatuh dan segala ketakutan lainnya.
"Ndis, Erik namanya siapa?" tanya Mawar
"Fraderik Wijaksono."
"Ih, hafal. Cie ... By the way masuk line today."
Gendis meraih ponsel Mawar, memastikan ucapan perempuan itu. Benar, ada nama dan foto erik di sana.
"Judul beritanya menyebalkan banget ya, Fraderik pembalap ganteng yang kini terbaring lemah karena kecelakaan. Intip foto-foto sebelum kecelakaan." Ucap Gendis tersungut-sungut membaca judul berita, bisa saja media ini mengangkat satu berita tidak penting menurut Gendis.
Tapi tak menepis jika Erik memiliki wajah yang tampan meski usianya sudah dua puluh tujuh tahun, foto-foto yang dijadikan berita sangat beragam. Ada yang duduk di motor besar saat ingin memulai balapan, berdiri di samping motornya dengan helm di samping, saat Erik tak sadar kamera dan lainnya. Gendis menyadari terlihat keren menurutnya.
"Pandang terus, Ndis ... Sampai keluar matamu." Rena menyadarkan Gendis yang sedari tadi diam, tangan terus bergerak di layar ponsel.
"Baca berita." Jawab Gendis santai
"Alah ... Bilang aja lihat foto Erik, ganteng loh Ndis, dibanding si Rian." Mawar menyahut diantara keduanya.
Gendis mengabaikan, mengakhiri melihat tentang Erik dan mengembalikan lagi ponsel. Sebentar lagi mereka akan masuk kelas.
Gendis lagi apa?
Gendis mengernyitkan dahi, kebetulan sekali padahal ia ingin mengecek ponsel memastikan ada pesan dari Erik atau tidak ternyata pria itu mengirim pesan padanya.
Lagi mau ke kelas, tumben.
Bete, saya pengin keluar dari rumah sakit 🙁
Ya sudah keluar aja, bisa jalan kan?
Bercandamu nggak lucu!
Masuk dulu, ada dosen.
Gendis mengakhiri obrolan dengan Erik, Mawar menarik tangan Gendis agar segera keluar dari kantin karena Rena sudah meninggalkan lebih dulu. Gendis terlalu fokus dengan ponsel.
***
Erik menaruh ponselnya kembali, dari pagi sampai siang terasa benar-benar sepi karena Gendis ke kampus. Gendis akan datang nanti setelah selesai kuliah, meski kehadiran Gendis membuat Erik tak nyaman tapi lumayan bisa menghilangkan sepi meski Gendis terkadang sibuk dengan tugasnya, sesekali Erik membantu. Membantu doa, maksudnya.
"Halo ..."
Erik mendongak, menghentikan aktivitas ngemilnya ada Fredella di sana tersenyum ke arah Erik. "Oh, bucin sudah pulang ..."
Fredella memberengut. "Enak aja, siapa yang budak cinta?"
"Kamulah, jatuh cinta sama Axel kayak orang kesetanan."
"Sembarangan, tapi wajar lah, aku sudah lama sendiri. Mas Axel juga pria baik." Jawab Fre dalam sekali hentakan berhasil duduk di ranjang Erik, membuat Erik kaget dan kesal.
"Bilang dulu, kaget aku!"
Fredella terkekeh, "Maaf ... Gendis mana?"
"Kuliah. Fre bagaimana perjalanan kalian ke Jerman?"
"Lancar, Arkana muntah-muntah karena belum pernah melakukan perjalanan selama itu." Jawab Fre mengambil cemilan Erik lalu ikut melahap.
"Kasihan, oh iya, aku ingin mengatakan sesuatu. Kalau sudah menikah fokus dengan suamimu, jangan banyak di restoran. Axel terlalu lama sendiri, kasihan." Erik menyentil dahi kembarannya, setelah mengucapkan kata barusan Fre mengernyit dahi. "Jangan berpikir yang tidak-tidak, aku hanya kasihan dengan duda jamuran itu."
Tawa Fre menggelegar, dalam hati Fre merasa lega karena Erik sebenarnya tipikal orang yang perhatian sama seperti dirinya. "Terima kasih abang ..."
"Jangan panggil abang, bucin!" Karena bagi Erik umur mereka sama, Erik tidak ingin dipanggil kakak meski ia memang sebagai kakaknya. Cukup nama saja.
"Mama bilang kangen kamu, angkat video call dari mama."
"Malas, selalu mendapatkan ceramah." Jawab Erik cuek
"Kita cuman punya satu orang tua, tidak boleh seperti itu!"
"Tidak perlu mengajariku, Fre ..."
Kembar memang identik dengan kesamaan dalam segala hal, termasuk sifat mereka yang ternyata keras kepala. Beginilah saudara kembarnya, datang hanya sebentar memberikan makanan titipan Erik lalu beranjak pergi ke restoran. Sibuk, sama halnya seperti Anggara— kakaknya.
"Pulang sana, aku tidak sudi kamu di sini."
"Awas ya, aku tidak akan mengangkat telepon darimu." Fre membalas.
Fre pergi setelah memastikan kondisi Erik baik-baik saja, hari ini ada kabar bahagia untuk Erik karena dokter mengatakan kondisi kakinya membaik dan Erik diperbolehkan keluar dari ruangan, jalan-jalan sekitar rumah sakit untuk mengusir bosan. Erik tidak sabar segera keluar dari kamar pengap ini.
"Halo ..."
"Ish, dasar!"
Erik mendengar Gendis menggerutu dari sana, Erik melempar bantal karena terkejut dengan kedatangan Gendis.
"Nggak sopan ..."
"Lagian bukannya mengucapkan salam, malah halo. Nggak jelas." Jawab Erik
"Halo juga ucapan salam, mas."
Ternyata Gendis sudah kembali, cerewet lagi dan tidak ada rasa gelisah dari raut wajahnya.
"Huh, capek. Rasanya pengin berhenti aja tapi tinggal satu semester lagi."
Gendis sepertinya sedang mengeluh. Erik mencoba mendengarkan.
"Tugas seabrek-abrek, dosen terasa tak punya hati. Tidak membiarkan aku bernafas lega."
Diam-diam Erik tertawa, Gendis masih fokus melepas sepatu, tasnya di sofa sana dengan membelakangi Erik. "Kalau nggak mau ada tugas, berhenti kuliah." Erik menyahut
Gendis menoleh, "Satu semester lagi."
"Jangan jadi orang malas, habis wisuda gunakan ilmu dengan baik. Cari pekerjaan yang sesuai menurutmu, kalau tidak salah Axel sempat menawarimu, kan?"
"Betul sekali, tuan mendadak bijak ..." Gendis memainkan kedua alisnya, tersenyum tak jelas di ujung sana.
Entah ada apa dengan keduanya, lebih suka dengan keadaan seperti ini dibanding marah-marah.
"Dapat salam dari Rian." Celetuk Erik
"Tolong jangan diingatkan mas, Rian siapa?"
"Rian dokter spesialis jantung, bisa menyembuhkan jantung orang lain tapi tidak dengan jantung dan hatimu." Jawab Erik dengan nada santainya.
Gendis melotot, "Kampret!"
Gendis mendekati Erik, meski kesal dengan pria ini tapi tetap saja kasihan. "Tangannya sudah bisa melempar barang lagi."
"Iyalah, saya cowok punya banyak tenaga memangnya kamu, lemah sama seperti hatinya."
Gendis menggertakan gigi kesal dengan pernyataan Erik hari ini, seperti ada yang bermasalah. "Gini nih, kalau kepala habis dioperasi. Agak-agak miring..."
"Asal jangan gila aja gara-gara ditinggal sama calon dokter."
"Mas Erik, ih!" Gendis benar-benar kesal dengan Erik yang tak kunjung berhenti menggodanya. Gendis menaruh kembali piring kosong lalu memilih keluar. Namun saat membuka pintu ia dikagetkan dengan seseorang di depannya.
"Ini kamar Erik?" tanyanya
"Iya,"
"Saya temannya."
Gendis mempersilakan masuk, kebetulan jadi ia bisa keluar sebentar. Gendis memilih duduk di luar seperti biasa, ia tidak nyaman di dalam apalagi bertemu, mendengar obrolan teman-teman Erik.
"Hai, Rik ..."
"Hai, bro ..." Erik membalas sapaan Rangga teman balapannya. Tak menyangka masih ada teman yang melihat dirinya.
"Apa kabar?"
"Belum membaik, terima kasih sudah datang."
Rangga tertawa kecil. "Ya, maaf baru datang. Baru ada waktu luang, kemarin ke Malaysia sama Singapura untuk balapan. Oh jadi itu perempuan pengganti, Anara?"
Erik membenarkan posisinya agar nyaman berbicara. "Jangan membahas."
"Jauh sekali dengan Anara, Anara perempuan cantik lalu beralih dengan gadis seperti dia. Yakin, Rik?"
Erik berdehem sejenak, Rangga kalau bukan teman baik sudah ia usir. "Saya rasa untuk mencintai seseorang tak perlu lihat dari wajah, wajah bisa berubah seiring berjalannya waktu. Gendis memang berbeda dengan Anara, tapi dia bisa menghargai hati saya untuk tidak selingkuh diam-diam seperti Anara." Jawab Erik.
Pada akhirnya Erik memainkan drama di depan teman-temannya.