Keesokan harinya.
"Chi, gue sama Rose berangkat pagi ya, soalnya kebagian laporan ke sekolah!" Chi mengangguk sambil mengaduk teh manis yang dia buat.
"Nah, ini surat buat di serahin ke kantor. Kalau misalnya kita telat, lu harus bisa gantiin tugas kita ya!" Pinta suzu setengah memaksa pada chi. Untung chi anak penurut. Dia mengangguk saja menerima selembar form dari temannya.
"Oiya, sekalian jurnal juga isi ya chi!" Rose ikut ikutan.
"Kenapa sih kalian harus meninggalkan aku sendiri?" Chi sedikit kecewa karena baru hari kedua magang, teman temannya kompak izin karena harus mengambil beberapa berkas di sekolah
"Soalnya kalau kita berangkat semua, takutnya ga ada yang bantuin di kantor. Tau kan kita cuma Helper. Kalau ada ya ga di butuh butuhin amat, tapi kalau ga ada ya di cariin" jelas suzu membuat chi terpaksa harus mengalah.
"Untung cuma setengah hari.." rose mencoba menghibur chi.
"Tapi kalian bakal pulang ke kosan kan?" Wajah chi jelas meminta kepastian, dia tak mau sendiri di kosan nanti malam. Apalagi besok hari libur.
"Iyalah sayang, paling agak telat sedikit" ujar suzu dengan wajah cengengesan.
"Pokoknya ga mau tahu, kalian harus pulang ke sini!" Tegas chi dengan wajah cemberut.
"Iya, kita pasti pulang ke kosan!" Janji rose mengangkat kedua jarinya membentuk huruf V.
"Serius!!" Suzuki juga ikut berjanji, mencoba meyakinkan chi.
"Oke kalau begitu!" Pasrah chi kemudian menyerahkan dua gelas teh manis pada kedua teman temannya.
Hari ini untuk pertama kalinya chi di tinggal sendiri. memang kamar kos ini terasa nyaman seperti villa, hanya saja kalau harus tinggal sendiri secepat ini, pasti chi akan merasa sepi dan terasing.
"Yaudah, gue sama rose duluan ya!" Suzu melambaikan tangan pada chi, dengan berat hati remaja itu membalas lambaian tangan sahabatnya.
Masih untung kamar mereka terpisah dari kawanan bebas di depan sana, kalau tidak, seharian chi akan mengurung diri di kamar, dia mana berani bergabung dengan orang asing, apalagi lawan jenis. Itu sama saja dia uji nyali.
---
Gedung paviliun yang dibuat dua kamar menjadi satu dengan penyekat kayu. Kalau kemarin paviliun ini terasa sunyi dan tenang. Tapi kali ini.
Chi mematikan shower kamar mandi. Dia tidak sedang bernyanyi atau mendengarkan musik. Lalu dari mana suara barusan. Chi menajamkan telinganya, menyimak dengan seksama.
Suara musik klasik dengan nada rendah terdengar lagi. Membuat chi menautkan alis tak percaya. Dia juga sedikit takut. Tapi nada nada itu tak asing di telinganya. Dia pernah mendengar, tapi dimana?
Chi menyudahi ritual mandinya, gadis remaja itu meraih kemeja dan rok span berwarna hitam, dia menatap diri di bayangan cermin meja hias. Memulas bedak tipis dan lip ball serta mengecap perlahan bibirnya.
Jika tadi suara pelan seperti senandung kali ini chi bisa mendengar suara denting, seperti gelas dan piring yang beradu. Dia mendengarkan lagi dengan seksama. Saking seriusnya dia menyimak, gadis itu menjatuhkan sisir dari genggamannya.
Pak!!
Chi, tersadar. Dia segera menunduk dan meraih sisirnya. Apa hanya perasaannya saja? Sepertinya dia tak sendiri saat ini. Seperti ada orang lain yang sedang bersama dengannya.
Chi meraih jurnal kerja dan memasukkannya ke dalam Tote bag kanvas, gadis itu segera menggantungkan tas berwarna broken white ke pundaknya, dia segera membuka handle pintu dan meraih sepasang pantofel. Baru saja dia hendak menjatuhkan sepatu pantofelnya, gadis itu terkejut dengan seseorang lagi yang berbarengan membuka pintu dan keluar, bersamaan dengan dirinya. Mereka sinkron sekali.
Chi menoleh dan mendapati wajah pria kemaren, si tampan yang tenang itu.
Begitupun dengan pria yang sedikit terkejut mendapati gadis remaja berada di sebelah ruangannya. Dia tertegun sesaat. Keduanya saling menatap dan jelas terlihat canggung.
Jadi pria ini asal suara tadi? Batin chi tak percaya dan ingin tertawa. Dia sempat khawatir ada penghuni lain tak kasat mata di paviliun ini. Tapi pria ini, bukankah itu kejutan yang tidak buruk?
"Ah, ha, hallo.." ujarnya menyapa kikuk. Chi menggaris senyuman tipis membalas sapaan tetangganya.
"Ah, apa kau penghuni baru kamar ini?" Tanyanya kini dengan sedikit senyuman di sudut bibir. Kau tahu, saat kau tersenyum seperti itu, wajahmu terlihat dua kali lipat lebih tampan.
"I, iya. Aku tinggal bersama dua temanku yang lain" ujar chi dengan wajah merona. Dia tak pernah sesantai ini berbicara dengan lawan jenis. Tapi pria di depannya ini selain tampan juga terlihat ramah dan menyenangkan.
"Kenalkan namaku, Marco, siapa namamu?" Chi menatap uluran tangan Marco, dia masih sungkan meraih tangan itu. Chi tak biasa berinteraksi dengan pria.
"Ah maaf, tanganku sedikit kotor, tadi aku makan dengan tangan" ujarnya melihat telapak tangan dan menarik kembali.
"Ti, tidak apa. A, aku Chi!" Seru chi dengan suara terdengar aneh, sepertinya pria itu menyadari jika chi jelas canggung berbicara dengannya.
"Mm.. Marco.." suara Chi yang menyebut nama Marco terdengar lirih. "Maaf aku bertanya seperti ini, apa kita pernah bertemu?" Tanya Chi dengan tatapan wajah polos. Marco berpikir sejenak lalu tanpa ragu menyunggingkan senyuman manis.
"Apa wajahku terlihat pasaran?" Tanya Marco menunjuk wajahnya, Chi menggeleng cepat. Bukan begitu maksudnya.
"Ah, mungkin aku salah orang.." ujar Chi seakan meralat sendiri kalimatnya. Marco tersenyum tipis.
"Kau akan berangkat kerja atau?"
"Ah ya ampun!" Chi menepuk dahinya, dia segera melirik jam tangan. "Aku harus berangkat, kalau tidak aku akan terlambat!" Ujar Chi panik. Dia melangkah menuruni dua anak tangga dan lupa memberi salam perpisahan pada Marco.
"Baiklah, hati hati di jalan Chi.." ujar Marco seperti bergumam. Dia menahan tawa kecil melihat tingkah Chi yang lucu.
"Kau tumbuh dengan baik dan menjadi gadis yang sangat cantik.." Marco masih saja bergumam padahal Chi sudah menghilang di balik pagar tinggi gedung kosan. Pria itu terlihat berpikir dan melamun.
"Aku sudah lama merindukanmu. Tak ku sangka kita bertemu di sini.." Marco mengucapkan kalimat itu sambil menahan tawa getir. Ada sesuatu yang dia simpan dalam pikirannya.
"Aku berharap kita tak akan pernah berpisah lagi. Setelah hari itu.." tatapan mata Marco terlihat mengambang, seperti hal yang sangat penting membayang dalam ingatannya.
Chi yang dia ingat dalam kepalanya, bagi Marco, chi tetaplah sama selain pertumbuhannya yang baik. Pria itu menyimpan ingatan yang indah tentang Chi, entah apa. Bahkan Chi sendiri tak bisa mengingat jelas. Yang pasti takdir sedang bermain bersama mereka.
Marco menatap sekeliling paviliun, dia mengedarkan pandangan dan melipat tangan di dada. Senyumannya getir dan terasa aneh. Pria itu mengangguk perlahan dan menyukai tetangga barunya.
"Tak sia sia kau mengirimku ke sini, aku menemukan masa laluku disini.." gumamnya menyembunyikan senyuman indah.
"Chi, kita bertemu kembali.."