Setelah kejadian dimana seorang gadis dipermalukan dihadapan orang banyak, kini ia kembali menuju kampusnya karena ada sebuah tugas bersama teman-teman sekelompoknya.
Tadi gadis itu sempat mendapat beberapa nasehat lagi dari Sahabatnya sendiri, bahwa ia tidak boleh lagi melakukan hal yang akan mempermalukan atau membahayakan dirinya sendiri.
Shil tersenyum sembari berjalan menuju fakultasnya, seolah kejadian itu tidak pernah ada dalam hidupnya. Benar, secepat itu ia melupakannya sehingga kini dirinya bisa setenang mungkin seolah tidak terjadi apapun.
Hal itu membuat para temannya menatap heran kepada gadis itu, padahal mereka tadi sempat melihat semuanya dan bagaimana Shil yang menangis dengan rasa malunya.
Kedua alis dari gadis itu terangkat, ia menatap teman-temannya yang memandangnya dengan iba.
"Kalian kenapa?" tanya Shil.
Mereka menghela nafasnya, kemudian memeluk gadis itu sembari menepuk-nepuk punggung Shil bermaksud untuk menguatkan.
"Sabar ya, Shil. Gue tahu kok, pasti lo sakit hati banget kan," ujar salah satu teman kelompoknya.
Shil tersenyum, akhirnya ia menyadari satu hal bahwa ternyata teman-temannya mengasihaninya karena kejadian beberapa waktu lalu.
"Aku gak apa-apa kok, kalian gak usah liatin aku kaya gitu," ujar Shil meyakinkan mereka.
Teman-temannya yang melihat itu benar-benar terkagum dengan kelembutan yang dimiliki oleh gadis dihadapannya ini. Shil bahkan masih mempertahankan senyumannya dihadapan mereka.
"Ayo kita ngerjain tugas," lanjutnya lagi yang langsung diangguki oleh teman-temannya itu.
Butuh waktu berjam-jam untuk mengerjakan, kini Shil sudah selesai dengan tugas-tugasnya. Mereka saling memandang dan melemparkan sebuah senyuman yang melegakan satu sama lain.
"Huh, akhirnya beres juga ya," ujar salah satu teman gadis itu.
"Iya, bener. Eh, guys, gue pulang duluan ya, udah dijemput, bye!" pamit salah satu temannya yang lain. "Shil, gue duluan ya, dah."
Shil tersenyum, berkata, "Iya, hati-hati ya Ra," ujarnya kepada temannya itu.
Sekarang tinggal tersisa gadis itu dengan kedua teman kelompoknya, mereka masih memperhatikan Shil yang kini sedang membereskan buku-buku catatan milik dirinya sendiri.
"Shil," panggil salah satu temannya. Merasa disebut namanya, gadis itu pun menoleh dengan senyum yang masih mengembang.
"Iya, kenapa?" tanya Shil yang saat ini tengah membalas tatapan dari temannya yang baru saja memanggilnya itu.
"Lo beneran gak apa-apa?" tanya temannya itu sekali lagi untuk memastikan.
Shil terkekeh, berkata, "Iya, aku gak apa-apa kok. Kalian kalau mau pulang duluan aja, aku bisa naik Taxi, tenang aja," jawabnya meyakinkan.
Sebenarnya temannya itu khawatir sekaligus kurang merasa nyaman jika meninggalkan gadis itu seorang diri. Terlebih kampus ini sudah sangat sepi dan hanya ada beberapa mahasiswa yang berlalu lalang.
"Kenapa gak mau bareng sama kita aja sih, Shil?" tanyanya lagi.
Shil tidak berniat menjawabnya kembali, ia hanya memberikan senyumannya dan kembali melanjutkan memasukkan peralatannya kedalam tas.
Melihat diamnya dari gadis itu sebagai pertanda bahwa ia tidak ingin ikut bersama dengannya, mengetahui hal itu akhirnya temannya itu pun menghela nafasnya.
Mereka berdua berdiri dan masih menatap kearah Shil yang kini telah selesai membereskan barang-barangnya. Salah satu dari mereka yang baru saja menawari tumpangan pun kembali berkata, "Shil, gue pulang duluan ya. Lo langsung ke Rumah, jangan kemana-mana lagi ya, gue bisa diamuk Lenna kalau lo belum sampe Rumah jam segini."
Gadis itu terkekeh mendengar penuturan dari temannya itu, "Iya, tenang aja," jawabnya yang langsung diangguki seorang perempuan yang baru saja berbicara itu.
Kemudian mereka pun akhirnya berpisah didepan pintu ruang kelas, Shil melambaikan tangannya kepada kedua temannya yang sudah berlalu pergi.
Shil tersenyum, kemudian menghela nafas lega. Ia melihat sekitarnya yang ternyata sudah sepi, dan entah kenapa hatinya tergerak menuju kantin kampus. Segera dirinya melangkahkan kakinya menuju kesana denga perut yang sepertinya meminta untuk diisi.
Ketika sedang berjalan getaran pada saku celananya membuat langkah gadis itu terhenti. Shil langsung mengambil ponselnya itu dan ternyata sebuah panggilan dari Sahabarnya yang membuatnya langsung menggelengkan kepalanya.
"Halo," panggil Shil dengan suara lembutnya.
"Lo dimana? Udah kerja kelompoknya? Sekarang udah sore banget, jangan kemana-mana ya, langsung pulang. Tadi gue udah telpon temen lo, tapi dia bilang lo masih di kampus. Shil, lo denger gue gak sih. kok lo diem aja?"
Gadis itu menggelengkan kepalanya, kemudian berkata, "Ya ampun, Lele. Kamu bahkan gak berhenti ngomong, gimana aku mau jawab," ujarnya.
"Iya deh, lo cepet pulang pokoknya," ujar Lenna mengingatkan.
"Iya, Lele." Shil memberengut kesal saat ini, suah biasa mendengar celotehan Sahabatnya yang mampu membuat siapa saja akan menyangkanya jika yang sedang menelponnya saat ini adalah Mamanya.
"Ya udah kalau gitu, bye," ujar Lenna dan panggilan pun berakhir.
Setelah itu Shil menatap layar ponselnya sesaat, kemudian memasukkannya kembali kedalam saku celananya.
Gadis itu kembali melangkahkan kakinya menuju kantin, setelah tadi sempat tertunda karena Lenna yang tiba-tiba saja menghubunginya perihal ia yang belum kembali pulang.
Ketika hendak mencari tempat duduk yang nyaman, kedua manik matanya menangkap sesosok laki-laki yang saat ini tengah menyendiri. Kedua sudut bibirnya tiba-tiba tertarik keatas ketika melihat seseorang yang begitu dikenalinya itu.
"Itu kan kakak ganteng," ujarnya dengan senyum yang begitu mengembang. Tetapi itu tidak berangsur lama dan tergantikan oleh kening yang berkerut samar.
Raut wajahnya langsung berubah, entah kenapa ia ingin marah karena ternyata seseorang yang begitu dipujanya itu menghisap sebatang rokok.
Gadis itu melihatnya, tetapi ada sesuatu yang berbeda ketika melihat laki-laki itu. Seperti ada beban yang tidak bisa diungkapkan olehnya, tanpa sadar Shil meraba dadanya yang berdenyut nyeri, entahlah, rasanya begitu menyesakkan ketika melihat orang yang begitu dicintainya terluka seperti itu.
"Kamu terluka," gumamnya. Ketika hendak menghampiri laki-laki itu, tiba-tiba perkataan Sahabatnya membuat Shil menjadi mengurungkan niatnya, gadis itu tidak bisa membantah nasehat dari Lenna.
Mengetahui itu Shil hanya bisa memandangnya dari kejauhan, ia memperhatikannya dengan perasaan yang membuat dadanya terasa sakit saat ini. Entahlah, sepertinya dirinya tidak bisa barang sebentar saja mengalihkan pandangannya kearah lain.
Shil memutuskan untuk mengambil tempat duduk yang sedikit jauh dari laki-laki itu, ia hanya ingin memperhatikannya tanpa ada yang menyadari kehadiran dirinya.
Sungguh, gadis itu benar-benar penasaran apa yang membuat laki-laki seperti seseorang yang dicintainya itu bisa serapuh itu.
Baru kali ini ia melihat sisi lain dari seorang Yashelino Albert. Sesosok laki-laki tampan yang mendapat julukan Pangeran kampus, dan Shil adalah orang yang paling beruntung karena bisa melihat sosok yang tak bisa orang lain lihat.
Tidak lama setelah itu ia melihat tiga orang laki-laki yang sepertinya merupakan teman dari seseorang yang dirinya puja itu. Shil menyunggingkan sedikit senyumnya, setidaknya ia bisa sedikit merasa lega karena akhirnya ada mereka yang menemaninya.