webnovel

Vigilant Step

"Kim, bagaimana cara buka jendela mobil?"

"Tekan tombol ini."

Percakapan singkat itu sudah berlalu sekitar 20 menit yang lalu. Tidak ada yang buka suara lagi baik dari Thomas maupun Kimberly. Mereka sibuk dengan aktivitas dan pikiran masing-masing. Ketenangan yang hanya diiringi oleh semilir angin sebagai musik alam, membuat suasana di dalam mobil terkesan canggung. Seakan sedang terjadi perang dingin antar dua bersaudara itu.

Sang Kakak menyandarkan kepala di atas tumpukan tangan pada pintu mobil yang jendelanya terbuka habis. Mata hitamnya yang sayu menyiratkan kebosanan. Sudah beberapa menit ia menghitung deretan pohon cemara yang bergulir di sepanjang jalan untuk menghilangkan kebosanan. Tapi semakin banyak pohon yang dihitung, semakin berat kelopak matanya untuk tetap terjaga. Desiran angin lembut yang menerpa wajahnya merupakan nyanyian pengantar tidur yang menenangkan.

Sedangkan Sang Adik mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Sesekali matanya yang dilapis sepasang lensa kontak berwarna cokelat, melirik ke kirinya. Ke anak laki-laki yang tampaknya tak lama lagi akan terlelap. Keningnya berkerut dan dua alisnya bertaut ke atas. Mulutnya beberapa kali terbuka, tapi tertutup lagi. Kalimat yang hendak keluar dari tenggorokan sering berakhir dengan dehaman. Seakan sedang memberi kode, namun tak diindahkan.

"Masih jauh, ya?"

Kimberly sedikit terkesiap mendengar Thomas tiba-tiba bicara tanpa menoleh ke arahnya. "Sebentar lagi sampai."

"Kenapa harus sejauh ini? Tadi kau bilang rumah sakit jiwanya dekat dengan rumah sakit tempat dirawat Sam." Thomas terdengar tidak terima saat pohon cemara di sebelahnya berganti menjadi pemandangan danau luas dan beberapa rumah ternak di atas padang rumput dengan barisan gunung di belakangnya.

"Aku lupa kalau pihak rumah sakit jiwa sebelumnya ternyata sudah merujuknya ke sana dari minggu lalu. Siapa tahu dengan suasana desa seperti ini, Mama bisa lebih cepat sembuh," timpalnya.

"Tapi kau tahu di mana rumah sakit itu, kan?"

"Iya, tahu. Dekat desa Greenbeck dan letaknya cukup terisolir. Aku tahu dari perawat yang biasa merawat Mama. Kebetulan dia juga dipindahtugaskan ke sana beberapa hari setelah Mama pindah."

Kimberly tahu dari dengusannya kalau kakaknya itu masih protes dan tidak terima. Entah karena alasan apa, ia tidak bertanya itu.

Menurutnya, ini waktu yang pas untuk bicara. Satu tangannya ia masukkan ke dalam tas selempang untuk mengambil sebuah topi. Ia keluarkan topi itu dan langsung diletakkan di kepala Thomas dengan visor ke belakang, sehingga menarik perhatian Thomas dari jendela.

"Kenapa kau membunuh Lindsey dan menyabotase mobil orang tua Sam?" tanya Kimberly serius.

Thomas memandang sejenak Kimberly yang fokus mengemudi. Sambil memutar visor topi ke depan, ia berkata, "dari mana kau bisa menuduhku begitu?" tanyanya setenang mungkin.

"Raynald mengadu ke Samuell di depanku dan menceritakan semuanya sebelum dia berangkat ke kantor."

"Raynald?"

"Nama asli dari Ray."

"Ohh." Thomas terdiam sesaat. Menunggu apa yang dikatakan selanjutnya. Namun, tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut adiknya lagi. "Jadi, kau ingin mengadukanku pada Sam supaya aku dipenjara?" kata Thomas menyimpulkan. Raut cemas sudah terlihat di wajahnya. Walau begitu, ia mulai bersiap-siap untuk menerima konsekuensi akibat perbuatannya itu. "Baiklah, aku—"

"Tidak. Aku hanya ingin bertanya 'kenapa'?" sela Kimberly. "Aku memang sangat kecewa padamu, tapi aku tidak ingin kau dipenjara. Kalau aku mau, aku bisa saja langsung mengadukan kau pada Sam di rumah sakit tadi dan memberikan topimu yang aku temukan di dekat kursi tunggu rumah sakit itu."

Sisi egois Kimberly yang besar itu bisa terlihat di mata Thomas, dan itu cukup membuatnya sedih melihat ia tumbuh bersama sikap egoisnya. "Jika seandainya... Kecelakaan itu menimpa Sam gara-gara aku, bagaimana?"

Kimberly tertawa sekilas. "Pertanyaan konyol. Thomas yang aku kenal, tidak mungkin membuatku sedih dengan mencelakai cinta pertamaku."

"Tapi cinta pertamamu itu ingin memenjarakan aku, Kimberly. Pasti suatu saat nanti, dia bisa melacakku. Dan kau pasti dalam masalah karena tidak menceritakan ini pada polisi itu."

"Itu masih 'suatu saat nanti', bukan sekarang," tepisnya. "sekarang kau jawab pertanyaanku saja. Kenapa kau mencelakai keluarga Sam?"

Thomas mendengus sambil melipat tangan di depan dada. "Apa pedulimu? Bukan kah kau tidak suka dengan mereka?"

"Tidak suka bukan berarti benci, Thomas," timpalnya. "Aku tidak terlalu peduli pada yang lain asal Sam, Chip, dan Cathrine baik-baik saja. Yang aku pedulikan itu kau. Aku kecewa melihatmu bertindak jahat begitu. Kalau aku tahu alasan kenapa kau melakukan itu, aku akan memahamimu. Jadi, kenapa kau membunuh—"

"Aku akan menjawabnya jika kau mau menyerahkanku pada, Sam."

Kimberly menginjak rem mendadak padahal lampu hijau baru berubah ke kuning di perempatan jalan. "Hah?! Kau mau di penjara?!"

"Tentu saja tidak. Tapi aku juga kecewa padamu, Kim. Padahal kau tahu aku buron, tapi kau tidak ingin memenjarakanku."

"Kau sendiri tidak mau di penjara kan. Jadi kenapa malah kau yang kecewa?" heran Kimberly.

Thomas menghela napas sejenak sambil memutar mata. "Kau bilang kalau kau kecewa padaku karena aku sudah bertindak jahat. Sedangkan kau sendiri sekarang ini juga sedang bertindak jahat karena tidak mau memenjarakan seorang penjahat sepertiku."

"Iya... Tapi—"

"Saudara atau bukan, sanksi hukum tetaplah berlaku bagi siapapun yang berbuat jahat," potong Thomas sambil menunjuk lampu yang akan berubah ke hijau kembali. "Dan aku tidak peduli apa yang terjadi padaku asal kau tetap aman dan tidak terjerat masalah itu."

"Ishh... Kau mulai terdengar seperti Sam," desis Kimberly seraya menancapkan gas. "Padahal aku cuman mau tanya alasan kau berbuat begitu. Tapi malah jadi panjang begini. Kalau tidak mau jawab ya bilang."

"Kalau aku tidak mau jawab, nanti kau malah kecewa padaku."

"Makanya kau menantangku balik agar kau juga bisa kecewa padaku. Astaga... Kapan aku bisa menang darimu Tom!" Kimberly mendesah panjang.

"Terlepas dari usiamu sekarang, kau tetaplah adikku, Kim. Jangan coba-coba remehkan kakak hebatmu ini ya," peringatnya sambil menggoyangkan telunjuk di ke arah Kimberly.

"Tapi kata Chip, jiwa dan pikiranmu masih terjebak di usia 12 tahun. Sedangkan aku, bulan Desember nanti usiaku dua kali lipat darimu. Bagaimana kau bisa berpikir jauh seperti itu?"

Thomas kembali bersandar ke pintu yang jendelanya masih terbuka lebar setelah berkata pada adiknya, "Entahlah. Mungkin insting seorang kakak?" Sebuah kalimat tanya yang meragukan untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya ia pikirkan.

(Chip masih belum tahu banyak tentangku. Kau sendiri juga sepertinya tidak begitu tahu tentangku yang sekarang ini, Kim. Dan aku pun tidak berniat untuk memberitahu kalian. Aku hanya ingin kalian tidak terlalu jauh masuk ke dalam masalah ini. Aku hanya ingin kalian semua tetap aman... Juga waspada padaku dan Lizzie...)

•••

Mobil sedan cokelat berhenti setelah menemukan tempat kosong di parkiran rumah sakit. Ketika yang punya mobil hendak keluar, tiba-tiba ia mendapat panggilan telepon. Dari nama kontak yang tertulis, Kimberly tahu kalau panggilan itu berasal dari perawat rumah sakit yang biasa mengurus Nataline. Ia pun segera mengangkatnya tanpa ada niatan keluar mobil.

Thomas mendengar seksama jawaban yang Kimberly berikan pada perawat. Namun tidak ada yang ia pahami, karena adiknya itu lebih banyak mendengar dan hanya menjawab singkat. Hingga, Kimberly mulai menyahut ke ponsel beberapa kali dan meminta perawat itu mengulangi apa yang diucapkan. Ia heran kenapa jaringan di ponselnya tiba-tiba sangat lemah. Kemudian, ia keluar dari mobil untuk bisa berbicara dengan perawat itu tanpa terputus-putus.

Terlalu segan keluar, Thomas menunggu adiknya sambil menyandarkan kepala di tempat kesukaannya: pintu mobil yang jendelanya tenggelam hingga ke dasar. Dalam hati ia membaca plang rumah sakit yang kebetulan tertanam tak jauh di sebelahnya.

Ramson Psychiatric Hospital. Namanya terdengar asing bagi Thomas untuk sebuah rumah sakit jiwa yang sangat luas ini. Jarak dari gerbang menuju lahan parkir umum memakan waktu sekitar 20 menit setelah melewati beberapa rumah budidaya tumbuhan juga kandang-kandang ternak yang katanya digunakan sebagai salah satu kegiatan pasien di sini. Juga terlihat bangunan-bangunan bertingkat dengan bentuk yang berbeda di setiap area, namun memiliki bentuk seragam di area yang sama. Semuanya berdiri kokoh di dalam rumah sakit yang dikelilingi oleh tembok tinggi.

Ketika Thomas asik mengamati apa-apa saja yang ada di luar mobil, tiba-tiba saja angin dingin bertiup singkat tepat di depan wajah. Seperti ada seseorang yang baru saja lewat dengan kecepatan tinggi. Suhu di sekitar juga mendadak terasa menurun dan membuat bulu kuduknya berdiri.

Instingnya tiba-tiba berkata ada yang duduk di kursi penumpang belakang. Thomas tidak langsung menoleh ke belakang, melainkan ke Kimberly dulu yang masih sibuk dengan ponselnya. Lalu melirik ke cermin mobil yang tergantung. Ia melihat bayangannya dan tidak ada apapun di kursi belakang. Walau begitu, instingnya masih berkata kalau di belakang itu ada sesuatu yang menunggunya. Memperhatikannya. Sosok yang tidak memiliki bayangan di cermin.

Terdengar suara klik dari pintu ketika tangannya meraba gagangnya. Pintu mobil yang terkunci tanpa sebab menguatkan bukti kalau di belakangnya memang ada sesuatu.

Thomas menghirup napas sedalam mungkin hingga dadanya menggembung, lalu dihembuskan perlahan. Ia mengumpulkan keberanian dan menenangkan pikiran dulu, sebelum ia berbalik. Ternyata... Tidak ada siapapun. Tidak ada apapun yang duduk di kursi belakang. Dua pundaknya melemas saat tahu firasat buruknya keliru.

"Halloo." Sapaan dengan suara yang diayunkan itu berasal dari kursi pengemudi. Dan Thomas sangat mengenal sapaan yang khas itu.

Sebelum ia sempat menoleh, sebuah tangan sudah diletakkan di keningnya.

Kilatan hitam cepat muncul di dalam mobil. Kimberly tidak sempat melihat kilatan singkat itu karena masih mendengar pembicaraan di ponsel. Beberapa menit setelahnya, Kimberly baru berbalik badan dan menghampiri mobil untuk mengambil sebuah dokumen. Ia menyadari ketidakhadiran Thomas di dalam mobil itu. Ia juga tidak melihat kakaknya itu berjalan di tempat terbuka ini. Ia langsung memeriksa sekitar mobil, bahkan ke kolongnya. Tapi tetap tidak ada. Kimberly jadi tidak fokus mendengar dan menjawab panggilan yang masuk. Suaranya yang bergetar dan napasnya yang memburu terdengar hingga ke lawan bicaranya. Sampai-sampai perawat itu bertanya apakah ia baik-baik saja.

Kimberly menjawab kalau ia baik-baik saja. Dan tak lama kemudian, ia mengakhiri panggilan yang belum selesai itu dengan berkata ada urusan mendadak. Setelah perawat itu mengizinkannya, ia pun memutus panggilan lalu mengantungi ponselnya. Kimberly berusaha untuk lebih tenang dan tidak panik selama mencari kakaknya. Ia bahkan berniat untuk tidak pulang sebelum satu-satunya saudara kandung yang ia punya itu ketemu.

•••

"Dari mana saja kau?"

Thomas baru bertanya dengan nada menuduh ketika ia kembali ke wujud manusia dan berhenti di tempat yang cukup tersembunyi dari orang sekitar, yaitu sebelah rumah budidaya tumbuhan yang hampir dampit dengan tembok.

"Urusan," jawabnya enteng sambil melepas bando telinga hitamnya untuk dibersihkan.

"Iya urusan apa, Lizzie. Kau bilang kan kau akan memberitahuku itu."

"Sabar. Bandoku masih kotor."

Thomas pun menunggunya sambil melipat tangan dan bersandar ke dinding di sebelahnya. Entah sudah berapa menit ia melihat gadis yang setengah wajahnya tertutup itu menepuk-nepuk bando berbulu tersebut untuk menerbangkan debu-debu yang menempel. Thomas hendak merebut bando itu untuk bantu membersihkannya, namun tangan Lizzie sigap menjauhkannya dan langsung memakainya kembali.

"Kenapa kau suka sekali bando itu?" heran Thomas.

"Apa yang aku sukai adalah kekuatan untukku." Lizzie mengambil mengeluarkan sesuatu dari tas selempang kecil yang menyaru dengan gaun hitamnya tanpa menjawab Thomas yang bertanya tentang maksud kekuatan itu.

Lizzie menunjukkan sebuah pisau yang gagang sampai bilahnya terbuat dari kaca yang kehitaman. Terdapat ukiran berbentuk kepala kelinci dengan sepasang tanduk tajam melebihi tinggi telinga di gagang pisaunya.

Pikiran yang terlintas di benak Thomas ketika melihat ukiran mata merah dan bertanduk tajam itu adalah... Iblis. Lalu ia teringat dengan suara misterius di tempat yang penuh akan lukisan dirinya. Suara misterius yang mengatakan kalau Lizzie menjual jiwanya ke suara misterius itu agar bisa sampai di sini.

"Wow, jadi kau sudah mengenal yang namanya jual jiwa dan janji kepada Iblis ya," kagum Lizzie setelah mendengar isi pikirannya.

Thomas tertegun. Ia sempat lupa kemampuan telepati mereka itu. "Yaa... Aku pernah tahu ini dari Cathrine dan Chip waktu masih di panti. Mereka berdua sangat senang hal-hal yang berbau mistis."

"Bagaimana denganmu? Apa kau menyukainya juga?"

"Tidak... juga. Aku hanya terbawa suasana saja." Sebelum Lizzie buka suara lagi, ia sudah melanjutkan. "Bukan karena Cathrine suka, aku juga harus suka. Bukan. Di sana aku tidak punya banyak teman, beda dengan Kimberly. Jadi waktu Kim main sama teman-temannya, aku main sama Chip. Tapi kadang-kadang Cathrine datang dan bertanya-tanya tentang supranatural. Jadi ya aku tahu beberapa tentang Iblis dan perjanjiannya itu."

Lizzie mengangguk lambat. "Baguslah kalau kau sudah tahu." Ia menyodorkan pisau yang dari tadi masih di genggamannya. "Ya sudah, sekarang kau harus cari Nataline dan membunuhnya pakai ini."

"Kenapa harus aku?"

"Karena Iblis itu yang menginginkannya. Tapi tenang saja, Thomas. Ini janji yang aku buat dengannya, bukan denganmu. Kau akan aman jika mengikuti arahanku."

"Apa yang aku dapat jika aku membunuhnya?" tanya Thomas lagi sambil mengambil pisau yang ternyata ringan itu.

"Kepuasan tersendiri karena hasrat dendam yang terpenuhi dan kita berdua bisa tidur tenang!" girang Lizzie sambil membentangkan dua tangan.

"Itu saja?"

"Iya. Apa lagi?" Sebelah alis Lizzie terangkat. Ia mencoba mendengar apa yang rekannya itu pikirkan karena dari tadi ia terdiam sambil mengetes daya tahan pisau kaca itu dengan membenturkannya beberapa kali ke dinding. Namun, Lizzie tidak mendengar apapun. "Pisau itu tidak akan pecah." Suaranya terdengar jengkel.

"Baguslah," ucapnya sambil menyerahkan pisau itu kembali. Lizzie menatapnya bingung. "Kau lihat, aku tidak punya sarung pisau atau tas. Dan pisau ini juga terlalu besar untuk kantung celana atau saku kemeja. Jadi daripada ditenteng dan dilihat oleh orang lain, sebaiknya aku titipkan padamu saja. Nanti kalau kita sudah di depan Nataline, baru kau berikan ini lagi padaku."

"Oh iya, benar juga." Lizzie memasukkan pisau itu kembali dalam tas. "Penjagaan rumah sakit jiwa ini sangat ketat. Pisau ini pasti sudah disita duluan sebelum bertemu Nataline."

"Hmm... Baiklah. Jadi apa yang harus kita lakukan? Apa kau sudah mengitari rumah sakit ini sebelum aku sampai?"

Lizzie menggeleng sekilas. "Aku dari tadi duduk di atap mobilmu."

"Lalu dari mana kau tahu penjagaan di sini sangat ketat?"

"Ramson Psychiatric Hospital...," Lizzie melangkah melewatinya dan mengintip di balik dinding bangunan. "Nenekku pernah jadi kepala eksekutif rumah sakit jiwa ini. Ibuku pernah kerja jadi staff administrasi dan ayahku pernah kerja jadi kepala keamanan." Ia mendecih. "Aku tidak menyangka kalau pembunuh orang tuaku bakal dirawat di rumah sakit keluargaku."

"Wow... Jadi dari sini asal harta kekayaan Flawnsen," kagum Thomas.

Mata merah Lizzie menyisir lokasi di hadapannya ini. Tidak ada seorang pun yang sedang berjalan di atas rumput hijau rumah sakit itu kecuali tiga orang berjalan beriringan dalam satu kelompok. "Aku ingin sekali sombong di depanmu dan berkata kalau ini bukanlah sumber utama kekayaan Flawnsen. Tapi..." Ia sedikit terbelalak saat matanya mengenali punggung salah satu dari tiga orang itu. "Tapi aku tahu ini waktunya balas dendam."

Thomas melongokkan kepala juga. "Kau lihat apa?" Sebelum ia sempat melihat apa yang Lizzie lihat, ujung kemejanya ditarik oleh gadis itu.

"Ayo ikut aku, Thomas! Di sana ada Natalaine!" seru Lizzie sambil melangkah cepat.

Langkah cepatnya berubah menjadi lari saat mendapati mereka mengambil belokan dan hampir hilang dari pandangan. Meskipun terlihat sekilas dari samping, Lizzie masih mengenali siapa sosok wanita berambut pirang itu. Senyumnya terukir lebar di balik kain penutup yang berkibar. Ia begitu antusias untuk menancapkan pisau yang sudah berada di cengkramannya, sampai-sampai genggaman pada anak laki-laki di belakangnya itu terlepas.

Lizzie ingin melakukannya. Ya, Lizzie ingin sekali menyayat seluruh anggota geraknya dan membuatnya hampir terputus. Ingin sekali menikam perutnya dan mengeluarkan usus panjangnya. Ingin sekali mencabik kulit mulusnya hingga tulang putihnya terlihat. Dan juga... Lizzie ingin sekali melakukan itu semua pada Nataline dalam keadaan hidup.

(Tidak lama lagi dendamku akan terpenuhi! Tidak lama lagi kau akan menerima balasanku, Nataline!)

次の章へ