webnovel

Ark:Teror Kastil Setan Bgagian 7

Kai sudah semakin gelisah saja, Begitu pula halnya dengan Renjun. Sudah sejam mereka menunggu dalam Rolls-Royce, menunggu Doyoung dan Jisung kembali. Tapi selama itu keduanya masih belum kelihatan juga, Setiap lima menit, Renjun meloncat keluar dari mobil, lalu menatap ke arah ngarai, Dan setiap sepuluh menit Kai ikut keluar dan mengamat-amati ngarai, Rasanya seperti menatap tenggorokkan naga raksasa,

"Renjun," kata Kai pada akhirnya, "saya rasa lebih baik saya menyusul mereka saja sekarang."

"Tapi hyung kan tidak boleh meninggalkan mobil," kata Renjun mengingatkan, "Hyung harus selalu berada di dekatnya."

"Keselamatan Doyoung dan Jisung lebih penting daripada mobil" jawab Kai. "Saya akan mencari mereka sekarang."

Dia keluar dari mobil, lalu membuka tempat bagasi di belakang. Dia mengambil sebuah lampu darurat yang besar dari situ. Sementara itu Renjun sudah ada di sampingnya.

-"Aku ikut, hyung," kata Renjun, "Mereka sahabatku,

"Baiklah, kalau begitu kita pergi bersama-sama." Kai masih mengambil pula sebuah palu besar untuk senjata apabila diperlukan.

Setelah itu mereka masuk ke ngarai, Karena kakinya yang belum pulih sama sekali, Renjun agak kewalahan mengikuti langkah supir yang jangkung itu. Tapi pada bagian-bagian yang sangat berbatu-batu, Kai besar sekali gunanya. Renjun setengah dijunjungnya untuk melewati tempat-tempat sulit itu. Tidak lama kemudian mereka sudah sampai di Kastil Setan

Dengan segera mereka melihat bahwa tombol pintu depan sudah tidak ada lagi, dan pintu itu tidak bisa dibuka dari luar, Kai kemudian melihat tombol itu tergeletak di atas ubin "Rupanya mereka tadi tidak masuk lewat pintu," katanya, "Kita harus mencari jalan masuk lainnya."

Mereka mondar-mandir di depan Kastil, sambil menyorot lampu ke jendela-jendela. Tiba-tiba Renjun melihat tanda tanya besar yang dibuat dengan kapur putih, pada pintu angin yang ternganga sedikit.

"Rupanya mereka masuk lewat sini serunya. Dijelaskannya pada Kai tentang tanda sandi Neo Culture Detektif. Pintu angin itu dibuka, lalu mereka masuk ke dalam. Sesampai di dalam, Kai menyorotkan lampu berkeliling. Nampak bahwa saat itu mereka berada dalam kamar makan.

"Entah ke mana mereka dari sini," kata Kai gelisah. "Saya lihat ada beberapa pintu, tapi tak ada yang dibubuhi tanda."

Saat itu Bob melihat cermin yang besar. Pada bagian tengahnya nampak sebuah tanda tanya.

"Masa mereka masuk ke dalam cermin," kata Kai, "Tapi walau begitu, kita periksa sajalah!"

Sambil berkata begitu, dipegangnya bingkai cermin, ia melongo, ketika cermin itu langsung bergerak ke belakang, seperti pintu. Renjun tidak kalah heran. Ternyata di balik cermin itu ada sebuah lorong sempit.

"Pintu rahasia!" kata Kai. "Rupanya 'mereka masuk ke sini. Kita harus mengikuti mereka."

Renjun tahu pasti, kalau seorang diri dia takkan berani masuk ke lorong yang gelap gulita itu. Tapi karena Kai langsung dengan langkah pasti, tidak ada pilihan lain bagi Renjun kecuali mengikuti. Keduanya menemukan tanda tanya yang dibuat oleh Doyoung di pintu yang terdapat di ujung lorong itu. Mereka memasukinya, dan sampai di ruang proyeksi film.

Kai menerangi tempat itu dengan sorotan lampunya. Nampak tirai beludru yang sudah lapuk, kursi-kursi usang, serta orgel tua berselubung debu, Tapi baik Doyoung maupun Jisung tidak ada di situ.

Kemudian Renjun melihat sesuatu yang berkilat di bawah salah satu kursi, lalu memungut benda itu.

"Kai Hyung!" serunya. "Ini senter Jisung yang baru dibelinya."

"Tak mungkin Jisung meninggalkannya di sini dengan sengaja," kata supir itu. "Jadi tentunya tadi terjadi sesuatu di sini, Kita harus mencari kalau ada tanda-tanda."

Renjun dan Kai merangkak-rangkak di gang antara deretan kursi kursi, sementara Kai menyorotkan lampunya dekat ke lantai.

"Lihatlah! Di sini debu berserakan!"

Ucapan Kai memang benar. Dan di tengah debu yang seperti terhapus itu nampak tanda tanya yang dibuat secara tergesa-gesa.

Kai kelihatannya gelisah menemukan tanda tanya itu. Tapi dia tidak mengatakan apa yang dipikirkannya pada Renjun. Dia tegak lagi, sambil mencari-cari. Akhirnya ditemukan jejak kaki di atas debu, menuju ke depan, lalu mengitar ke belakang kain layar yang sudah robek-robek, melewati sebuah pintu yang terdapat di belakangnya.

Mereka sampai di sebuah serambi. Di situ ada tangga putar yang menurun, ke dalam lubang yang gelap gulita. Tapi di serambi itu ada pula sebuah lorong, yang menuju entah ke mana.

Renjun dan Kai ragu-ragu sesaat, tidak tahu mereka harus menyusul ke mana. Menuruni tangga, atau menyusur lorong. Kemudian Kai melihat tanda tanya yang samar-samar pada pangkal tangga

"Kita harus lewat tangga," katanya. "Doyoung sangat panjang akalnya, dia meninggalkan jejak yang harus kita ikuti."

"Tapi apa kiranya yang terjadi dengan mereka, Hyung?" tanya Renjun, sementara mereka menuruni tangga yang berputar-putar terus ke arah bawah, Renjun agak pusing kepalanya karena tak henti-hentinya berjalan memutar ke arah sama.

"Kita hanya bisa menduga-duga," kata Kai. Dia berhenti sebentar, memperhatikan tanda tanya yang nampak pada suatu landasan tangga. "Jika Doyoung tadi berjalan sambil menuruni tangga, tanda ini pasti dibuatnya di dinding, kira-kira setinggi mata. Jadi saya terpaksa menarik kesimpulan bahwa dia membuatnya sementara dirinya digendong, dan dia melakukannya pada setiap kesempatan orang atau orang yang menggendongnya berhenti sebentar untuk beristirahat. Mungkin saat itu ia sempat menyentuh lantai tanpa ketahuan."

"Tapi siapa yang menggendongnya ke sini?" tanya Renjun cemas. "Ini kelihatannya kayak penjara di bawah tanah."

"Ya, persis seperti yang ada di sebuah kastil kuno di Inggris, di mana saya pernah Suting," kata Kai, "Tempat itu tidak enak! Mengenai siapa yang menggendong Doyoung ke sini, saya tidak tahu. Sayangnya - kita sekarang kelihatannya kehilangan jejak."

Sementara itu mereka sudah sampai di kaki tangga. Dari tempat itu ada tiga lorong yang menuju ke berbagai arah. Semuanya sama gelapnya. Dan di mana-mana tidak nampak tanda tanya yang dibuat dengan kapur.

"Kita padamkan saja lampu sebentar, lalu memasang telinga." kata Kai. "Dalam gelap, mungkin akan terdengar sesuatu."

Begitu lampu dipadamkan, kegelapan langsung menyelubungi mereka.

Tercium bau udara pengap dan lembab. Tiba-tiba terdengar bunyi yang asing, kedengarannya seperti batu bergeser di atas batu. Sesaat kemudian nampak sinar cahaya remang. Datangnya dari ujung lorong sebelah tengah

"Doyoung!" seru Kai "Apakah itu?"

Sekilas mereka melihat seorang wanita membawa lentera. Tapi dengan segera lentera itu dipadamkan. Terdengar lagi bunyi batu tergeser.

Sedang sekeliling mereka sudah gelap gulita lagi,

"Kejar dia!" seru Kai sambil lari memasuki lorong, Renjun menyusul dengan langkah terpincang-pincang. Ketika akhirnya tersusul, Kai sudah sibuk memukul-mukul dinding batu. Rupanya lorong itu berakhir di situ.

"Wanita tadi masuk ke sini!" kata Kai, "Saya tahu pasti. Saya terpaksa menggunakan kekerasan sekarang." Diambilnya palu besar yang terselip di pinggang, lalu memukul-mukulkannya ke dinding itu. Ternyata pada satu bagian, terdengar bunyi seakan-akan di belakangnya kosong,

Kai menghantam palunya beberapa kali ke bagian itu. Semen berguguran. Dengan cepat ia sudah berhasil melubangi dinding yang ternyata tebalnya cuma lima belas senti di situ. Dan dinding itu hanya terbuat dari semen yang dilapiskan pada dasar kawat. Dinding itu sebenarnya pintu-pintu rahasia. Kai menggoncang-goncangnya.

Akhirnya lepas terenggut. Di belakangnya ada lorong lagi, yang nampaknya menuju ke perut bukit karena seluruh sisinya dari batu,

"Ini terowongan" seru Kai "Orang yang menyekap Doyoung dan Jisung. pergi lewat terowongan ini. Wanita tadi rupanya seorang dari mereka. Cepat - sebelum ia berhasil melarikan diri"

Kai membimbing Renjun, agar mereka bisa lebih cepat berjalan. Setelah beberapa langkah, dasar terowongan itu terasa kasar sekali.

Langit-langitnya rendah, sehingga Kai terpaksa berjalan terbungkuk-bungkuk di situ.

Tahu-tahu lampunya jatuh karena terantuk dinding, lalu padar

Sementara Renjun menggerayangi lantai mencari lampu itu, didengarnya bunyi kelepak sayap serta suara mencicit-cicit. Tiba-tiba sesuatu yang lembut membentur dirinya dalam gelap, disusul sambaran dekat kepala.

"Kelelawar!" seru Renjun ketakutan. "Kai Hyung! Kita diserang kawanan kelelawar raksasa."

"Tenang. Dek! Jangan panik," kata Kai. Dia berlutut lalu mencari-cari lampunya yang jatuh tadi, sementara Renjun menutupi kepalanya dengan lengan. Di sekelilingnya beterbangan makhluk-makhluk besar bertubuh lembut. Seekor di antaranya hendak hinggap di kepala Renjun. Dia menjerit ngeri sambil buru-buru mengibaskan binatang itu.

"Kai hyung!" teriaknya. "Mereka bukan kelelawar biasa, tapi vampir raksasa! Badannya sebesar burung dara!"

"Ah, saya rasa bukan, Jun," kata Kai. Dia sudah menemukan lampunya, yang langsung disorotkan ke atas. Nampak berlusin-lusin binatang bersayap beterbangan di atas kepala mereka, Tapi bukan kelelawar, melainkan burung, Begitu melihat ada cahaya bersinar, burung-burung itu dengan segera datang menghampiri sambil menciap-ciap. Kai cepat-cepat memadamkan lampu lagi,

"Mereka tertarik cahaya terang," serunya pada Renjun. "Kita harus berusaha kembali dalam gelap ini. Sini pegang tangan saya."

Renjun memegang tangan Kai, dan orang Kai itu berjalan mendului, sambil meraba-raba sepanjang dinding batu yang kasar.

Burung burung tadi tidak kedengaran lagi. Renjun dan Kai berhasil kembali ke ruang bawah tanah Terror Castle, tanpa ada yang merintangi. Pintu rahasia ditutup kembali, supaya burung-burung itu tidak bisa ikut masuk.

"Saya rasa Doyoung dan Jisung tidak dibawa lewat terowongan itu," kata Kai. "Soalnya, kalau mereka digotong lewat situ orang-orang yang membawa tentunya harus meletakkan mereka sebentar ke tanah sewaktu hendak membuka pintu. Dan saat itu Doyoung tentunya sempat meninggalkan tanda di sini. Tapi kenyataannya, di sini sama sekali tidak ada tanda."

Di situ memang tidak ada tanda. Tapi tahu-tahu ada yang berteriak teriak. Dan tidak salah lagi itu suara Doyoung, yang segera diikuti oleh Jisung. Suara mereka kedengarannya datang dari lorong gelap yang baru saja ditinggalkan oleh Renjun dan Kai. Supir Rolls-Royce itu bergegas masuk kembali ke lorong itu. Di situ ditemukannya sebuah pintu yang tadi tidak nampak, karena terburu-buru mengejar wanita yang membawa lentera. Ketika pintu itu dibuka, di dalamnya nampak sebuah sel sempit, lengkap dengan gelang-gelang besi terpasang di dinding, Jisung dan Doyoung ada dalam sel itu, terikat erat seperti bingkisan Natal. Keduanya sama sekali kelihatan senang karena ditolong, Mereka malah jengkel, karena teriakan-teriakan mereka tidak didengar dari tadi.

Sambil membebaskan keduanya dari ikatan, Kai menjelaskan bahwa ia tidak bisa mendengar teriakan mereka, sebab sibuk mengejar wanita misterius tadi, serta ribut menghantar pintu terowongan supaya bisa masuk

"Kita harus segera keluar dari sini lalu memberitahukan pihak berwajib," kata Kai, sementara Doyoung dan Jisung sibuk membersihkan diri dari debu. "Mereka itu berbahaya kalian ditinggalkan di sini, supaya mati kelaparan."

Doyoung tidak begitu memperdulikannya.

Perhatiannya lebih tertarik pada kisah Renjun yang mengatakan tadi diserang burung-burung dalam terowongan

"Burung-burung jenis apa?" tanyanya,

"Jenis apa?" seru Renjun dengan kesal. "Aku tak sempat menanyakannya tadi pada mereka. Pokoknya cara mereka menyerang, kayak garuda ukuran mini."

"Mereka sebetulnya tidak berbahaya," kata Kai. "Mereka tadi hanya tertarik pada cahaya terang. Menurut perasaan saya, burung burung tadi itu parkit."

"Parkit?" Doyoung terlonjak, seperti disengat kalajengking, "Ayo, ikut aku! Kita harus bertindak cepat"

Sambi mengambil senter yang tergantung pada ikat pinggang, ia bergegas ke luar

"Kenapa dia?" tanya Jisung heran, sementara Renjun menyodorkan senter kepadanya.

"Kurasa dia menemukan jejak," jawab Renjun. "Pokoknya, dia tidak bisa kita biarkan pergi sendiri."

"Sudah jelas tidak," kata Kai sependapat, "Kita harus menyusulnya!"

Mereka bergegas menyusul Doyoung, walau pergelangan kakinya masih dibalut, sementara itu sudah sekitar lima puluh meter jauhnya di depan mereka. Dengan cepat Jisung meninggalkan Kai, karena dia masih harus membantu Renjun. Ketika keduanya masuk ke terowongan, nampak cahaya senter Doyoung dan Jisung bergerak-gerak di depan. Mula mula menanjak, lalu turun, kemudian menikung

Mereka berjalan secepat yang mungkin dilakukan, tanpa mengacuhkan burung-burung parkit yang beterbangan sekeliling mereka. Di beberapa tempat Kai harus berjalan terbungkuk-bungkuk, karena sisi atas terowongan di situ sangat rendah. Akhirnya mereka sampai di bagian yang lurus, Nampak di kejauhan kedua senter tidak bergerak lagi. Kai dan Renjun bergegas menyusul. Sesampai di tempat kedua senter tadi berhenti bergerak, ternyata di situ ada pintu dari kayu. Pintu itu terpentang lebar. Mereka melewatinya, menggabungkan diri dengan Doyoung serta Jisung yang sudah lebih dulu keluar, Ternyata mereka berada dalam sebuah kandang kawat yang besar, dikerubungi sejumlah besar burung parkit yang menggelepar-gelepar ketakutan,

"Kita berada dalam kandang besar tempat Mr. Sangra memelihara burung burung parkit" seru Doyoung, mengalahkan kebisingan suara burung. "Ujung Mgarai rupanya tepat sejajar dengan ujung Gangnam, hanya dipisahkan oleh bukit batu yang tidak seberapa lebar. Aku sama sekali tidak menduga kemungkinan itu - karena awalnya terpisah begitu jauh, pada sisi gunung yang berlawanan"

Doyoung mendorong pintu kawat kandang itu sampai terbuka. Mereka berempat bergegas ke luar. Ternyata mereka dekat sekali dengan bungalow Mr. Sangra. Lewat jendela rumah itu, mereka melihat Mr. Sangra sedang bermain kartu dengan seorang wanita berbadan kecil dan berambut gondrong. Mereka nampaknya santai sekali.

"Kita akan mengagetkan mereka," bisik Doyoung. "Padamkan senter."

Doyoung menyelinap ke pintu depan, diikuti yang lainnya. Sesampai di situ, ia menekan bel. Dengan segera pintu terbuka. Mr. Sangra muncul di ambangnya, sambil menatap mereka dengan kening berkerut. Baru sekali itu Renjun melihat tampang orang itu. Dia ngeri melihat keseramannya, dengan kepalanya yang botak serta bekas luka memanjang di leher.

"Ada apa?" bisik Mr. Sangra dengan nada menakutkan,

"Kami ingin bicara sebentar dengan Anda, Mr. Sangra" kata Doyoung.

"Bagaimana jika aku saat ini tidak mau diganggu?"

"Kalau begi " kini Kai yang berbicara, "kami minta pihak berwajib untuk mengadakan pengusutan."

Mr. Sangra nampak kaget.

"Itu tidak perlu" katanya terburu-buru. "Ayo, masuklah!"

Doyoung, Jisung, Renjun. dan Kai mengikutinya, masuk ke dalam ruangan di mana wanita yang bertubuh kecil masih duduk menghadap meja. Orang itu kecil sekali, tingginya paling-paling satu setengah meter

"Ini teman lamaku, Susi," kata Mr. Sangra. "Susi, ini mereka, para remaja yang mengadakan penyelidikan di Terror Castle. Nah, sudah berhasilkah kalian menjumpai hantu-hantu di situ"

"Ya, sudah," kata Doyoung. "Kami sudah berhasil mengetahui rahasia Kastil itu." Nadanya begitu yakin, sampai Renjun dan Jisung tercengang mendengarnya. Baru saat itu mereka tahu bahwa mereka berhasil dengan penyelidikan mereka.

"Oya?" kata Pembisik, alias Mr.Sangra, "Lalu apa rahasianya?"

"Anda berdualah hantu yang selama ini menghantui Kastil, sehingga tidak ada yang berani datang ke sana." kata Doyoung. "Dan beberapa saat yang lalu, Anda berdua pula yang meringkus diriku serta temanku,  Jisung, lalu meninggalkan kami berdua dalam sel bawah tanah."

Muka pembisik begitu masam, sehingga secara otomatis Kai menggenggam palunya lebih erat,

"Itu tuduhan berat, Nak," bisik Mr. Sangra. "Dan aku berani bertaruh, kau tidak mungkin bisa membuktikannya."

Jisung juga berpendapat begitu, walau tidak dikatakan olehnya. Jangan jangan Doyoung sudah sinting! Mereka tadi kan diikat dua orang wanita,

Seorang Inggris, serta seorang wanita tua kaum pengembara.

"Lihat saja ujung sepatu Anda." kata Doyoung. "Aku menandai sepatu sepatu Anda berdua dengan tanda rahasia kami, sementara Anda berdiri di dekat kami ketika sedang mengikat kami dengan tali."

Kedua orang itu memandang sepatu mereka. Di ujung sepatu kanan keduanya yang hitam mengkilat, nampak tulisan yang dibuat dengan kapur. Sepasang tanda tanya!

Kedua pasangan itu kelihatannya kaget. Begitu pula halnya dengan Jisung, Renjun dan Kai

"Tapi.." kata Jisung, namun Doyoung langsung memotong.

"Mereka memakai pakaian wanita serta rambut palsu," katanya. "Aku menyadari hal itu ketika teraba olehku sepatu mereka, Mana ada wanita memakai sepatu pria Saat itu aku langsung sadar, ke lima anggota komplotan yang meringkus kita, sebenarnya hanya dua orang saja yang berganti-ganti pakaian."

"Maksudmu, kedua pasangan Arab, laki-laki bangsa Cina serta kedua wanita tadi - sebenarnya mereka itu semua cuma Mr. Sangra dan Ms. Susi saja?" tanya Jisung tercengang,

"Ya, dia benar," kata Mr. Sangra dengan nada lesu. "Kami memainkan peranan suatu komplotan besar, supaya kalian berdua benar-benar ketakutan, Kami mengenakan kostum jubah dan gaun, karena dengan begitu kami bisa menukar peranan dengan cepat. Tapi jangan kalian menyangka, kami benar-benar bermaksud hendak mencelakakan kalian, Aku tadi datang kembali hendak membebaskan kalian, ketika mereka berdua ini melihat aku." Sambil berkata begitu dia, dia menuding Renjun dan Kai

"Kami bukan pembunuh," kata Ms. Susi, teman Mr. Sangra yang bertubuh kecil. "Juga bukan benar-benar penyelundup. Kami cuma hantu."

Dia tertawa geli. Tapi Mr. Sangra tetap kelihatan serius. "Kalau aku, aku pembunuh" katanya. "Aku menewaskan Suzana.

"Oya, betul juga," Ms. Susi mengatakannya dengan sambil lalu, seolah olah melupakan sesuatu hal yang sepele. "Kau menyingkirkan dia. Tapi itu kan soal kecil."

"Mungkin polisi lain pendapatnya," kata Kai. "Saya rasa lebih baik kita menghubungi pihak berwajib saja."

"Jangan! Tunggu." Pembisik mengangkat tangannya. "Tunggu sebentar nanti kalian bisa berbicara sendiri dengan Suzana."

"Maksud Anda, dengan arwahnya?" seru Jisung.

"Tepat, dengan hantunya. Dia akan menjelaskan nanti, apa sebabnya aku menyingkirkannya."

Sebelum ada yang sempat menghalang-halangi. Mr. Sangra sudah menyelinap lewat sebuah pintu ke kamar sebelah.

"Jangan khawatir," kata Ms. Susi. "Diaa bukannya hendak melarikan diri. Sebentar lagi ia sudah kembali. Oya, ini pisaumu, Doyoung."

"Terima kasih," kata Doyoung, dia merasa, senang karena dia sayang pada pisau lipat yang bagus itu.

Tak sampai semenit kemudian, pintu yang dimasuki Mr. Sangra tadi terbuka lagi. Seorang Wanita muncul dari situ. Tapi bukan Pembisik

"Orang yang baru muncul itu lebih pendek, dan kelihatannya lebih muda, Rambutnya yang berwarna coklat sudah beruban, tersisir rapi. dia memandang orang-orang yang berkumpul sambil tersenyum ramah.

"Selamat malam," sapanya. "Aku Suzana. Kalian ingin bicara dengan aku?"

Semua menatapnya dengan mulut ternganga. Bahkan Doyoung pun sekali itu tidak tahu akal. Akhirnya Ms. Susi yang membuka mulut.

"Dia memang Suzana," katanya.

Tampang Doyoung masam. Ia jengkel terhadap dirinya sendiri.

"Ms. Suzana," katanya, "Anda juga Mr. Sangra, alias Pembisik Betul, kan?

"Dia, Pembisik seru Jisung kaget. "Dia kan kalah tinggi, rambutnya masih ada, dan."

"Itu soal gampang," kata Suzana.

Dengan tiba-tiba ia menyentakkan rambutnya, menunjukkan kepala botak di bawahnya. Dia juga meluruskan tegaknya, sehingga langsung nampak bertambah tinggi. Matanya dipicingkan, sedang bibirnya dirapatkan. Ia mendesis, "Jangan bergerak, jika masih sayang nyawa!"

Nadanya begitu meyakinkan, sehingga semua kaget dibuatnya. Dia memang Pembisik! Tapi dia juga bintang film yang dikabarkan sudah lama meninggal dunia. Setidak-tidaknya itu masih bisa disimpulkan sendiri oleh Renjun dan Jisung.

Ms Suzana alias Me. Sangra mengambil suatu benda aneh dari kantongnya. Tiruan bekas luka, terbuat dari plastik.

"Kalau ini kutempelkan ke leherku, lalu rambut palsuku ini tidak kupakai dan dalam sepatu kupasang alas tumit, Suzana langsung lenyap." katanya. "Dengan suara berbisik-bisik kalau bicara, aku menjelma menjadi laki-laki menyeramkan, yang dikenal dengan julukan Pembisik."

Ms. Suzana mengenakan rambut palsunya kembali. Langsung tampangnya berubah lagi, kelihatan seperti manusia biasa.

Anak-anak berebut-rebut mengajukan pertanyaan, Tapi Ms. Suzana mengangkat tangannya, menyuruh mereka tenang.

"Lebih baik kita duduk dulu," katanya, "nanti kujelaskan semuanya.

Kalian lihat foto itu?" Ia menuding foto di atas meja, yang menunjukkan dirinya bersalaman dengan Pembisik. Padahal ia bersalaman dengan dirinya sendiri.

"Kalian tentu tahu juga, itu dibuat dengan teknik tipuan, untuk menambah kesan bahwa Suzana dan Sangra itu memang dua orang yang berlainan. Soalnya, ketika aku dulu baru saja menjadi bintang film, aku merasa kewalahan dalam menangani urusan bisnisku, karena kecuali pemalu aku ini juga berlidah pelat. Aku paling tidak senang bicara dengan orang lain. Aku tidak bisa menangani segala urusanku dengan sebaik-baiknya.

"Karena itu lantas kuciptakan tokoh Pembisik, lalu ku jadikan pengelola urusan bisnisku. Pembisik kalau bicara selalu sambil berbisik-bisik dengan nada menyeramkan. Itu gunanya supaya lidahku yang pelat tidak kentara. Tampangnya begitu galak, sehingga aku sama sekali tidak pernah mengalami kesulitan dalam menghadapi orang-orang yang ada urusan dengan aku. Tak ada yang tahu bahwa Suzana dan Sangra sebenarnya cuma aku sendiri, kecuali temanku ini,Susi. Susi dulu periasku, Dialah yang selalu membantu aku menjelma dari Suzana menjadi Pembisik.

"Siasat itu berhasil baik, sampai aku membuat film perdana ku di Korea yang pertama. Saat itu aku menjadi tertawaan orang Harga diriku terpukul Aku menarik diri dari dunia ramai, mengunci diriku dalam Kastilku. Ketika kemudian aku mendapat kabar bahwa rumah itu akan disita bank, aku bertambah bingung. Pada saat kastilku sedang dibangun, para pekerja menemukan celah dalam batu tebing. Celah itu memanjang menembus punggung bukit sampai ke sisi seberang, sampai di ujung gangnam, Para pekerja kusuruh menembok terowongan alam itu. Tapi secara diam-diam kupasang sebuah pintu rahasia di situ. Kemudian, selaku Sangra aku membeli tanah yang letaknya di ujung seberang lorong alam itu, lalu membangun rumah kecil di situ. Ini dia rumahnya."

katanya sambil melambaikan tangan ke sekelilingnya. "Dengan begitu aku bisa mondar-mandir dengan bebas, tanpa ada yang mencurigai identitas gandaku."

"Waktu itu aku sering berkeliaran naik mobil sendiri untuk melenyapkan perasaan murung yang menghinggapi diriku. Suatu hari, ketika aku sedang naik mobil menyusur tebing jauh di atas pantai, aku mendapat akal yang hebat. Timbul pikiranku untuk membuat kecelakaan pura pura."

"Anda sendiri kan, yang menjatuhkan mobil Anda ke bawah tebing?" sela Doyoung.

Suzana mengangguk

"Ya, betul," katanya, "Mula-mula aku menulis surat dan meninggalkannya di tempat yang mencolok sehingga pasti kemudian ditemukan orang. Lalu pada suatu malam yang gelap, pada saat hujan deras, aku melaksanakan rencanaku itu. Mobilku kujatuhkan ke kaki tebing - tentu saja tanpa diriku. Bagi kalangan umum, dengan kecelakaan itu tamatlah riwayat Suzana. Juga bagiku, sejak saat itu Suzana tidak ada lagi. Bagiku ia sudah mati, dan harus tetap mati. Kecuali itu aku ingin tetap memiliki kastiliku. Tak enak rasanya membayangkan ada orang lain memilikinya, atau tinggal di situ."

"Walau sejak kecelakaan palsu itu Kastil kosong, tapi aku bisa setiap saat ke sana lewat terowongan dalam batu. Karenanya aku bisa hadir dalam keadaan tersembunyi di sana ketika polisi datang memeriksa, sehingga mereka kubuat lari terbirit-birit. Dulu, ketika Kastil itu kubangun, aku memasang berbagai perlengkapan di situ, untuk mengagetkan kawan kawanku dengan berbagai tipuan teknik Dan segala perlengkapan itu kemudian besar sekali manfaatnya untuk menimbulkan kesan bahwa tempat itu berhantu,"

"Setelah berhasil mengusir polisi, aku melakukan pengacauan lagi dengan bayangan hantu, ketika bank menyuruh orang-orang mereka untuk mengangkut barang-barang milikku untuk dilelang. Dengan segera aku tidak perlu berbuat apa-apa lagi untuk menakut-nakuti orang-orang yang masuk ke kastil, Mereka takut sendiri. Tapi walau begitu aku selalu waspada, jangan sampai kengerian orang pada tempat itu berkurang."

"Sekali-kali aku menggulingkan batu-batu ke dalam ngarai, supaya orang semakin tidak ingin membeli Terror Casttile,"

"Siasatku berhasil. Bank tidak bisa menjual kastilku. Sementara itu aku rajin menabung, supaya bisa menebusnya. Sebagai Sangra, pedagang burung-burung eksotik, aku berhasil mengumpulkan cukup banyak uang untuk cicilan pertama Tapi kemudian muncul."

Aktris itu menarik nafas panjang,

"Kalian ternyata jauh lebih nekat dari semua orang sebelum kalian," katanya.

"Ms. Suzana," kata Doyoung, yang selama itu mendengarkan dengan penuh perhatian, "Anda menelepon kami setelah kunjungan kami yang pertama, lalu menirukan suara hantu untuk menakut-nakuti kami?"

Ms. Suzana mengangguk.

"Kusangka dengan begitu kalian pasti bertambah takut."

"Tapi dari mana Anda bisa tahu bahwa kami akan datang malam itu, dan dari mana Anda tahu kami ini siapa?" tanya Doyoung lagi

Ms. Suzana tersenyum sekilas,

"Temanku inilah yang menjadi pengawas untukku," katanya, Susi mengangguk.

"Di mulut ngarai ada sebuah bungalo kecil, yang tidak begitu nampak dari jalanan. Susi tinggal di situ. Setiap dia melihat orang memasuki ngarai, dengan segera ia menelepon aku. Dan aku bergegas ke kastil lewat lorong rahasia, untuk menyambut tamu tak diundang itu."

"Hari itu, ketika ia melihat ada mobil Rolls-Royce memasuki jalan ngarai lalu melaporkannya padaku, aku langsung teringat pada berita surat kabar mengenai seorang remaja yang memenangkan hak memakai mobil itu."

"Malam itu kalian terpaksa lari tunggang-langgang dari ,Kastil. Harap jangan kecil hati, karena orang lain masih lebih takut lagi Setelah kalian pergi, aku kembali ke sini, Kucari nama kalian dalam buku telepon, tapi tidak ada, Aku lantas menghubungi bagian penerangan kantor telepon. Ternyata kau baru saja memasang telepon, Kim Doyoung, Aku lantas meneleponmu."

"Oh, begitu," kata Doyoung. Jisung menggaruk garuk kepala. Dia teringat pada ucapan Doyoung yang menyatakan bahwa misteri-misteri jawabannya sederhana saja, apabila sudah diketahui. Tapi sebelumnya, repot!

"Itu rupanya sebabnya kenapa Haecan hyung, maksudku kedua remaja yang juga datang ke Kastil, lari lagi terburu-buru, ketika aku datang bersama Jisung untuk menemui Anda," kata Jisung

"Ya aku diberi tahu oleh Susi, dan aku sudah menunggu mereka. Tapi kedatangan kalian yang nyaris serempak, membuat kami agak bingung."

Tampang Ms. Susi kelihatan malu.

"Aku ingin menjelaskan sedikit tentang kejadian itu," katanya. "Ketika kalian datang, aku tidak sempat lagi memberi tahu Suzana. Karenanya aku lantas masuk ke ngarai jalan samping, untuk mengawasi kalian.. Aku melihat kedua remaja yang datang lebih dulu lari meninggal kan Kastip, lalu kalian mengejar mereka. Saat itu dengan tidak kusengaja aku menginjak batu sehingga batu itu terguling-guling ke bawah, Kalian berdua mendongak dan melihat aku."

"Jadi Anda rupanya yang kami kejar waktu itu" tukas Jisung, "Dan Anda yang menyebabkan batu-batu longsor. Nyaris kami mati tertimbun"

"Itu benar-benar tak kusengaja," kata Ms. Susi dengan nada menyesal.

"Batu-batu itu memang ditumpukkan di situ. Gunanya untuk digulingkan ke bawah, untuk menggetarkan orang yang datang hendak membeli Kastil, Waktu itu aku cemas sekali, Aku khawatir kalau-kalau kalian cedera parah, walau aku melihat kalian cepat-cepat berlindung ke dalam celah di tebing. Ketika kemudian kulihat dahan kayu tersembul dari tengah tengah tanah yang tertimbun menutupi mulut celah itu, aku lantas menarik kesimpulan bahwa kalian selamat. Aku bersembunyi sambil menunggu sampai kalian sudah berhasil ke luar. Kalau saat itu kalian nampaknya mengalami kesulitan, aku pasti datang membantu."

Kening Doyoung masih tetap berkerut. "Kurasa aku bisa memahami sebagian besar dari kejadian itu," katanya, "Tapi ada beberapa hal yang masih belum jelas."

"Tanya saja semaumu," kata Suzana. "Kau berhak mengetahui semua jawabannya."

"Sore itu, ketika kami mendatangi Anda sebagai Mr. Sangra," kata Doyounh, di sini sudah tersedia limun dengan es. Seolah-olah Anda memang memperkirakan kami akan datang, Anda juga mengatakan waktu itu bahwa Anda habis merambah semak kering. Padahal itu tidak benar. Ini memang soal kecil, tapi aku ingin mengetahui kejelasannya."

Sizana tertawa pelan,

"Setelah kalian berhasil membebaskan diri dari timbunan batu dan tanah, kalian begitu sibuk sehingga tidak melihat Susi membuntuti kalian kembali ke mobil," katanya, "Saat itu persembunyiannya cukup dekat, sehingga ia mendengar ucapanmu menyebutkan alamat ku-pada supir. Dan begitu kalian pergi, Susi lantas menelepon ke sini.

"Dengan segera aku bersiap-siap. Dari jendela sini aku bisa melayangkan pandangan jauh menyusur bukit. Dan mobil kalian yang antik itu gampang sekali dikenali. Begitu aku melihatnya datang, aku cepat-cepat menyiapkan minuman, lalu pergi ke semak. Parang kubawa, supaya ada alasan kenapa aku ke sana. Padahal aku memperhatikan kalian, sementara kalian menuju kemari.

"Saat itu aku belum pasti, apa tindakanku terhadap kalian. Tapi akhirnya aku memutuskan untuk bersikap ramah, tapi juga menambahkan kesan bahwa Terror Castle memang ada hantunya. Dengan begitu aku berharap, kalian dengan sendirinya akan menjauhi tempat itu. Aku waktu itu kan tidak banyak berdusta, kan? Memang, aku memang mengatakan bahwa Suzana sudah mati. Bagiku, dia memang sudah mati."

"Waktu itu aku juga mengatakan, aku tidak pernah lagi melangkahkan kaki melewati ambang pintu gerbang Kastil. Kenyataannya memang begitu!

Aku selalu datang dan pergi lewat terowongan rahasia. Jalan masuk ke situ letaknya dalam kandang burung, jadi tidak ada orang lain yang bisa melihat apabila aku pergi ke sana. Tapi malam ini aku begitu terburu buru ke luar, sehingga lupa menutup pintu kembali. Sebagai akibatnya, burung-burungku masuk ke dalam terowongan."

Doyoung mencubit-cubit bibir bawahnya,

"Lalu wanita pengembara yang datang untuk memperingatkan kami itu kan Ms Susi atau sebenarnya, Ms. Suzana?" katanya,

"Tepat! Ketika diketahui bahwa kalian detektif, aku lantas merasa bahwa kalian tidak gampang mundur. Karena itu Susi lantas menyamar sebagai wanita tua, lalu datang ke tempatmu untuk memperingatkan kalian. Kusangka kalian pasti takkan berani datang lagi setelah itu."

"Aku malah ingin tahu karenanya, Ms. Susi," kata Doyoung. "Orang orang lain, tak ada yang pernah diperingatkan. Aku menjadi heran, kenapa justru kami diberi tahu, jangan datang lagi. Hantu mana mungkin mau repot-repot memperingatkan manusia Karenanya aku menarik kesimpulan, pasti manusia yang tidak ingin kami datang ke Terror Castle."

"Lalu dari foto-foto yang dibuat oleh Renjun, kulihat bahwa baju zirah yang ada dalam Ruang Gema tidak begitu berkarat. Begitu pula perpustakaan tidak begitu banyak debu di tempat itu. Padahal rumah yang sudah lama kosong, tentunya banyak debu, Aku mendapat kesan Terror Castle biarpun kosong, tapi ada yang merawatnya."

"Dan satu-satunya orang yang paling berkepentingan merawat tempat itu, tentu saja pemiliknya sendiri, Suzana! Karenanya aku menarik kesimpulan, Anda pasti masih hidup. Harus kuakui, malam ini Anda nyaris menipu diriku, ketika Anda berperan sebagai kawanan penyelundup internasional. Waktu itu aku tertipu sesaat. Kurasa Anda yang menjadi orang Arab yang tingginya sedang, lalu orang Cina dan wanita Inggris. Sedang Ms. Susi menjadi Arab yang pendek serta wanita tua."

"Betul," kata Suzana berkilat-kilat jenaka. "Kami memakai koleksi rambut palsu dan kostum milikku, Kami ingin menakut-nakuti kalian, biar benar-benar kapok kemari. Menurut pendapatku, jika diancam pembalasan dendam kawanan penyelundup, besar kemungkinannya kalian takkan mau lagi datang ke Kastil. Soalnya, aku sudah kewalahan menghadapi kenekatan kalian. Nah, begitulah ceritanya. Masih ada lagi yang ingin kalian ketahui?"

"Wah, masih banyak" sekarang barulah Jisung membuka mulut lagi

"Misalnya saja, mata yang menatap dari lukisan bajak bermata satu."

"Itu mataku," kata Suzana. "Di belakang lukisan-lukisan itu ada lorong rahasia, dan tepat pada bagian mata lukisan itu terdapat sebuah lubang untuk mengintip."

"Tapi ketika aku bersama Renjun kemudian datang dan memeriksa lukisan itu, kami sama sekali tidak menemukan lubang di situ," kata Jisung.

"Setelah kalian lari pada malam pertama, lukisan itu kuganti dengan lukisan lain yang sama," kata Suzana. "Aku berjaga-jaga, karena menduga kalian pasti kembali memeriksanya."

"Lalu bagaimana dengan Hantu Biru?" tanya Jisung. "Dan orgel tua yang memperdengarkan musik aneh itu? Lalu kabut kengerian? Hantu dalam cermin? Hembusan angin dingin dalam Ruang Gema?"

"Aku segan memaparkannya," kata Suzana "Itu sama saja seperti tukang sulap, yang disuruh menceritakan bagaimana caranya bermain sulap! Kalau diceritakan, tidak asyik lagi menontonnya. Tapi kalian berhak mengetahuinya, dan apabila kalian benar-benar ingin."

"Kurasa beberapa metode yang Anda pakai, sudah bisa kuketahui sendiri," sela Doyoung. "Hembusan hawa dingin, sebetulnya gas yang mengalir dari es kering yang meleleh, dan datangnya dari lubang di dinding. Musik aneh itu rekaman yang dimainkan terbalik, dengan pengeras suara. Hantu Biru, mungkin kain kelambu yang dilumuri cat yang bercahaya, Kabut Kengerian, sudah jelas asap dari semacam bahan kimia yang dimasukkan ke dalam lorong tersembunyi lewat lubang-lubang kecil."

"Kau benar, Nak," kata Suzana. "Dan tentunya begitu kau menyadari bahwa segala penjelmaan aneh itu disebabkan oleh manusia, kau lantas bisa menarik kesimpulan sendiri tentang cara-cara menciptakan segala efek itu."

"Betul, Mis," kata Doyoung, "Sedang hantu dalam cermin, mungkin merupakan proyeksi gambar. Tapi mengenai satu hal, saya tidak begitu pasti. Bagaimana cara Anda menimbulkan perasaan gelisah dan ngeri pada diri orang yang berada dalam Kastil?"

"Janganlah kau minta aku menceritakan segala-galanya padamu," pinta suzana. "Aku ingin menyimpan sebagian dari rahasiaku, Begini saja pun, rencanaku sudah berantakan " Dia berhenti sebentar, lalu melanjutkan, "Aku ingin memperlihatkan sesuatu padamu, Lihatlah!"

Sambil berkata begitu, dibukanya pintu dari mana dia, tadi muncul setelah bersalin rupa dari Pembisik yang menyeramkan, menjelma menjadi Suzana, Ternyata di balik pintu itu ada sebuah ruangan besar yang merupakan kamar pakaian. Nampak berbagai kostum, bergantungan di dinding. Rambut palsu bertumpuk-tumpuk. Dan di satu sudut terdapat tumpukan kaleng-kaleng bundar, yang biasanya dipakai sebagai tempat menaruh film.

"Di situ, dalam kamar itu ., di situlah Suzana yang sejati. Segala kostum itu, rambut palsu, segala film yang disimpan dalam kaleng-kaleng itulah diriku yang sejati. Sedang diriku ini cuma alat belaka, yang menjelmakan segala kostum dan rambut palsu itu menjadi tokoh-tokoh aneh yang menghidangkan keasyikan menonton bagi berjuta-juta orang di seluruh dunia."

"Bertahun-tahun Terror Castle merupakan kebanggaanku yang terakhir. Di situ aku masih bisa menakut-nakuti orang, dan bukan menjadi bahan tertawaan. Dan selama itu aku berlatih keras, menghilangkan ucapan kata-kata dengan lidah pelat. Aku juga sudah berbicara dengan suara lebih berat. Aku melatih diri bersuara sebagai hantu, wanita, bajak laut. orang Arab, orang Cina - dan macam-macam lagi. Aku mengidam-idamkan akan tampil kembali dan membuat film baru.

"Tapi ternyata film-film seperti yang kubuat dulu, sekarang sudah tidak digemari lagi. Sekarang film-film hantu malah sering dibuat sebagai lelucon. Film-film hantu lama yang dihidangkan di televisi diberi suara kocak serta ditambah suara-suara lucu, supaya orang tertawa. Aku tidak mau jika bakatku dijadikan tertawaan!"

Mis. Suzana nampak bergejolak perasaannya. Dipukulkannya tinjunya ke telapak tangan. Napasnya memburu. "Sekarang aku tidak punya apa-apa lagi. Aku tidak bisa lagi menjadi hantu Kastil Setan. Bahkan Kastil akan terlepas dari tanganku. Aku tidak lagi bisa menjadi Pembisik Aku tidak tahu, apa yang harus kulakukan sekarang!"

Ia berhenti berbicara, untuk menenangkan perasaannya. Saat itu Doyoung menyela. Selama itu ia nampak berpikir keras.

"Mis. Suzana." katanya, "kaleng-kaleng itu, isinya segala film seram yang pernah Anda perani dan yang sejak bertahun-tahun tidak pernah dilihat orang lain?"

Mis. Suzana mengangguk.

"Kenapa kau bertanya begitu?" katanya.

"Kurasa aku tahu akal, bagaimana Anda bisa memperoleh Kastil Anda kembali, serta hal mengasyikkan orang lain dengan jalan menakut-nakuti mereka," kata Doyoung, "Begini maksudku."

Dan seperti biasa, ternyata Kim Doyoung mendapat ide gemilang.

To Be Continue

次の章へ