webnovel

28. Mempertahankan

Gak pakai ketan lima ratusan. Akan aku pertahankan. -Juna

🍁🍁🍁

"Bagaimana? Apa anak saya tetap mendekati Laura?" tanya Antariksa penasaran, bahkan ia meninggalkan toko The Peanut is Sembunyi sebentar. Ursan Juna dengan Laura lebih penting.

"Masih bos. Malah nolongin Laura dan berangkat bareng ke sekolah," lapor Rey serius.

"Apakah kamu sudah menjalankan sesuai perintah saya itu? Buat cewek itu menjauh dari Juna," ujar Antariksa dingin. Sampai kapan pun, ia tak akan setuju dengan hubungan Juna dan Laura.

"Sudah bos. Pasti Laura auto jauhin Juna. Lebih serem dari kelor bos," jawab Rey bersemangat.

"Teror Rey. Gimana sih," koreksi Antariksa datar.

"Maaf bos. Ya sudah, saya mau mantau mas Juna lagi," pamit Rey sopan. Kalau pun langsung tutup, Antariksa akan bernyanyi, lawan kata dari omelan.

"Hm,"

🍁🍁🍁

Tok tok tok

Laura yang baru saja akan ke alam mimpinya pun terbangun, jendela kamarnya di ketuk seperti ada seseorang yang ingin masuk.

'Siapa? Masa maling?' Laura mencoba melirik jendela yang tertutupi gorden itu. Siluet seorang laki-laki yang menunggu agar jendelanya di buka.

Laura bergelung dalam selimutnya, memejamkan mata berharap orang asing itu pergi dan tidak berbuat macam-macam.

Setelah beberapa menit, tak ada ketukan. Laura mencoba memberanikan diri menatap jendela kamarnya, orang asing itu sudah pergi. Sungguh, rasa takut ini menjadi-jadi.

'Biarin aja deh. Mending tidur,' batin Laura, kalau pun itu Juna atau ketua geng motor galak bisa saja datang ke rumahnya.

🍁🍁🍁

Esoknya, Laura membuka jendela kamar dan menyibak gorden menyambut sejuknya udara di pagi hari dan sinar matahari masuk menerangi kamarnya.

Laura menangkap sebuah kardus yang entah isinya apa. Laura mengambil kardus itu.

'Kalau aku di jump scare kan gak lucu,' batin Laura was-was. Apakah ini prank? Tidak tau, dengan hati-hati Laura membuka kardus itu. Betapa mengejutkan hati, saat sebuah bangkai ayam dan sebuah tulisan di secarik kertas dengan darah.

Jauhi Juna. Atau hidupmu tidak akan tenang.

Dengan cepat Laura menutup kembali kardus itu.

Cica membuka pintu kamar Laura. Mendapati anak tunggalnya yang belum rapi memakai seragam pun heran.

"Kamu ngapain disitu? Terus itu, apa Laura?" tanya Cica menunjuk kardus seukuran TV itu.

"An-nu. Ini pakaian Laura yang gak ke pakai. Iya, jadi Laura simpan disini," jawab Laura kaku.

Cica manggut-manggut. "Sana, masak. Sapu rumah, baru bisa sarapan," titah Cica seperti biasa. Laura itu perempuan yang sudah beranjak remaja, tidak ada kata kesantuyan selama di rumah. Tak kebanyakan gadis zaman now yang bangun tidur langsung sarapan.

Laura menuju dapur, memasak menu biasanya. Mie dan telur ceplok untuk dirinya dan sang ibu.

Hingga suara bariton sang ayah membuatnya terperangah kaget.

"Masak apa?" meskipun nadanya tak marah, tapi sedari dulu suara berat ayahnya selalu bikin kaget saja, apakah saudaranya uang kaget? Tidak, sang ayah jarang memberikan uang jajan. Hanya pembayaran SPP dan uang gedung saja.

"Mie sama telur ceplok yah. Ayah mau juga? Laura buatin juga kok," inilah yang Laura rindukan, sosok ayah yang mempunyai waktu untuk anaknya. Dari sekian padatnya aktifitas kerja di pabrik selama 8 jam dan selalu berganti sift tak menentu.

Brian menggeleng. "Gak usah. Ayah udah kenyang kok. Mau ayah bantu? Kamu mandi sana, siap-siap ke sekolah," ujar Brian lembut. Andai saja ibunya sama seperti sang ayah, penuh kasih sayang, lemah lembut, dan perhatian akan keadaannya.

"Tapi yah. Kalau ibu tau, nanti di marahin lagi," nada suara Laura bergetar, selama ini kesibukannya di rumah terus berjalan tanpa henti bak kerja rodi.

"Nanti biar ayah yang ngomong baik-baik. Sana, nanti kamu telat loh. Oh iya, ini uang sakunya. Jangan bilang sama ibu ya?" Brian memberikan uang 20 ribu pada Laura.

Laura mengukir senyumnya. "Iya yah," Laura berlari kecil menuju kamar mandi di kamar ayahnya. Pasti ibunya masih berada di kamarnya.

Brian membuat dua makanan siap untuk sarapan pagi. Porsi Laura lebih banyak daripada Cica, Laura harus kuat.

Brian menghela nafasnya lelah. Ia baru saja pulang kerja jam 6 pagi. Tak ada waktu luang untuk Laura, bersenda gurau, mengajari Laura di bidang matematika dan lainnya, membantu Laura menjalankan tugas rumah.

"Maafin ayah nak. Ayah gagal, ayah gak bisa ngasih kamu segalanya. Tapi, ayah usahain selalu ada buat kamu," Brian membawa satu piring mie dengan telur ceplok di atasnya, pasti Laura berada di kamarnya.

Namun saat membuka pintu kamar, tak ada siapapun.

"Laura? Kamu sudah berangkat ya?"

Tak ada jawaban, Brian semakin khawatir.

"Laura?" Brian mengecek kamar mandinya, kosong.

Terdengar suara piring pecah beserta teriakan marah dari arah dapur. Brian berlari, takut jika Laura kenapa-napa. Yang pertama kali Brian lihat, Cica memarahi Laura. Seragam anaknya itu sudah lusuh terkena mie. Laura hanya menunduk, tak bisa melawan.

"Bangkai ayam?" teriak Cica menggema. Brian mematung, kali ini ia akan mendengarkan apa yang Laura alami sekarang.

"Terus, kamu langsung mandi gitu aja huh? Tugas kamu disini itu nyapu, masak, bersih-bersih rumah! Bukannya bangun tidur, mandi, makan. Kayak ratu aja," omel Cica. Ia mual-mual dan pusing setelah menemukan itu di kardus yang katanya pakaian usang Laura.

"Buang sekarang! Dan," Cica menarik nafasnya, jujur saja ia takut. Entah masalah apa yang di hadapi anaknya ini. "Sapu rumah ini, jemur pakaian yang udah ibu cuci. Siram tanaman di teras rumah, jangan coba-coba kabur ya," ancam Cica. Ia mendapati Brian yang terdiam menatapnya.

"Ngapain disitu? Sana! Kerja! Cari duit yang banyak!" semprot Cica emosinya kembali naik.

Brian tersenyum remeh. "Kerja? Aku baru aja pulang!" bantah Brian geram.

Melihat kedua orang tuanya bertengkar, Laura berjongkok menutupi kedua telinganya. Menangis.

"Cari lagi! Duit kamu itu belum cukup buat makan dan lain-lain!" tekan Cica marah.

Brian menatap sang putrinya dengan keadaan memilukan, berjongkok dan menangis. Saat ia ingin menghampiri Laura, Cica menghalangi langkahnya.

"Mau apa? Nolongin dia? Gara-gara Laura, usaha kita bangkrut! Semua harta warisan dari ayah kamu Pandu itu, habis. Cuman ngobatin penyakit Laura? Mendingan anak itu di buang saja di panti asuhan. Beban, penyakitan, gak guna,"

Brian menarik tangan Cica, menjauh dari Laura agar putrinya itu bisa tenang.

Merasa kedua orang tuanya pergi, Laura pun memilih kabur. Ia tidak ingin terlambat lagi.

🍁🍁🍁

Saat Laura baru saja sampai di gerbang, Juna dan keenam anak buahnya itu masih mengobrol di parkiran. Laura tidak ingin mereka menyadari keadaannya. Terutama Juna.

Sam yang melihat Laura pun berteriak. "Eh, Laura!" panggilnya, Juna dan kelima anak buahnya menoleh.

Laura menatung, hauskah ia kabur?

Sebelum Laura berlari lagi, Juna sudah meraih pergelangan tangan Laura.

"Ra, kok buru-buru banget sih?" Juna menatap Laura dari samping, kelopak mata itu seperti telah menangis, air mata yang mengering membuat Juna tau Laura sekarang tidak baik-baik saja.

"B-bukan urusan kamu," Laura menyingkirkan tangan Juna. Saat ia mulai berlari, Juna meneriakkan kata-kata yang bikin para ciwi SMA PERMATA baper salut.

"Gak pakai ketan lima ratusan. Aku bakaln mempertahankan," ucap Juna langsung menjadi obat bagi jiwa jomblo, nafas tak beraturan, teriakan girang dari siswi yang lewat, serta pipi bak kepiting rebusan.

"Woah, bos savage sekali," celetuk Sam heboh.

"Katanya gak suka pantun?" tambah Alvaro.

"Terlanjur cinta sih. Mana doi kabur gitu aja pas bos deketin. Ya, kayak takut di patil lele gitu," Jaka menambahi.

Mendengar kebahagian temannya yang senang dirinya di kacangin oleh Laura pun, berkacak pinggang dengan mata setajam silet.

"Ulangi lagi?" Juna berpura-pura tak mendengar sebelumnya, meniru logat Sam saat lemot. Tangan kanan di telinga bak ada yang akan bisik-bisik tetangga, kini mulai terdengar selalu di telinga, seperti itu.

"Guys, ayo masuk ke kelas. Mau bel masuk nih," ujar Sam berpura-pura tak menganggap omongan Juna bak angin semrawut berlalu.

"Iya, disini gerah banget," Jaka mengipasi wajahnya yang mulai berkeringat.

"Jadi haus. Kuy, kantin dulu," ajak Radit, tak berdagang dulu. Masih membeli bahannya.

"Haus di luar, panas di-" belum usai Sam mengiklan sponsor teh pucuk harum pun, Satya meliriknya sadis.

"Ya Sat. Maklum, suka nyambung sih," Sam merperagakan gerakan mengunci di mulutnya.

"Sadis abis Sat. Lirikan matamu, sungguh me-" Alvaro ikutan menyahuti Sam di sambung lagu dangdut.

"Siwer kali lo," ujar Satya datar. Dia laki, bukan ciwi-ciwi.

Tak ada respon bak lambang huruf balasan 'O' layaknya oksigen yang sifatnya reaktif tak seperti sang doi atau gebetan pun, Juna memilih ke kelas. Biarlah kesledengan Sam, Alvaro atau pun Jaka yang ikut-ikutan menjadi tontonan fans-nya. Bukannya di takuti karena cuek, cool, serta auranya panas sedikit marah sedikit ngegas. Tapi yang namanya tampan entah tingkahnya woah, yang humoris akan selalu bikin bahagia daripada yang romantis belum tentu bikin ketawa-ketiwi seperti mbak kunti.

🍁🍁🍁

Hi 1:22 AM with my imagination today. Pote dan qoment mu make me seneng.

次の章へ