webnovel

Dealing with The Ghost

Sesosok makhluk bergaun putih tak kasat mata itu terus melayang di sepanjang trotoar. Bisa terlihat dari ekspresinya yang kusut kalau makhluk halus itu sedang memikirkan hal yang rumit. Ia seharusnya tidak di sini, di dunia ini, memikirkan semua ini. Sosoknya yang menjadi arwah penasaran dikarenakan adiknya yang keras kepala dan tidak bisa diatur itu membuatnya berpikir keras untuk menyelesaikan semua ini sebelum tanggung jawabnya sebagai kakak semakin berat. Ditambah Thomas yang sudah sepenuhnya termakan omong kosong Lizzie membuat bebannya kian bertambah.

"Ayolah Thomas! Seandainya kau percaya padaku dan ikuti saja perintahku, urusanmu bisa selesai tanpa harus membunuh Nataline. Ahh coba kalau aku tahu hal itu lebih awal," gerutunya. Kini ia tidak bisa bertemu Thomas. Sudah dipastikan Lizzie akan terus bersamanya selama 24 jam setelah mengetahui kalau ia sudah banyak berbincang dengan Thomas. Takut-takut ia akan membeberkan semuanya dan rencana Lizzie untuk membunuh Nataline dengan memanfaatkan Thomas gagal.

"Apa kau Alice?"

Suara seorang wanita membuat makhluk berambut cokelat itu menghadap ke sumber suara di sebelahnya. "Iya. Kau...?" Alice memandang wanita berambut pendek yang terlihat familiar itu.

"Aku Tessa. Jadi--" ucapan wanita tembus pandang dan berwajah pucat itu terpotong saat melihat ekspresi Alice yang menyadari sesuatu. 

"Ka-kau Tessa?!" kaget Alice. Ia tahu betul tentang kematiannya itu. "Tolong maafkan kelakuan adikku!" serunya sambil menempelkan kedua telapak tangannya. "Karena sudah membunuhmu," tambahnya dengan nada memelan.

"Kenapa harus kau yang meminta maaf dan merasa bertanggung jawab?" heran Tessa. "Hubungan darah tidak harus membuatmu harus memikul semua kesalahannya." Bisa terdengar dari suaranya kalau Tessa mulai emosi dengan sikap terlalu baiknya Alice itu.

"Ba-bagaimana kau tahu kami bersaudara?" tanya Alice karena ia merasa tidak pernah berbincang dengan arwah lainnya.

"Chip memberitahuku," jawabnya simpel.

Nama itu seketika terlintas di benaknya. "Iya, Chip. Pemuda itu...," Alice baru saja menemukan sebuah rencana, "di mana dia sekarang?"

"Dia sedang dalam perjalanan ke sini. Tapi dia masih jauh," jawab Tessa. "Memang ada apa?"

"Aku ingin menemuinya. Bisa kau antarkan aku?" pinta Alice.

"Aku baru juga sampai. Jauh-jauh datang ke sini untuk menemui Lizzie itu, ternyata dia tidak ada," keluh Tessa sambil berkacak pinggang.

"Maaf. Tapi percaya padaku, sia-sia jika kau menemuinya seorang diri," ucap gadis bermata biru itu.

"Baiklah baiklah. Aku akan mengantarmu." Tessa mengalah dan ia mulai memimpin jalan dengan Alice mengikuti di belakangnya.

Alice memperkirakan kalau pemuda yang bernama asli Tobias Clooney itu bisa membantunya. Hanya dia yang bisa mengajaknya bekerja sama untuk saat ini. Walau awalnya Alice sedikit meremehkan kemampuannya itu sehingga Chip harus dipisahkan dari Thomas supaya nyawanya tidak terancam karena Lizzie--mengingat Chip itu teman dekatnya Thomas--, Alice tidak ingin ia kehilangan nyawanya. 

Alice merutuki sifat meremehkan orang lain yang dimilikinya itu sehingga membuat semua rencananya berantakan. Dimulai dari pertemuannya dengan Thomas untuk membicarakan tentang sosok Lizzie yang sebenarnya, sekaligus membuat rencana tentang apa yang harus Thomas lakukan untuk menjauhi Chip. Ia saat itu berpikir kalau Thomas harus benar-benar membela Lizzie dan akhirnya berhasil walau Chip menanggung resikonya.

Waktu itu Alice sudah yakin kalau Thomas akan dengan mudahnya mengikuti perintahnya dan mencoba menjauh dari Lizzie beraura jahat itu. Mencoba untuk terus berada di bayang-bayang Thomas sampai ia menemukan cara yang lebih baik supaya kembali ke dunianya. Tapi ternyata Alice terlalu meremehkan Lizzie, sehingga ia tidak tahu kalau Thomas akan lebih mudah menerima perkataan setannya itu dibanding dirinya. Bahkan yang lebih parah, Thomas sudah tidak percaya lagi padanya

"Kau baik-baik saja?" Pertanyaan Tessa menyadarkan Alice dari perasaan menyesalnya itu.

"Sedikit baik," jawabnya. "Apa salah jika meremehkan seseorang berlebihan?" tanya Alice tentang masalah di pikirannya itu.

"Tentu saja salah. Meremehkan seseorang bisa membuatmu sombong. Kau akan frustasi jika orang yang kau remehkan itu melakukan hal di luar dugaan dan membuatmu berada di bawahnya," jelas Tessa. "Dan sepertinya kau sedang frustasi saat ini"

"Ya begitulah." Alice mengedikkan bahunya. "Aku melakukan kesalahan yang cukup besar."

"Kalau begitu jangan ulang lagi," sambar Tessa.

Alice sedikit tersenyum. "Akan aku usahakan," balasnya. "Hey, bolehkah kau memberitahuku sedikit tentang Chip?" Alice memasang sumringah di wajahnya dengan tatapan penuh harap.

"Untuk apa memangnya?" heran Tessa.

"Supaya aku tidak mengulangi kesalahanku lagi."

"Ooh baiklah," kata Tessa. "Kita mulai dari..."

Tessa pun bercerita semua tentang sahabatnya itu yang ia tahu.

•••

Matahari kian meninggi dan burung-burung mulai meninggalkan sarangnya untuk mencari makan. Seorang pemuda baru saja turun di sebuah halte bus dan langsung menghirup dalam udara pagi yang menyegarkan. Sambil menarik kopernya, ia mulai menyusuri trotoar sebuah permukiman yang terlihat sepi itu.

Ia berhenti dan mengambil sebuah buku kecil di saku jaketnya dengan satu tangan. Susah payah ia membuka buku kecil itu untuk menemukan suatu petunjuk. Kalau saja tangan kirinya tidak dibebat dan setidaknya masih bisa sedikit digunakan, ia tidak akan serepot ini hanya untuk membuka sebuah buku kecil.

("Jalan lurus ke depan setelah turun dari bus, belok kiri dan ada papan bertuliskan Black Motel. Kau bisa tidur dengan uang yang sudah diberikan di sana.") Ia membacanya dalam hati.

Pemuda berkacamata yang biasa dipanggil Chip itu pun mengikuti apa yang dituliskan di dalamnya. Dan akhirnya ia sampai di tempat yang dimaksud. Sebuah motel berlantai tiga dan terlihat sudah tua. Papan bertuliskan 'Black Motel' itu juga terlihat pudar dan bahkan hampir tidak terlihat tulisannya. Dari depannya saja ia sudah merasakan keberadaan arwah-arwah gentayangan, apalagi di dalamnya.

Ia masih belum pulih dari traumanya karena kejadian saat itu. Sampai sekarang, ia tidak ingin melakukan kontak langsung dengan makhluk-makhluk astral yang menyeramkan dan terlihat mengancam nyawa. Walau ia menyadari mereka, ia bersuaha untuk tidak menggubrisnya seakan-akan tidak ada mereka di sana.

Jadi, ia lebih memilih untuk mencari tempat yang bisa membuatnya beristirahat sejenak sampai sore nanti, di mana bus yang mengantarkannya menuju tujuan tiba.

•••

Gemerincing lonceng yang terletak di atas pintu cafe terdengar. Padahal tidak ada siapapun yang membuka pintu sehingga membuat lonceng itu bersuara. Angin juga tidak mungkin bisa menggerakan lonceng yang tergantung di dalam ruangan tersebut. Hal itu cukup menarik perhatian seorang pemuda dari ponselnya. Akan tetapi ia tidak melihat apapun di sana.

"Selamat pagi, Chip!"

Ia langsung menoleh ke kirinya, ke arah seseorang--lebih tepatnya arwah--yang memanggilnya. Arwah gadis yang Chip harapkan untuk tidak bertemu lagi dengannya.

"Apa maumu?" Bisa terdengar dari nadanya yang ketus itu, Chip masih merasa jengkel padanya. Sekarang ia menyesal tidak menunggu di motel saja sampai bus benar-benar datang.

"Aku perlu bantuanmu."

Chip kembali melihat layar ponselnya dan tidak mempedulikan tatapan minta belas kasih dari kedua mata biru itu. "Kau bilang sendiri kau bisa mengurus semuanya tanpa campur tanganku."

"Aku minta maaf sebelumnya, Chip," timpal Alice. "Aku tahu aku salah saat itu dan aku minta maaf. Jadi, kau mau membantuku kan?" mohonnya.

"Tidak," jawab Chip datar sebelum ia menyesap cappucino hangatnya.

Sesuai perkataan Tessa sebelumnya, Chip memang susah untuk memaafkan segala hal yang sudah menyakitinya. Kecuali kalau Alice melakukan sesuatu untuknya. Akan tetapi, Alice tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Alice baru tersadar akan satu hal. "Kau sudah tidak peduli lagi dengan Thomas?"

"Dia sudah mati," jawab Chip sambil terfokus kembali pada ponselnya.

"Tapi dia hidup kembali," timpal Alice. "Ada Lizzie juga di sana."

"Lalu?" Nadanya masih terdengar tak peduli.

"Lizzie ingin sekali membunuh Nataline dan membunuh siapa saja yang menghalanginya," Alice mencoba menyusun kata-kata. "Kimberly itu adiknya Thomas, kan? Dan kurasa gara-gara Kimberly, Thomas akan sedikit keras kepala pada Lizzie agar mengikuti perintahnya, secara tersirat itu, untuk segera mencari tahu keberadaan Nataline."

Chip langsung menghentikan game di ponselnya itu. Akhirnya Alice bisa menarik perhatiannya kembali.

"Bisa dikatakan, Kimberly itu menghalangi Lizzie. Dan ya, mungkin saja Lizzie membuat kematian Kimberly seakan-akan itu sebuah kecelakaan. Padahal dia yang melakukannya," lanjut Alice.

Chip mengacak-acak rambutnya gusar karena merasa perkataan itu ada benarnya. "Baiklah!" seru Chip sambil membuang napas cepat. Keberadaan Lizzie yang ternyata bisa mengancam nyawa Kimberly membuat ia terpaksa mengikuti kemauan Alice. "Apa yang kau inginkan?" 

Alice tersenyum miring saat tahu kalau Chip memang akan melakukan apapun kalau berhubungan dengan Kimberly. "Kau tahu, tidak baik masih menyukai seseorang yang akan menikah dengan orang lain," kata Alice.

"Itu bukan urusanmu." Chip segera menimpalnya. "Cepat katakan, apa yang bisa kubantu?"

"Temui Thomas. Lepas rantai yang mengikatnya saat ia berbentuk kelinci tepat di depan Kimberly. Maka setelah Thomas bertemu dengan Kimberly, kemungkinan Thomas bisa tidur dengan tenang," jelas Alice. "Begitu juga Lizzie," tambahnya.

"Kemungkinan?" Chip menggarisbawahi kata yang meragukan itu.

"Lizzie selalu menghalangi Thomas untuk bertemu Kimberly. Ya, aku rasa--"

"Jadi kau belum tahu?" sela Chip cepat.

"Tidak. Aku sudah tahu. Seperti itu caranya," jawab Alice.

"Tadi kau bilang kemungkinan."

"Sekarang aku yakin. Pasti itu caranya!" seru Alice. Kedua mata birunya menyiratkan rasa percaya diri tinggi kalau teori yang dibuatnya itu berhasil.

Chip menghela napas. "Ya sudah kalau memang begitu," ujarnya. Ia tidak menyangka kalau ia akan berurusan dengan hantu itu lagi.

"Kapan kita akan jalan?" tanya Alice antusias.

"Bus akan datang jam 5 sore nanti," jawab Chip sambil melihat waktu di jam tangannya.

"Berapa lama lagi?"

"1 jam lagi."

•••

Chip berinisiatif membunuh waktu yang ada dengan melihat ribuan foto di galeri ponselnya. Bernostalgia dengan teman-teman satu pantinya yang sudah beranjak dewasa dan berpencar entah kemana. Kebanyakan dari mereka bahkan sudah berkeluarga. Kimberly--foto yang paling banyak dalam galerinya--pun akan mengadakan pernikahannya dalam waktu dekat dengan seorang anggota kepolisian. Ia sendiri sadar, menaruh rasa pada seseorang yang akan menikah itu memang salah. Jadi, saat ini ia memutuskan untuk menghapus beberapa foto Kimberly dan berusaha melupakan perasaannya itu.

Setelah semua dihapus, tanpa sengaja ia menemukan sebuah foto yang rasanya ingin ia hapus, namun tidak tega untuk menghapusnya. Foto masa lalu di hari pemakaman Thomas.

Ia pun membukanya dan melihat lebih detail suasana duka dari foto yang menampilkan sebuah peti hitam yang akan dimasukkan ke dalam liang lahat itu.

Ada yang aneh.

Kenapa ia baru menyadarinya padahal sudah sangat lama foto itu berpindah-pindah setiap ia berganti ponsel.

Ada suatu penampakan tepat di tengah kerumunan orang yang akan memasukkan peti itu. Jika diperbesar, akan tampak wujud seorang gadis kecil yang sedang tersenyum tepat ke arah peti. Senyuman jahat penuh dengan rencana-rencana setan dari gadis bergaun gotik hitam itu. Chip kenal sekali dengan sosok gadis berkulit pucat itu walau tidak ada luka-luka yang berarti yang membuatnya menjadi sosok yang menyeramkan belakangan ini.

"Astaga! Lizzie sudah menargetkan Thomas sejak awal!" kaget Chip. Ia benar-benar baru sadar akan hal itu. Kenapa tidak terpikirkan sama sekali olehnya?

"Chip! Bus nya sudah datang!" seru Alice. Ia baru saja muncul entah dari mana.

"Ok!" Cepat-cepat ia beranjak dari kursi dan meletakkan uang pas di meja, sebelum ia bergegas menghampiri bus yang berhenti di depan halte tepat di sebelah cafe itu sambil susah payah menggeret kopernya.

Alice berhenti di sebelah pintu bus karena merasa ada yang aneh dengan bus itu. "Chip, sepertinya ini bukan bus yang dimaksud," kata Alice.

"Sudah tidak ada waktu, aku harus menemui Thomas sekarang," timpal Chip. Ia terlihat sibuk untuk menaikkan kopernya itu ke dalam bus.

Dengan perasaan ragu, Alice pun ikut masuk ke dalamnya dan mencari kursi yang kosong bersama Chip. Lalu, mengikuti ke mana bus itu akan melaju.

次の章へ