Ralin merapikan gaun biru muda sepanjang betis yang dipakainya, lalu menggerai rambut lurusnya yang separo punggung. Ia memandang ke arah teman-temannya yang telah memakai pakaian yang cocok untuk penilaian pementasan drama kelompok mereka di jam pelajaran Seni Teater yang dilakukan di auditorium.
Ia berperan sebagai Mary Orlena, remaja yang hamil di luar nikah. Jenny yang berperan menjadi kepala sekolah bernama Madam Angela Hill memakai gaun hitam panjang dan rambutnya diikat menjadi sanggul kecil di belakang kepalanya. Pipin yang berperan sebagai kepala asrama putri bernama Madam Sarah Warner memakai setelan pakaian kerja berupa blus dan blazer serta rok panjang. Riga yang berperan sebagai Nyonya Eva Orlena memakai gaun yang mirip dengan gaunnya, hanya saja warnanya hijau zaitun. Ranu yang berperan sebagai Nicholas Cromm, kekasih Mary, memakai setelan celana panjang coklat dipadu dengan kemeja putih dan pullover biru.
Ralin mendekat pada Ranu, memberi sentuhan terakhir untuk penampilannya dengan mengacak – acak rambut ikalnya hingga berantakan, lalu menarik keluar satu ujung kemejanya. Ranu terkekeh dan membiarkannya. Tak lama kemudian terdengar suara Pak Nando memanggil nama mereka. Mereka berlima berangkulan bersama sambil berdoa lalu keluar dari ruangan di belakang panggung auditorium.
Teman-teman sekelas mereka menonton, beberapa sambil menanti giliran tampil setelah kelompok Ralin. Ada beberapa siswa dari kelas lain juga yang bergabung, mengingat pintu auditorium yang terbuka lebar dan memungkinkan siapapun yang berminat untuk masuk. Pak Nando mengabsen mereka satu persatu, lalu mereka dipersilakan untuk mulai.
Semuanya mudah, pikir Ralin saat ia dan Ranu memulai dialog mereka. Ranu terlihat sangat menjiwai perannya setelah beberapa kali latihan bersama. Ranu yang kalem dan biasanya tenang kini bertransformasi menjadi Ranu yang kacau dan pemarah, membentak-bentak Ralin yang berperan menjadi kekasihnya.
Nicholas : Kita tidak mungkin menikah sekarang.
Mary : Mengapa? Mengapa tidak bisa?
Nicholas : Demi Tuhan, kita masih di bawah umur! (menggebrak meja di hadapan Mary)
Mary : (berdiri dengan marah) Apa yang kita lakukan sampai akhirnya aku hamil, bukanlah kelakuan anak di bawah umur! Apa kau mengatakan ingin lari dan meninggalkanku begitu saja? Lalu mana janjimu? Kata-kata manismu soal “mencintaiku sepanjang umurmu”?
Nicholas : (memegang kedua lengan Mary) Aku mencintaimu! Aku tidak bohong! Aku hanya perlu berpikir.
Mary : Berpikir soal apa? Meloloskan diri dari tanggung jawab? Jika kamu memang mencintaiku, sungguh-sungguh dengan ucapanmu, kamu tak akan seperti ini!
Nicholas : Kamu pikir menikah itu perkara sepele, hah? Aku tak punya uang. Aku masih sekolah. Aku belum bisa menghidupi anakku nanti!
Terdengar tepuk tangan dari arah penonton yang melihat akting Ranu. Ralin memusatkan konsentrasinya, memandang wajah Ranu lekat-lekat.
Mary : Apakah kau pernah benar-benar mencintaiku?
Nicholas : (melepaskan pegangan, mondar-mandir lagi, menggerung gusar) Aku lelah mengulang – ulang jawaban dari pertanyaanmu itu!
Kemunculan tiga tokoh lain lagi-lagi mengundang tepuk tangan dan suitan nyaring. Pak Nando mengangkat satu tangan ke udara untuk mengingatkan dan suasana hening kembali. Jenny, Riga, dan Pipin mulai memerankan bagian mereka dengan kemarahan yang takarannya pas.
Warner : Tertangkap basah! (menunjuk Nicholas)
Warner : (berbicara pada Hill) Ibu Kepala, inilah orang yang kita cari. Si penyusup yang beberapa kali menyelinap ke asrama saya. (berpaling pada Nicholas) Akhirnya kau tertangkap juga. Tak selamanya kau bisa lolos dariku!
Eva : Mary! Apa yang kau lakukan bersama lelaki ini? (menghambur ke arah Mary yang ketakutan) Tak sadarkah kau bahwa masa depanmu di sekolah ini terancam? Kau membantu lelaki ini menyusup kesini?
Mary : Mama, aku…
Hill : Mary Orlena, siapa lelaki ini? (nadanya dingin dan tegas)
Mary : Dia Nicholas Cromm, Madam.
Hill : Dan benarkah kata Madam Warner bahwa dia sudah beberapa kali menyusup ke asrama? Ke kamarmu?
Mary : (menatap Nicholas) Benar.
Eva : (menampar Mary) Anak bodoh! Kelakuanmu benar-benar memalukan, Mary! Pernahkah aku mengajarimu menjadi wanita liar dan murahan seperti ini? (menarik baju Mary) Aku malu punya anak sepertimu! Malu! (mendorong Mary hingga jatuh)
Ralin jatuh dengan keras ke belakang akibat dorongan Riga yang kuat, dibarengi dengan seruan penonton. Mata Riga sontak melebar, tak menyangka menggunakan kekuatannya berlebihan, lupa bahwa ini hanya pentas drama, bukan pertandingan pencak silat. Ralin mengedipkan sebelah mata padanya, lalu sebisa mungkin bangun. Lengannya yang tadi menumpu tubuhnya saat jatuh kini berdenyut nyeri.
Ranu berlari menghampiri sesuai adegan berikutnya, dan melingkarkan satu lengan di pinggang Ralin, berbisik di luar skenario, “Lo nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa,” bisik Ralin cepat.
Mary : (menangis) Maaf, Mama. Maaf.
Hill : Nyonya Eva, Mary Orlena telah melanggar banyak peraturan sekolah dan asrama, apalagi mereka tertangkap basah seperti ini. Kami tak punya pilihan lain selain mengeluarkan putri Anda dari asrama kami.
Eva : (menangkupkan tangan di dada, menangis) Saya mohon belas kasihan Anda, Madam Hill. Tolong maafkan Mary untuk kali ini. Saya mohon.
Hill : Tidak bisa, Nyonya. Aturan harus ditegakkan.
Warner : Tindakan putri Anda telah mencoreng nama asrama saya, Nyonya. Satu-satunya sanksi yang paling adil adalah dengan mengeluarkannya.
Hill : Semua bukti sudah di tangan kami, dan saya sudah menandatangani surat untuk memindahkannya ke sekolah lain. Itupun jika masih memungkinkan. (saling pandang dengan Warner)
“Pipin! Jenny! Riga! Jangan galak-galak!” Seseorang berseru dari arah penonton, yang entah sejak kapan jumlahnya bertambah makin banyak dalam sekejap.
Eva : (terkejut) Maksud Anda? Apakah anak saya tidak akan diterima oleh sekolah lain?
Warner : (menepuk pundak Eva) Nyonya, anda tidak tahu bahwa Mary tengah hamil? Saya tidak bohong. Kami punya surat dari dokter sekolah yang telah memeriksanya.
Eva : (menangis, marah) Mary! Benarkah itu? Benarkah bahwa kamu kini hamil?
Mary : Iya, Mama.
Eva : (menuding Nicholas) Dan lelaki ini yang melakukannya?
Mary : (mengangguk)
Eva : (mencekal lengan Mary kuat-kuat, mengguncangnya) Ada apa denganmu? Sudah kuminta kamu belajar yang baik, sementara aku membiayaimu sepenuhnya, bekerja siang malam. Inikah balasanmu?
Lagi-lagi tepukan riuh dari penonton terdengar, terutama saat Ranu merangkul Ralin untuk melindunginya.
Nicholas : Nyonya, jangan sakiti dia!
Eva : Diam kau! (berpaling lagi pada Mary) Mulai saat ini kau bukan anakku lagi! Aku tak punya putri murahan seperti ini! Tak tahu berterima kasih pada orangtua! Jangan pernah datang ke rumahku lagi! Pergi saja dengan lelaki ini!
Mary : (berlutut di depan Eva) Mama… Mama… Tolong, Ma. Maafkan Mary. Semua karena kebodohan Mary. Mary mencintainya. Mary juga sayang pada Mama. Jangan usir Mary, Ma. Mary harus kemana?
Ralin benar-benar menangis sesenggukan, tak cukup terhanyut, agar suaranya tak berubah sengau. Selama beberapa saat ia menyaksikan empat temannya melanjutkan dialog sebelum bagiannya dimulai lagi. Ia lalu berdiri dengan limbung, berhadapan dengan Ranu.
Mary : Apa maumu? Menyuruhku membunuh anak ini? Anakmu?
Nicholas : Jika itu satu-satunya solusi…
Mary : Bajingan! (memukul-mukul dada Nicholas) Seharusnya aku tak pernah mengenalmu! Seharusnya aku tak pernah jatuh cinta padamu! Apa kau bahkan pernah mencintaiku? Apa aku hanya pemuas nafsumu saja? Pengecut!
Nicholas : (mencekal pergelangan tangan Mary) Aku belum siap menikah! Kaupun belum siap, Mary! Masa depan kita masih panjang!
Ranu membelalak padanya, wajahnya memerah. Cekalan di tangannya menyakitkan, membuat Ralin mengernyit kesakitan.
“Ralinnnnn….” Seruan panjang terdengar dari arah penonton, membuat Ralin ingin melempari mereka dengan sepatunya. Merusak konsentrasi banget!
Mary : (menangis melolong) Aku benci padamu! Sekalian saja bunuh aku! Aku menyesal pernah mencintaimu. Kau hanya bisa memberikan luka untukku. Sakit sekali, Nicholas. Sakit. (suara Mary berubah lirih) Luka ini terlalu nyata…
Nicholas : Aku mencintaimu! Tapi aku tak mungkin membawamu pergi bersamaku sekarang!
Mary : Apakah aku tak punya kesempatan? Satu kali saja? Kumohon… Aku harus kemana? Apa yang harus kulakukan, Nic? Apa?
Ralin mendongak memandang Ranu, memasang ekspresi kalah dan putus asa di wajahnya. Di benaknya berkelebatan wajah Yuga, seketika membuatnya dikuasai amarah. Jangan sekarang! Ralin berusaha mengenyahkan Yuga dari pikirannya. Sedikit lagi selesai dan ia tak boleh mengacaukannya. Ia memilih menyandarkan kepalanya di bahu Ranu, toh tak akan mengubah jalan cerita yang akan berakhir menggantung.
Suara Jenny membuatnya mengangkat wajah, mendengar dialog terakhir darinya. Ralin lalu mencengkeram bagian depan kemeja Ranu, menampilkan ekspresi terluka, sementara Ranu hanya menatapnya dingin.
Mary : Nic, Nic….tolong…
Nicholas : Aku tak bisa, Mary. Maafkan aku. (pergi meninggalkan ruangan)
Mary : (menangis menelungkup di lantai)
Ralin hendak menjatuhkan diri untuk menangis di lantai, namun Ranu masih diam di tempat, tak pergi sesuai adegan di naskah, masih memegangi Ralin. Ralin memberi kode dengan matanya. Ranu tiba-tiba merangkum wajah Ralin dalam kedua tangannya, dan detik berikutnya ia mengecup bibir Ralin.
Suasana di sekitar mereka mendadak meledak dalam jerit dan teriakan, lalu disusul suitan nyaring dan tepuk tangan. Ralin ingin mendorong Ranu menjauh, namun saat Ranu akhirnya melepas bibirnya, lelaki itu memeluknya erat. Dari atas bahunya Ralin bisa melihat tiga temannya bersusah payah menyembunyikan ekspresi kegirangan mereka demi adegan berikutnya yang sepertinya tak akan berjalan sesuai rencana semula. Ralin merasa luar biasa gugup, lemas, dan pelukan Ranu yang hangat membuatnya tak karuan. Baru pertama kalinya ia dipeluk seperti ini, apalagi dicium seperti tadi. Perutnya terasa mengejang aneh dan dengan susah payah ia menahan perasaannya. Ini hanya improvisasinya Ranu kan?
Ranu melepaskannya dan berjalan pergi. Ralin bimbang sedetik, lalu jatuh menelungkupkan diri di lantai, menangis tersedu meratapi nasibnya. Suara tepuk tangan keras dari Pak Nando menghentikan tangisnya. Guru teater itu berdiri dari kursinya dan bertepuk tangan, lalu menghampiri mereka berlima. Mereka melompat turun dari panggung dan mendekat pada Pak Nando. Ranu kembali merangkul Ralin, membuatnya membelalak.
“Apa sih lo?” tanya Ralin sambil mengusap pipinya yang basah. Ranu hanya tersenyum.
“Luar biasa! Terbaik dari semua yang sudah saya lihat! Dan kamu, Rastiti Lintang,” Pak Nando menepuk puncak kepala Ralin, “is the best! Aktingmu luar biasa! Tingkatkan lagi.” Mereka berlima menjerit senang dan berpelukan. “Naskahnya bagus, akting kalian berlima luar biasa bagus, dan improvisasi di akhir tadi meyakinkan sekali.” Ranu dan Ralin kontan terdiam dengan wajah merona merah.
“Maaf, Pak Nando. Tadi hanya… Eh… Refleks. Maksud saya, Ralin terlihat begitu….” Ranu terlihat salah tingkah, menuai seruan menggoda dari semua yang hadir di ruangan yang luas itu. Ralin menundukkan wajah, malu berat.
“No problem. Improvisasimu bagus. Sangat cocok.” Pak Nando bertepuk tangan lagi. “Luar biasa.”
Mereka lalu berbalik setelah mengucap terima kasih. Ranu menjejeri langkah Ralin dan menggenggam tangannya. Ralin mendongak memandangnya, ingin bertanya padanya apa yang terjadi pada lelaki itu. Namun matanya menangkap sosok yang berdiri diantara penonton, tengah memandangnya dingin. Ralin mengurungkan niat dan membuang muka.