webnovel

Black and Brown

Nataline sedang memasak sarapan saat Thomas membuka kulkas untuk mengambil cemilan.

"Tommy, di mana Kimmy?" tanya Nataline.

"Masih membuka hadiahnya," jawabnya setelah sekotak biskuit terambil di tangannya. "Ma, kenapa untuk ulang tahunnya yang ke-9 ini, Kim lebih banyak mendapatkan hadiah dan sering mengajaknya ke mal? Bukan apa-apa, tapi itu bisa membuatnya menjadi konsumtif," jelasnya sambil membuka kotak yang sulit dibuka itu. Membuat cukup banyak penekanan di kalimatnya.

Nataline tertegun mendengarnya. Seperti ia sedang mendengar ucapan-ucapan dari orang tua. "Berapa umurmu?"

Akhirnya kotak itu bisa dibuka dan ia mulai melahap isinya. "Sudah 12 tahun," jawabnya dengan mulut terisi penuh biskuit.

Ia mengingat sejenak. Mencoba mencermati apa yang dimaksud dari ucapan panjang anaknya tadi. "Ooh, jadi kesimpulannya, tahun depan kamu ingin hadiah lebih banyak dari adikmu? Boleh saja," kata Nataline santai.

Thomas tersedak. "Bu-bukan itu!" sahutnya. "Maksudku--"

"Tenang saja, Tommy. Jangan sungkan-sungkan," kata Nataline sambil menggerak-gerakkan tangannya.

Tiba-tiba Kimberly berlari ke dapur sambil berteriak-teriak histeris. Tanpa basa-basi ia langsung menunjukkan apa yang ia dapat dari hadiahnya yang membuatnya histeris senang. Seekor kelinci cokelat yang berada di dalam sangkar besi dan 2 bando telinga kelinci dengan warna berbeda.

"Terima kasih, Ma!" kata Kimberly sambil memeluk Nataline lalu melepasnya dan berbalik ke arah Thomas. "Lihat Tom! Kamu pasti iri karena aku punya kelinci," sahutnya. "Kamu suka kelinci tapi tidak punya kelincinya. Kasihan," ledeknya.

"Kamu suka kelinci, Tommy? Aku kira kucing karena namamu yang sama--"

"Jangan samakan aku dengan tokoh itu lagi, Ma!" sela Thomas yang merasa tersinggung. Lalu ia menghela napas dan mencoba tenang. "Aku memang suka kelinci. Tapi tidak terlalu suka merawatnya."

"Oh benarkah?" Kimberly menggeser sangkar kelinci itu di atas meja ke arahnya. "Aku yakin kamu ingin sekali mengelusnya, Thomas," godanya. Thomas tak berkutik dan masih tenang dalam memakan biskuit. Akhirnya, Kimberly mengalah dan menarik kembali sangkar itu ke arahnya.

"Kim, rambutmu, kamu potong?" tanya Thomas yang baru tersadar kalau rambut cokelat adiknya memendek.

"Yup! Aku diajak ke salon terkenal kemarin malam sama temannya Mama. Katanya, model rambut ini dan bisa merasakan fasilitas nomor 1 salon itu, adalah hadiah darinya," jelas Kimberly. "Bagaimana Thomas? Aku jadi lebih cantik kan?" Kimberly memamerkan rambut pendeknya itu.

Thomas menggeleng cepat. "Tapi aku lebih suka rambut panjangmu," tolak Thomas. "Rambut pendek seperti itu membuatmu terlihat lebih tua 5 tahun dariku," komentarnya.

Senyum Kimberly mulai masam dan perlahan pudar. Kemudian ia berbalik badan ke arah Nataline lalu menghampirinya. "Mama...," rengek Kimberly.

"Thomas," tegur Nataline sambil menatap tajam Thomas sesaat.

"Aku tidak melakukan apapun," sanggah Thomas. Ia benar-benar merasa tidak bersalah dengan komentar yang terlalu berterus terang itu.

Nataline mengelus surai cokelat Kimberly. "Jangan dengarkan dia. Kamu lebih cantik seperti ini, Kimmy."

"Benarkah?"

Nataline mengangguk. "Sekarang rambutmu sudah mirip dengan Mama." Kemudian ia mengambil bando kelinci berwarna cokelat dan memakaikannya di pucuk rambut Kimberly.

"Cocok sekali dengan warna rambutmu sayang. Sangat lucu. Bando yang terlihat asli itu seperti menyatu," pujinya.

Kimberly tersipu. "Mama bisa saja." Lalu ia tunjukkan bando yang satu lagi. "Ayo, Mama juga pakai," pintanya.

Ia tampak kaget melihat warna bando itu. "Kenapa harus hitam?" gumamnya pelan.

"Apa?" Kimberly samar-samar mendengarnya.

"Dari siapa kamu dapat bando itu, sayang?" tanya Nataline mengalihkan.

"Bukan kah ini dari Mama juga? bingung Kimberly, " aku menemukannya bersama kelinci itu."

Nataline terdiam sejenak dan mengingat kembali. "Oh iya lupa. Mama kira dari siapa haha," jawabnya sambil tertawa renyah. Ia sungguh lupa kalau bando itu sudah ia beli jauh sebelum hari ulang tahun Kimberly, bahkan sebelum Ia mulai membenci warna hitam.

"Ayo pakai ini, Ma!" ajak Kimberly semangat.

"Mama tidak cocok dengan warna itu. Lihat, rambut Mama pirang," kata Nateline cepat sambil memilin rambut sebahunya.

"Oh, baiklah." Kimberly nampak kecewa dan tidak memaksanya. "Tapi tak apa. Masih ada satu orang lagi," gumamnya. Lalu ia menoleh ke belakang, ke arah Thomas yang masih menikmati biskutnya sambil menyaksikan acara kartun di TV dapur.

Diam-diam ia menaruh bando telinga hitam itu ke kepala kakaknya. Sekilas Nataline melihatnya sebelum mereka berdua kejar-kejaran keluar dapur. Ia mengkhawatirkan sesuatu saat melihat rambut hitam lurus itu terhiasi bando telinga kelinci yang berwarna hitam. Sesuatu yang ingin tidak dipercaya, namun kenyataan membuatnya harus percaya.

Belakangan ini Nataline selalu melihat horoskop bintangnya di sebuah acara TV. Yang membuatnya cemas adalah karena acara itu menyebutkan, di masa yang akan datang, orang dengan horoskop ini akan mengalami musibah besar. Nataline termasuk orang yang mempercayai horoskop. Selalu berharap dan mengikuti apa saja agar ramalannya selalu bagus.

Sebelumnya, ia tidak pernah mendapat ramalan yang katanya akan sangat buruk. Palingan hanya musibah kecil-kecil saja. Tapi di layar itu tertulis dengan sangat jelas, musibah yang sangat besar.

Ia mencoba mengingat apa yang membuat horoskopnya buruk. Barang-barang keberuntungan sudah dibeli dan warnanya juga mengikuti apa yang disarankan ramalannya. Kecuali satu. Ya, ia lupa satu hal! Apa mungkin sejak kedatangan anak adopsi itu?

Saat dibaca buku horoskopnya kembali, ternyata itu menyebutkan kalau warna hitam di sekitarnya akan mendatangkan bencana berupa apa saja. Lain halnya dengan warna coklat yang akan membawa sebuah keberuntungan. Ia lupa hal penting itu. Ini yang membuatnya ia mulai benci warna hitam.

"Ini tidak mungkin," gumamnya tidak percaya. Ia memperhatikan kelinci cokelat di sebelahnya yang ia bawa dari dapur menuju ruang perpustakaan. Berharap kalau musibah itu tidak akan terjadi. Berharap kalau warna cokelat yang sudah banyak di rumahnya bisa menghapus musibah itu.

Nataline sangat menyayangi anak-anak asuhannya. Ia tidak tega melakukan apa saja untuk bisa menghilangkan warna hitam satu-satunya di rumah itu. Seandainya anak itu tidak berambut dan bermata hitam...

"Mama." Panggilan Kimberly yang lumayan kencang cukup membuat Nataline terkesiap.

"A-ada apa sayang?" balas Mama sambil melempar pandangan ke kedua anaknya yang sudah berdiri di hadapannya.

"Kapan Papa pulang?" tanya Kimberly.

Ia tidak tahu akan jawab apa. Sejak kemarin, Daryl tidak pulang dan tidak ada kabar sampai malam ini.

"Papa sedang lembur kerja. Dia pasti pulang," jawab Nataline optimis. Ia mencoba menenangkan mereka.

Tiba-tiba ponsel yang berada di atas meja didepannya berbunyi. Nataline mengangkat telepon itu.

"Hallo, Papa di mana?" tanya Nataline. Daryl tidak langsung menjawab. Tiba-tiba terdengar suara isakan dari sana. Ia tahu sekali kalau itu suara suaminya. "Papa kenapa?" Ia mulai cemas. "Papa?"

Thomas dan Kimberly berpandangan tidak mengerti.

"Ma..." Ia mulai bersuara serak. "Perusahaan Papa... gulung tikar," ucapnya.

Nataline terbelalak. "Jangan bercanda ya, Pa! Perusahaan warisan Papa kan sangat besar. Tidak mungkin tiba-tiba gulung tikar, kan?" Ia berusaha mengelak kenyataan.

"Seseorang yang licik sudah mencuri investasi Papa selama ini. Sampai-sampai habis tak tersisa," jelasnya. "Sekarang, Papa sedang dalam perjalanan pu--."

Nataline langsung memutus sambungan. Ia tidak mempedulikan keadaan suaminya saat ini. Pikirannya hanya tertuju bagaimana ia akan hidup tanpa benda-benda mewah yang selalu menyelimutinya itu.

Ia terduduk di lantai dingin sambil menutupi wajahnya. Kimberly ikut duduk menemaninya.

"Ma, Papa kenapa?" tanyanya dengan nada polos. Ia masih belum bisa menjawab dan memeluk erat Kimberly. Cukup syok karena berita tadi.

Perlahan ia membuka matanya. Saat melihat Thomas yang berdiri di depannya, mata itu menjadi lain. "Kau." Terdengar jelas di telinga Kimberly nada tajam Nataline itu.

Cepat-cepat Kimberly melepas pelukannya. "Mama kenapa?" herannya.

Lalu ia mengikuti arah tatapan lain itu dan mengarah ke Thomas yang juga heran dengan Nataline.

Nataline berdiri, bergerak cepat ke arah Thomas dan tiba-tiba saja ia menjenggut rambut anak itu dengan keras. Spontan Kimberly kaget dan berusaha melepas tangan itu. Akhirnya ia bisa melepaskannya.

"Mama Jahat!!" Kimberly reflek berteriak.

Perkataan itu cukup menusuk untuk Nataline. Ia langsung menampar Kimberly tanpa ia sadari, seperti ada yang mengendalikannya. Membuat ia melihat gadis kecilnya menangis sambil mengelus pipi yang mulai kemerahan.

"Dasar monster!" Thomas mendorong Nataline menjauh dari adiknya. Ia tidak mempedulikan rasa pening yang masih menjalar di kepalanya akibat jenggutan keras itu. "Apa salah kami?!" tanyanya dengan nada tinggi. Ia langsung memeluk adik kecilnya itu untuk menenangkannya.

"Oh astaga!" kaget Nataline. Ia berjalan mundur beberapa langkah lalu berlari menuju kamarnya.

Ia mengobrak-abrik kamarnya demi mencari sesuatu yang sangat ia butuhkan. Akhirnya sebuah tabung kecil ia temukan terselip di ranjang tidur. Tabung berisi 3 pil berwarna putih. Ia segera meminum 3 sekaligus sambil bercermin di meja hias. Memperhatikan wajahnya yang kusut. Garis hitam menghiasi bawah matanya.

"Ya Tuhan, apa aku bisa menahannya?"

次の章へ