"Jadi, siapa yang mau menjadi relawan untuk menemamiku ke Jepang akhir pekan ini?" Manager Kim menutup penjelasannya dengan pertanyaan.
Tak urung membuat para pegawainya membuka suara. Pegawai laknat memang, bukannya memperhatikan sang atasan, justru sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Kim Sohyun hanya bisa tersenyum ketika pandangan sang bos melintasi dirinya. Sebuah senyum prihatin yang ia tujukan untuk sang bos.
"Kim Sohyun, kau bersedia?"
Sohyun berjengit. Senyuman tadi bukan bermaksud persetujuan atas ajakan sang bos.
"Maaf, pak. Bukannya saya tidak mau, tapi saya pikir, banyak orang yang lebih pantas dari saya untuk ikut bapak dalam perjalanan bisnis kali ini," tolak Sohyun sehalus mungkin. Ya, dirinya bahkan tak berharap akan diajak menemani Seokjin ke perjalanan bisnisnya. Sadar diri dengan posisi, kemampuan, dan pasti levelnya. Hmm walaupun sejujurnya, Sohyun akan sangat suka jika di ajak berpegian. Ke Jepang apalagi, salah satu negara yang masuk wish list--yang ingin dikunjunginya.
"Kenapa? Kau hanya perlu menjadi asisten pribadiku. Lagi pula menurut resume, kemampuan bahasa jepangmu mumpuni. Itu lebih dari cukup," balas Seokjin.
"Tapi para senior lebih berhak." Sohyun masih menolak.
"Aku masih harus menuntaskan beberapa laporan untuk bahan audit." Kepala Jung berujar tanpa melepaskan pandangan dari layar komputer.
"Aku harus menyelesaikan remburs pegawai, terutama para eksekutif brengsek itu! Hah, sialan memang. Kalau niatnya memang ingin korup, yang pinter sedikitlah," umpat Jimin.
*remburs pegawai, penggantian uang oleh perusahaan ke pegawai yang telah menggunakan uang mereka terlebih dahulu selama kegiatan opersional perusahaan.
"Aku harus merevisi piutang usaha yang tidak sesuai dengan utang usaha musim dingin lalu." Giliran Eunha yang berkeluh kesah. Lalu menyalahkah departemen akuntansi yang memberikan catatan pengeluaran yang salah. Oh, sialan memang.
"Aku harus menyelesaikan cicilan bulanan dan surat sanggup bayar." Sowon mengangkat sebelah tangannya.
"Dan aku menyelesikan perhitungan akhir tahun." Lengkap sudah parade laporan itu diakhiri oleh Beomgyu.
Sementara Sohyun tak memiliki hal lain untuk dilaporkan. Selain karena pekerjaannya yang hanya menjadi pembantu sana-sini, pekerjaannya pun tak terlalu penting dan mendesak. Dia meringis menatap Seokjin.
"Sudah, di putuskan. Kim Sohyun, kau ikut denganku."
Sabtu dini hari, Sohyun sudah selesai berkemas. Hanya membawa tiga setel pakaian, 2 setelan resmi dan satu pakaian santai. Tak lupa beberapa peralatan mandi dan skin care serta make up. Perjalanan ke luar negeri pertamanya. Rasanya sama mendebarkannya dengan sebelum perjalanan karya wisata sekolahnya. Dia pun mondar-mandir di dalam kamar, berharap tak ada satupun barang yang terlewatkan.
Hari ini mereka akan bertolak ke Jepang, ke salah satu perusahaan online shop terbesar di sana- AKB Shooping. Kim Seokjin, dirinya, dan dua orang lagi yang Sohyun belum ketahui. Yang jelas sepertinya, salah satu eksekutif perusahaan, direktur keuangan mungkin atau yang lain. Kedatangan mereka kesana untuk melalukan tinjauan menyeluruh ke perusahaan tersebut sebelum melakukan investasi.
Sedikit penjelasan dari Seokjin, terkait kenapa harus tim mereka yang dipilih untuk mewakili perusahaan, karena tim yang lain tengah sibuk melakukan persiapan audit perusahaan yang akan dilakukan dua minggu lagi. BH Delivery sendiri telah santer dikabarkan sebagai salah satu contoh perusahaan terbaik-- dengan pembukuan yang bersih dan selalu taat membayar pajak. Maka dari itu, mereka mempersiapkan semuanya sebaik dan semaksimal mungkin.
"Oh! Kim Sohyun-ssi?" Seseorang menyapa Sohyun. Di mana dirinya tengah duduk di sebuah bangku di ruang tunggu terminal menuju keberangkatannya ke Jepang, bandara internasional Gosan.
"Wah, Jeon Somi-ssi!" Sohyun menjawab sapaan Somi.
Wanita berdarah blasteran itu langsung duduk di samping Sohyun. "Apa yang kau lakukan di sini? Tunggu! Apakah kau salah satu yang ditunjuk untuk berangkat ke Jepang?" Tebak Somi.
Sohyun mengangguk antusias. "Kau sendiri? Apa kau juga?"
Somi juga mengangguk antusias. Sejenak keduanya larut dalam perayaan. Saling menautkan kedua telapak tangan mereka sambil tertawa girang. Tentu saja, karena mereka akan bepergian dengan orang yang dikenal.
"Sebelumnya aku merasa gugup, kalau akan dapat rekan yang tak menyenangkan," tutur Somi. "Tapi saat mengetahui orang itu adalah kau, aku lega."
Sohyun mengecurutkan bibirnya. Senang sekaligus terharu. Baru kali ini merasa ada seseorang yang antusias hanya dengan kehadirannya. "Aku juga. Mohon bimbingannya ya, Jeon Somi-ssi."
"Hei, tidak peelu formal begitu. Ngomong-ngomong berapa umurmu?"
"Aku, dua puluh tiga. Kau?"
"Wah, kita sama. Jadi, bagaimana kalau kita berteman, Sohyun-a?"
"Ne. Somi-ssi. Eh, maksudku, Somi-a."
Mereka pun kembali mengobrol selama sepuluh menit ke depan. Sambil menunggu kedatangan dua rekan mereka yang lain.
"Ngomong-ngomong, siapa sponsormu?"
Sohyun menaikkan sebelah alisnya. Mulutnya masih dipenuhi hamburger yang mereka beli untuk mengisi perut karena tak sempat sarapan. Bagaimana sempat sarapan, kalau mereka saja berangkat dari rumah masing-masing sebelum jam empat. Padahal perjalanan Korea ke Jepang kan sebentar. Entahlah, mereka hanya menurut saja dengan perintah atasan.
"Sponsor?" Sohyun bertanya balik.
"Iya. Seseorang yang membawamu ke perusahaan," tanya Somi lebih detil.
"Aku tidak mengerti."
Somi berdecih sambil meletakkan humberger miliknya yang tinggal setengah di atas paha.
"Iya. Orang dalam yang membuatmu bisa masuk ke BH Delivery," jelas Somi. "Seperti keluarga, saudara, teman, atau kenalan. Yang merekomendasikanmu masuk ke BH dan akhirnya di terima."
Sohyun mengangkat bahunya. "Aku tidak punya. Bahkan kenalanku hanya tim operasional bisnis plus dirimu."
"Hah! Serius?" Somi hampir saja tersedak. "Lalu bagaimana kau bisa masuk ke sana?"
"Ya, mendaftar lalu melewati serangkaian tes yant sama denganmu. Sebelumnya memang ada orang yang memberitahu kalau perusahaan itu sedang membuka lowongan." Dan orang itu adalah sang sugar daddy, lanjut Sohyun dalam hati. "Aku berlatih mati-matian tahu, agar bisa bekerja di sana."
"Tidak mungkin," gumam Somi pelan. Namun masih terdengar oleh Sohyun.
"Tidak mungkin bagaimana? Kau meragukan kemampuanku." Sohyun merasa sedikit tersinggung.
Somi tertawa canggung. Lalu memeluk lengannya. "Hei. Aku tidak bermaksud begitu. Hanya saja aku merasa aneh... Bagaimana bisa kau masuk operasional bisnis tanpa bantuan orang dalam?"
"Loh, memangnya kenapa?"
"Kau tidak tahu? Departemen terketat yang menyaring pegawai baru di BH Delivery adalah sekertaris dan opersional bisnis. Mereka bahkan tak sembarangan memasukkan pegawai magang."
"Kenapa begitu? Lalu bagaimana kau bisa tahu?"
Bukannya departemen yang hebat itu strategi bisnis dan promosi?
"Ahh, rumit dan panjang ceritanya. Tentu tahu karena sponsorku adalah salah satu dari mereka."
"Hah? Mereka siapa?"
Belum sempat Somi memberi jawaban, wanita yang ternyata blasteran Amerika-Korea itu telah menarik Sohyun agar berdiri. Lalu menyapa kedatangan dua orang pria yang membuat mulut Sohyun terbuka lebar.
"Annyeong haseyo, Huijang-nim. Annyeong haseyo Bujang-nim." Somi membungkuk di ikuti Sohyun yang masih terkejut. Jadi dia akan bepergian dengan Kim Seokjin dan CEO Min?
Gosh! Bagaimana ini?
Kim Sohyun tak bisa berhenti melongo ketika dihadapkan pada kekayaan milik sang CEO. Setelah kedatangan dua pria yang ternyata bersahabat baik itu, mereka langsung menuju pesawat yang akan membawa mereka ke Jepang. Dimulai dengan menaiki sebuah shuttle menuju ke Apron, rahang Sohyun langsung jatuh rasanya ketika mengetahui bahwa pesawat yang mereka naiki bukanlah pesawat biasa. Melainkan jet dari BH AIR, sebuah maskapai penerbangan yang masih milik BH Group. Yang ternyata juga merupakan jet pribadi milik sang CEO.
100 persen daebak!!!
Batin Sohyun terhenyak. Mimpi apa dirinya sampai bisa menikmati jet mewah yang bahkan tak ia ketahui jenis maupun harganya. Yang pasti, sangat mahal dan tak pernah ia impikan. Padahal tadi malam dia berpikir, mungkin akan menaiki pesawat biasa-- kelas ekonomi, atau paling banter mungkin kelas bisnis. Tapi sekarsng ini dia berada di dalam jet pribadi, men... Dengan fasilitas berkelas dan mewah yang membuat Sohyun tak berhenti bergumam takjub.
Kampungan memang.
Namun pemikiran Sohyun tentang jet itu berhenti kala melihat teman barunya-- Jeon Somi dan sang manajer, tengah bercumbu mesra di ruang santai. Di sebuah sofa mewah yang terletak di ujung kabin.
Jadi ini yang tadi Somi maksud... Mengenai sponsorship yang diterimanya. Ternyata, pria itu Kim Seokjin-- manajer yang Sohyun hormati karena wibawa dan kerja kerasanya memimpin tim. Setahunya, pria itu sudah menikah dengan seorang dokter dan dikarunia seorang anak. Tapi ternyata di belakang, kelakuannya seperti ini.
Sohyun sendiri bukannya tidak tahu sama sekali tentang sponsorship. Yaitu sebuah praktik sokongan berupa dana, kekuasaan, dan hal lainnya oleh seorang sponsor yang diberikan secara pribadi kepada orang lain dan akan ditukar dengan tawaran hubungan baik fisik maupun romansa.
Ya seperti Somi contohnya. Dia bisa masuk jadi karyawan magang di bagian sekertaris--yang katanya tak mempekerjakan sembarang orang. Pasti atas sokongan dari Seokjin. Dan keduanya pun menjalin hubungan rahasia di balik semua itu.
Dia jadi ingat pertanyaan Somi. Apakah dirinya lolos menjadi karyawan karena usaha kerasnya atau karena ada seseorang yang menyokongnya? Lalu kalau memang ada orang yang menyokong, maka siapa? Seperti yant tadi dikatakannya pada Somi, dia tak punya satupu kenalan sebelum masuk ke perusaan itu. Sial! Bagaimana kalau nanti akan ada orang yang tiba-tiba mengaku menjadi sponsornya, lalu menuntut haknya?
Oh, my goshhh!!!
CEO Min berdehem. Membuat pandangan Sohyun kembali pada secangkir teh yang berada di hadapannya. Menyadarkan dirinya bahwa saat ini sedang berada di hadapan pria yang tengah membaca koran itu.
Keduanya duduk di sebuah single sofa yang dipisahkan meja persegi panjang yang tengah-tengahnya dihiasi dengan sebuah vas lengkap dengan lima tangkai mawar putih.
Dan keadaan pun semakin canggung setelah Seokjin dan Somi berpamitan. Katanya mau istirahat di tempat lain. Sohyun tidak bisa untuk tidak berpikir, jika keduanya akan berakhir di sebuah kamar dan berhubungan intim.
Oh, sialan memang mereka! Meninggalkan dirinya dan sang CEO yang sejak tadi memasang sikap dan wajah dingin.
Sohyun kan jadi bingung, harus bagaimana.
Menghela napasnya pelan. Sohyun tak punya kegiatan lain, selain memandang wajah sang CEO yang tengah serius membaca koran yang sepenuhnya berbahasa jepang itu. Sesekali ikut membaca berita yang dapat dijangkaunya.
Dan kalau diperhatikan lebih detil lagi, CEO nya itu memang tampan ya. Terlebih saat ini ditambah kaca mata minus yang bertengger di hidung mancungnya. Kerennya! Benar-benar terlihat seperti seorang jenius.
"Apa aku sangat tampan?" Pertanyaan sang CEO membuat Sohyun terperanjat. Membuang muka lalu mengipasi wajahnya yang memanas.
"Kau memandangku lagi setelah menghindariku selama berhari-hari."
"Ohh--itu." Sohyun tergugu. Tak bisa menyangkal juga menjawab. Bagaimana dia tidak menghindari pertemuan dengan sang CEO setelah kejadian malam itu. Mau ditaruh mana mukanya.
Sohyun kalah telak. "Maafkan saya, Huijang-nim." Ujung-ujungnya hanya kata itu bisa dilontarkannya.
"Aku tidak yakin kau benar-benar menyesal."
"Animnida (tidak)," potong Sohyun cepat. "Saya benar-benar menyesal, tuan."
"Benarkah?"
Smirk di bibir pria itu membuat bulu kudu Sohyun meremang. Entahlah, firasatnya mengatakan hal buruk.
"Aku akan memutuskan memberi maaf atau tidak setelah memberimu sangsi."
"Ne?"