"Hah hah hah hah…"
"Huft..Huft…"
Baik Andre maupun Nayla kehabisan napas.
Seorang satpam yang menjaga gerbang sekolah menoleh dan melirik Nayla yang berdiri di sampingnya. Wajah Nayla terlihat merah dan hidungnya basah oleh keringat. Napasnya pun terengah-engah.
Sementara itu satpam lain dari dari ruang penerima tamu di dekat gerbang sekolah melihat ke arah Andre dan Nayla yang berdiri di dekat pintu. Saat melihat mereka yang kelelahan dan terengah-engah setelah berlari, dia segera mengingatkan mereka.: "Hei, cepat pergi ke kelas kalian, atau kalian akan dimarahi oleh guru kalian nanti."
Andre menoleh ke arah satpam tersebut sambil berdiri menegakkan tubuh dan berteriak, "Aku tahu!" Kemudian dia meraih tangan Nayla dan berjalan ke bagian dalam sekolah.
Nayla membiarkan tangan kecilnya digandeng oleh Andre dan berjalan cepat di sampingnya. Dia membuka matanya lebar-lebar dan melihat segala sesuatu di sekitarnya dengan rasa ingin tahu.
Karena tadi malam kota Surabaya terguyur oleh hujan yang lebat, gedung-gedung di kompleks sekolah Andre dan pepohonan pinus yang rimbun terlihat agak lembar. Pemandangan itu terlihat agak kontras dengan langit yang biru dan kumpulan awan putih di atas. Pemandangan itu terlihat seperti pemandangan dalam dunia dongeng yang sangat indah.
Udara pagi hari terasa dingin dan bercampur dengan bau rumput serta hujan sebelum masuk ke hidung Nayla.
Gedung-gedung sekolah yang ada di sekitarnya tertata dengan rapi, dan Nayla bisa mendengar berbagai macam suara orang-orang yang melakukan aktivitasnya dari dalam. Di langit biru, awan-awan putih perlahan-lahan melayang ke kejauhan.
Nayla melihat semua hal ini dengan rasa iri. Kemudian dia mengulurkan tangannya dan menarik pakaian Andre sambil bertanya dengan suara rendah, "Kakak, apakah Kakak pergi ke sekolah ini setiap hari?"
"Hah?" Andre menoleh ke arah Nayla yang sedang menatap ke langit sambil berjalan cepat di sampingnya. Kemudian dia mengerutkan bibirnya dan menjawab, "Ya, begitulah. Bagiku tempat ini sangat membosankan."
Setelah mendengarkan jawaban Andre, Nayla mengedipkan matanya, tetapi dia hanya terdiam.
Andre menghela napas dan berkata, "Hei, lupakan saja. Ayo kita pergi ke kantor guru dulu."
Hm?
Kantor guru?
Apa itu?
Mata Nayla dipenuhi dengan keraguan dan kebingungan.
Setelah tiba di pintu kantor guru, Andre mengintip ke dalam melalui jendela kaca dengan hati-hati dan memastikan bahwa Pak Hasan dia cari ada di dalam. Kemudian dia berbalik, membungkuk dan berkata kepada Nayla: "Kau tunggu di sini dulu, ya. Aku akan masuk dan berbicara terlebih dahulu dengan guru kelasku. Nanti aku akan memanggilmu, dan pada saat itu baru kau boleh masuk. Oke?"
"Oke!" Nayla mengangguk dengan patuh setelah mendengar perintah Andre.
Andre menegakkan tubuhnya dan mengulurkan tangannya ke gagang pintu kantor guru. Tapi di tengah jalan dia berhenti dan menoleh kembali ke arah Nayla sambil berkata kepadanya dengan khawatir. "Ingat, tunggu aku dan berdiri di sini dengan patuh. Jangan pergi ke mana-mana, oke?"
"Baik," Jawab Nayla sambil mengangguk.
"Ssst." Andre buru-buru memberikan isyarat diam ke arahnya, lalu melihat sekeliling dengan gugup. Saat melihat bahwa tidak ada seorang pun di koridor, dia menghela napas dengan lega dan memasuki kantor guru.
Nayla melihatnya masuk sambil berdiri diam dengan patuh sesuai instruksi Andre.
"Permisi!" Setelah Andre memasuki kantor guru, dia berseru ke arah guru sekaligus wali kelasnya, Pak Hasan.
Setelah mendengar suara Andre, Pak Hasan yang sedang mengoreksi pekerjaan rumah murid-muridnya pun mengangkat kepala dan menatap Andre. Lalu dia meletakkan pena merah di tangannya dan mengangguk ke arah Andre. "Ah, Andre. Akhirnya kau datang juga. Kemarilah."
Andre dengan patuh berjalan ke meja Pak Hasan dan berdiri di depannya.
Setelah menatap Andre selama beberapa saat, Pak Hasan melirik ke belakangnya.
Setelah melihat bahwa tidak ada orang lain di belakang Andre, Pak Hasan menaikkan alisnya dengan heran dan bertanya, "Ketika sekolah selesai kemarin, bukannya kau bilang bahwa orang tuamu akan datang hari ini? Lalu dimana dia?"
Andre memandang Pak Hasan dengan ekspresi malu. Dia menggaruk kepalanya sambil berkata dengan canggung. "Itu...Maaf, Pak, Tapi Ibu saya... sedang dalam perjalanan bisnis."
"Tapi lau mengatakan hal yang sama terakhir kali." Pak Hasan mengulurkan tangannya dan mendorong kacamata di pangkal hidungnya ke atas sembari dan berkata dengan tajam.
"Tapi Ibu saya memang sering bepergian karena pekerjaannya." Andre menatap Pak Hasan dengan mata polos dan melanjutkan ucapannya. "Apakah dia tidak memberitahu Anda saat terakhir kali dia datang ke sekolah?"
"Tapi saat aku bertanya kemarin, kau bilang ibumu tidak sedang dalam perjalanan bisnis dalam beberapa hari terakhir ini."
"Yah, sebenarnya Ibu saya sendiri mendapat panggilan mendadak dari atasannya dan baru saja pergi ke perjalanan bisnis lain tadi malam..." Jawab Andre dengan ragu.
Pak Hasan memandangnya dengan penuh arti dan berkata, "Aku tidak tahu apakah aku harus memercayaimu atau tidak."
Andre terdiam sejenak saat mendengar tanggapan Pak Hasan. Dia menarik napas dalam-dalam dan bersumpah kepada Pak Hasan.
"Tapi Ibu saya benar-benar dalam perjalanan bisnis, Pak. Anda bisa menghubungi dia secara langsung jika Anda tidak percaya pada saya!"
Tapi Pak Hasan hanya melambaikan tangannya dan berkata: "Sudahlah. Aku tidak perlu meneleponnya karena aku tidak peduli.. Bahkan jika ibumu benar-benar berhalangan datang untuk hari ini, kau tetap harus membawa seorang wali murid untuk menemuiku. Selain ibumu, tidak adakah yang mau mengambil tugas itu dari keluargamu?"
"Maaf, Pak Hasan. Tapi saya rasa Anda sendiri tahu bagaimana situasi di keluarga saya ..." Andre melengkungkan bibirnya dan berkata dengan kaku.
"Itu..." Pak Hasan tidak tahu harus berkata apa setelah mendengar ucapan Andre.
Memang, Pak hasan tahu tentang kondisi keluarga Andre. Ibunya merupakan seorang orang tua tunggal yang sibuk bekerja demi menghidupi mereka, sementara ayah kandung Andre tidak diketahui keberadaannya. Di sisi lain, semua kerabat dalam keluarga Andre berada di provinsi lain. Dan Ngomong-ngomong, ibunya membesarkan Andre sendirian selama bertahun-tahun, dan itu sangatlah sulit baginya.
Saat Andre melihat bahwa Pak Hasan telah berhenti berbicara, dia tiba-tiba berkata, "Tetapi... seorang kerabat datang ke rumah saya kemarin."
"Hah? Lalu?" Pak Hasan mengangkat kepalanya dan kembali menatap Andre.
"Dia adalah kerabat yang memiliki hubungan darah dengan saya, dan dia akan selalu tinggal di rumah kami mulai kemarin. Jadi jika Andre tidak keberatan, saya akan memanggilnya sekarang?" Andre menatap Pak Hasan dengan penuh harap. Kata.
"Kerabatmu?" Pak Hasan menatapnya dengan curiga.
"Ya, anggota keluarga dekat." Andre mengangguk dengan tenang.
"Bisakah dia membuatmu patuh?"
"Ya! Ibu saya meminta saya untuk menjaganya dan mengutamakan dia dalam segala hal."
"..."
Pak Hasan mengerutkan kening dan berpikir sejenak. Pada akhirnya dia menghela nafas dan berkata, "Baiklah, panggil saja dia. Aku tidak keberatan selama dia bisa membuatmu patuh."
"Oke!" Andre buru-buru mengangguk dan berkata, "Saya telah memintanya untuk menemani saya ke sekolah hari ini, dan dia sedang berdiri di luar kantor ini sekarang. Saya akan memanggilnya untuk masuk sekarang."
"Pergilah." Pak Hasan mengangguk dan melepaskan kacamatanya. Kemudian dia mengambil kain kacamata yang ditempatkan di sudut kanan atas meja, dan menyeka kacamatanya.
Mata Andre berkilat dan dia berbalik dengan cepat sebelum berjalan keluar pintu kantor.
Di luar kantor, Andre segera menggandeng tangan kecil Nayla yang dari tadi berdiri diam di luar kantor.
Saat mendengar langkah kaki, Pak Hasan meletakkan kain kacamata di tangannya dan kembali memakai kacamatanya. Kemudian dia kembali memandang Andre.
Dan Pak Hasan benar-benar tercengang saat melihat ke depan.
Dia bisa melihat bahwa kerabat yang dibawa oleh Andre adalah seorang anak perempuan yang sedang memegang boneka perempuan. Tingginya hanya mencapai dada Andre, dan mata bulatnya yang besar menatap Pak Hasan dengan waspada sekaligus penasaran.