BAB 12
Dewi Ruby berjalan ke arah pintu keluar. Begitu pintu dibuka, tampak sosok Dewa Perak berdiri di luar dengan jubah perak yang menjadi ciri khasnya, sedang tersenyum ke arahnya. Dewi Ruby membalas dengan senyuman yang sama dan memberi jarak sehingga Dewa Perak bisa masuk ke dalam tempat tinggalnya.
"Baru saja aku mau ke istana perak mencarimu, Dewa Perak… Kok pagi-pagi sekali kau bisa bertandang ke tempatku, Dewa Perak?" tanya Dewi Ruby tersenyum manis.
"Sudah beberapa hari ini Siluman Batu Hitam terdiam dan tidak melancarkan serangannya lagi. Mungkin dia sedang bertapa memulihkan diri. Aku bosan sendirian di istana terus. Tak ada yang bisa kukerjakan pagi ini. Aku rencananya mau mengajakmu keliling-keliling alam manusia saja. Banyak kesempatan berbuat baik di sana, Dewi Ruby. Bagaimana?"
Dewi Ruby tersenyum agak simpul dan tampak ia agak tersipu malu, "Tidak biasanya kau mengajakku jalan-jalan ke alam manusia, Dewa Perak. Untuk ke sana, kita tidak bisa dari sini, Dewa Perak. Kita harus masuk ke alam manusia melalui suatu jalan kecil yang terletak persis di belakang istana perak."
"Oh ya?" Dewa Perak tampak mengerutkan dahinya. "Ternyata mau ke alam manusia berbuat baik saja serumit itu ya…"
"Begitulah…" tukas Dewi Ruby dengan senyum dikulum.
"Oke deh… Daripada bosan dan tidak ngapa-ngapain di sini, aku bawa kau ke istana perak dulu dan dari halaman belakang istana perak itu, kita akan jalan-jalan ke alam manusia," kata Dewa Perak langsung menggenggam tangan Dewi Ruby tanpa menunggu lebih lama lagi.
Dewi Ruby langsung menepiskan tangan dewa palsu itu. Sambil tersenyum sinis, dia mulai mengeluarkan tiga bintang kemujuran. Tiga sinar berpendar di udara dan langsung mengenai si dewa palsu. Alhasil, dalam sekejap wujud sebenarnya dari Siluman Batu Hitam mulai ketahuan. Dia tampak berteriak-teriak kesakitan di bawah pengaruh kekuatan tiga bintang kemujuran.
"Kau…! Kau…! Kau sudah tahu bahwa aku bukan Dewa Perak? Bagaimana mungkin! Bagaimana mungkin!" terus terdengar teriakan Siluman Batu Hitam.
"Jelas-jelas Dewa Perak tahu cara ke alam manusia bukan melalui jalan kecil yang ada di belakang istana perak. Kau mau saja kubohongi bahwa ada jalan di belakang istana perak yang bisa menghubungkan dunia kita dengan dunia manusia. Itu sudah cukup membuktikan bahwa kau bukanlah Dewa Perak!" kata Dewi Ruby dengan sepasang matanya yang mendelik tajam.
Wujud iblis itu terus berteriak tanpa henti di bawah pengaruh tiga sinar dari tiga bintang kemujuran. Mendadak dari belakang Dewi Ruby, sungguh tidak disangka-sangkanya sebelumnya, satu pukulan tapak batu beracun mendarat pada punggungnya. Tiga sinar dari tiga bintang kemujuran meredup seketika. Darah merah segar segera muncrat dari mulut Dewi Ruby. Tubuh Dewi Ruby terhempas ke depan.
"Hahaha…" kini terdengar tawa Siluman Batu Hitam yang sebenarnya. "Aku juga tidak begitu bodoh memakai langsung wujud asliku untuk menyamar menjadi Dewa Perak, Dewi Ruby. Wujud itu adalah wujud keduaku. Wujudku yang asli sudah masuk mengikuti wujud kedua yang tadi. Aku sudah menunggumu di sini sejak tadi, Dewi Ruby. Menunggu di saat-saat kau lengah, barulah aku melancarkan seranganku."
"Kau licik! Dasar pengecut! Beraninya kau hanya bisa main dari belakang!" teriak Dewi Ruby.
Dewi Ruby melihat tiga bintang kemujuran masih terkulai di lantai. Sementara itu, Siluman Batu Hitam sudah mendekati tiga bintang kemujuran dengan langkah-langkahnya yang pasti dan senyumannya yang mengerikan.
"Tiga bintang kemujuran ini akan menjadi milikku. Dengan demikian, seluruh alam dewa yang satu ini akan berada di bawah pengaruhku. Aku bisa memiliki apa saja yang kuinginkan, termasuk juga kau, Dewi Ruby. Kau kira aku akan tinggal diam melihatmu jatuh ke dalam pelukan Dewa Perak sialan itu!"
"Sudah kukatakan berkali-kali aku tidak bisa mencintaimu, Batu Hitam. Meski sekarang tidak ada Dewa Perak, aku tetap tidak bisa bersama-sama denganmu, Batu Hitam. Mohon mengertilah… Kenapa kau begitu egois dan keras kepala!"
Dewi Ruby dengan sekejap membuka tangannya dan memberikan satu sapuan. Dengan satu sapuan tangan, tiga bintang kemujuran lenyap kembali dan masuk kembali ke dalam genggaman tangannya. Dengan satu sapuan tangan lagi, sosok Dewi Ruby berubah menjadi seberkas sinar merah muda dan segera menghilang dari tempat itu.
Siluman Batu Hitam menghentakkan kakinya ke lantai dengan diliputi oleh segudang amarah yang sudah meluap-luap. Dia juga berubah menjadi seberkas sinar hitam dan menghilang dari tempat itu.
Sinar merah muda dan sinar hitam saling berkejar-kejaran sampai ke pegunungan yang ada di belahan barat Negeri Perak. Kedua sinar dengan dua warna yang berbeda saling berlaga di udara. Namun, apa daya Dewi Ruby… Dia yang hanya seorang dewi dengan tingkat kekuatan yang sedang tidak bisa mengalahkan Siluman Batu Hitam. Akhirnya, sinar merah muda kalah berlaga di udara dan jatuh kembali ke tanah dan berubah kembali menjadi sosok Dewi Ruby.
"Serahkan padaku tiga bintang kemujuran!" dentum Siluman Batu Hitam setelah sinar hitamnya berubah kembali menjadi sosoknya.
"Bunuh saja aku, Batu Hitam! Bunuh saja aku dan dengan demikian, kau bisa mengambil tiga bintang kemujuran!" hardik Dewi Ruby balik.
Satu tali panjang yang berwarna hitam pekat mulai terbang meluncur ke arah Dewi Ruby dengan kecepatan penuh. Dewi Ruby tercekik dan mulai kewalahan.
Oh, Dewa Perak…! Dewa Perak…! Dewa Perak…! Tolong aku, Dewa Perak…! Tolong aku…! Aku rasa aku tidak sanggup meneruskan pertarungan ini lagi…!
"Jangan kira aku tidak sanggup membunuhmu, Dewi Ruby! Semenjak kau memutuskan untuk terjun ke dalam pelukan Dewa Perak sialan itu, aku sudah bersumpah pada diriku sendiri… Jika aku tidak bisa memilikimu, jangan harap dewa-dewa lain bisa memilikimu, termasuk Dewa Perak sialan itu…!"
Cekikan pada leher Dewi Ruby semakin erat. Dia yakin dia takkan bisa bertahan lebih lama lagi.
Dengan sekali sapuan tangan, sinar merah muda bermunculan dari kedua tangannya dan membentuk suatu pusaran energi di udara. Mulai terbentuk dan tampak suatu lorong yang sangat panjang di balik pusaran energi tersebut.
Aku tidak bisa melindungi tiga bintang kemujuran itu di sini lagi. Lambat laun, tiga bintang kemujuran itu akan jatuh ke tangan Siluman Batu Hitam ini! Aku akan mengirim tiga bintang kemujuran ini ke masa lalu, dan memasukkannya pada tubuh tiga manusia yang berbeda, sehingga Siluman Batu Hitam akan kesusahan mencarinya. Iya… Iya… Hanya itulah satu-satunya penyelesaian yang mungkin saat ini…
Begitu pusaran energi sudah mulai menampakkan lorong waktu, dengan selendangnya yang langsung memanjang, Dewi Ruby segera memasukkan tiga bintang kemujuran ke dalam lorong waktu. Siluman Batu Hitam yang sempat melihat apa yang dilakukan oleh Dewi Ruby, juga memanjangkan talinya ke dalam lorong waktu.
"Serahkan tiga bintang kemujuran itu padaku, Dewi Ruby!" hardik Siluman Batu Hitam dengan gigi-giginya yang bergemeretak. "Kenapa kau begitu susah diajak bekerja sama?"
"Aku takkan menyerahkan tiga bintang kemujuran itu padamu! Itu adalah janjiku pada Maha Dewa, dan pada… pada… pada Dewa Perak… Hanya inilah satu-satunya yang bisa kulakukan untuk menebus kesalahanku pada Dewa Perak…"
"Hanya demi dewa sialan itu, kau bersedia mengorbankan hidupmu di sini?" tanya Siluman Batu Hitam dengan pandangan nanar.
"Kau adalah iblis yang tidak mengerti cinta. Kau mana mungkin mengerti posisiku dan perasaanku sekarang," kata Dewi Ruby.
Terjadilah tarik-menarik di dalam lorong waktu. Dewi Ruby mengerahkan segenap kekuatannya untuk mempertahankan tiga bintang kemujuran di dalam lorong waktu. Siluman Batu Hitam mengerahkan segenap kebencian dan keserakahannya untuk mendapatkan apa yang sudah ada di ujung jemarinya.
Oh, tidak…! Akan terjadi gempa dimensi sebentar lagi… Apabila batas di antara kedua ruang dan waktu dipaksakan sedemikian intens, akan terjadi pergolakan dimensi ruang dan waktu… Oh, tidak…!
Benar saja dugaan Dewi Ruby. Sejurus kemudian, mulai muncul riak-riak gelombang dimensi ruang dan waktu. Baik Siluman Batu Hitam maupun Dewi Ruby sudah merasakan kesakitan yang tiada tara begitu riak-riak gelombang dimensi itu semakin kuat dan semakin kuat. Begitu riak-riak tersebut mencapai klimaksnya, tak ayal lagi, gempa dimensi pun terjadi. Siluman Batu Hitam dan Dewi Ruby terhempas jauh dengan luka yang sangat parah pada masing-masing pihak. Sialnya lagi, Siluman Batu Hitam terhempas masuk ke dalam lorong waktu. Dengan sisa-sisa teriakannya, ia lenyap ke dalam lorong waktu.
Dewa Perak terlambat sampai di tempat kejadian. Begitu ia sampai, Dewi Ruby sudah terkulai lemas di tanah dan lorong waktu tersebut sudah tertutup.
"Dewi Ruby! Dewi Ruby! Kau dengar aku, Dewi Ruby?" teriak Dewa Perak mulai histeris. Ia merengkuh sang dewi pujaannya ke dalam pelukannya. "Bangunlah, Dewi Ruby… Bangunlah, Dewi Ruby… Aku mohon… Jangan tinggalkan aku begitu saja…"
Setetes air mata tampak bergulir turun dari pelupuk mata Dewa Perak. Air mata tersebut menetes tepat di atas pelupuk mata Dewi Ruby. Meski lemah, Dewi Ruby masih bisa membuka sepasang matanya. Ia tersenyum lirih melihat sang dewa pangerannya sudah berada di hadapannya.
"Jangan khawatir… Tiga bintang kemujuran sudah aku kirim ke alam manusia di masa lalu. Kumasukkan tiga bintang kemujuran pada tubuh tiga anak manusia. Aku yakin Siluman Batu Hitam akan kesulitan menemukan tiga anak manusia itu, Dewa Perak. Kalaupun ia berhasil menemukan mereka, ia takkan bisa mengeluarkan tiga bintang kemujuran itu dari tubuh mereka dengan mudah. Kau harus terlebih dahulu menemukan tiga anak manusia ini sebelum Siluman Batu Hitam, Dewa Perak… Kumohon… Kumohon…" kalimat demi kalimat Dewi Ruby semakin dan semakin lemah.
"Kenapa…? Kenapa kau harus melakukan semua ini, Dewi Ruby? Kenapa…?" teriak Dewa Perak di puncak keputusasaannya dengan air matanya yang mulai menganak sungai.
"Aku… Aku… Aku pernah bersalah kepadamu, Dewa Perak… Tapi, di kehidupan ini aku juga tidak bisa menyangkal bahwasanya aku tidak mencintaimu. Aku… Aku… Aku begitu takut kau akan terluka untuk yang kedua kalinya… Maafkan aku… Maafkan aku, Dewa Perak… Dalam cinta ini, aku sudah berbuat tiga kesalahan terhadapmu. Jika… Jika… Jika memang ada kehidupan mendatang, akan aku tebus tiga kesalahanku ini…"
Perlahan-lahan tangan Dewi Ruby naik dan membelai-belai wajah sang dewa pangerannya. Dewa Perak meraih tangan tersebut ke dalam genggaman tangannya. Namun, tak peduli seberapa erat ia menggenggam tangan itu, ia tetap tidak bisa mencegah kepergian sang dewi pujaannya.
Dewi Ruby perlahan-lahan mengatupkan matanya. Tangannya sudah lemas nan melorot ke bawah.
Air mata Dewa Perak kian lama kian deras. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. Sosok Dewi Ruby mulai berubah menjadi seberkas cahaya merah muda. Cahaya tersebut akhirnya menghilang dari pelukan Dewa Perak.
Teriakan Dewa Perak bergelitar membahana ke seisi Negeri Perak – tiada batas, tiada tepi…
***
Sudah berhari-hari Dewa Perak tidak muncul di pertemuan lima dewa distrik dengan Maha Dewa. Empat dewa distrik lainnya sudah bertanya-tanya apa sebenarnya yang terjadi. Namun, hanya dengan menghitung-hitung melalui jari-jemarinya, Maha Dewa langsung tahu segalanya. Beliau memutuskan akan ke Negeri Perak mengunjungi Dewa Perak siang ini.
Alhasil, siang ini tampak seberkas cahaya putih melayang turun dari atas cakrawala. Cahaya putih tersebut berubah menjadi sosok Maha Dewa dengan jubah kebesarannya yang berwarna putih cerah dari ujung rambut hingga ujung kaki. Maha Dewa hanya bisa tersenyum kecut melihat Dewa Perak yang masih berada di tengah-tengah keputusasaannya.
"Dewa Perak memberi hormat pada Maha Dewa…" kata Dewa Perak langsung bersujud di hadapan tetingginya.
"Berdirilah…" kata Maha Dewa. Dewa Perak mengangkat kepalanya kembali dan berdiri.
"Sudah berhari-hari belakangan ini kau tidak muncul di pertemuan lima dewa distrik, Dewa Perak…" terdengar kalimat Maha Dewa yang santun dan lembut. "Semuanya sedang bertanya-tanya apa sebenarnya yang telah terjadi padamu. Beta tahu ada sesuatu yang telah terjadi padamu. Oleh sebab itu, siang ini Beta menyempatkan diri ke sini sebentar."
Dewa Perak hanya menganggukkan kepalanya. Dia tidak bisa berkata banyak lagi. Dia tahu Maha Dewa pasti sudah mengetahui segala yang terjadi. Oleh karena itu, dia memilih untuk diam saja.
"Ketahuilah, Dewa Perak…" kata Maha Dewa lagi setelah menghela napas panjang. "Ada satu cara untuk mengembalikan wujud Dewi Ruby seperti semula."
"Hah? Apa itu, Maha Dewa?" tampak sinar mata yang berbaur antara keterkejutan dan harapan baru.
"Karma Dewi Ruby belum habis di alam ini, Dewa Perak. Itu artinya dia sebenarnya masih hidup. Hanya kekuatan dari tiga bintang kemujuran yang bisa mengembalikan wujudnya seperti sedia kala… Kau harus menemukan kembali tiga bintang kemujuran itu, sebelum Siluman Batu Hitam itu mendahuluimu."
"Kalau… Kalau aku boleh tahu…" Dewa Perak tak kuasa meneruskan pertanyaannya.
Seolah bisa membaca pikirannya, Maha Dewa berkata lagi, "Kini tiga bintang kemujuran telah masuk ke dalam tubuh tiga anak manusia – tiga anak manusia yang berasal dari tiga zaman yang berbeda."
Dewa Perak membelalakkan matanya sejenak, "Tiga anak manusia dari tiga zaman yang berbeda? Maksud Maha Dewa adalah, aku harus mengunjungi tiga zaman yang berbeda untuk mengumpulkan kembali tiga bintang kemujuran ini?"
Maha Dewa menggeleng lembut sembari tersenyum lembut pula. Dengan satu jentikan jari, ia menampilkan satu penampakan di hadapan Dewa Perak. Dewa Perak melihat ada tiga ibu di tiga zaman yang berbeda sedang melahirkan anak mereka.
Dimensi yang ditampilkan oleh Maha Dewa terbagi menjadi tiga.
Perbatasan antara Siantar dan Tiga Balata, awal November 1792
"Ayo… Semangat, Bu…" terdengar teriakan si dokter dan kedua susternya yang membantu persalinan si ibu yang pertama ini. Tapi, dalam pakaian seragam mereka di zaman dulu, mereka lebih mirip bidan daripada dokter dan suster.
Setelah menjerit-jerit kesakitan selama beberapa menit, akhirnya terdengar tangisan si bayi…
"Aduh, selamat, Bu…" jerit si suster dengan senang. "Laki-laki, Bu… Selamat ya…"
Baru saja si suster ingin menggendong bayi laki-laki tersebut ke arah ibunya, mendadak guntur dan halilintar sambar-menyambar. Seberkas sinar hijau menyambar masuk ke dalam ruang persalinan dan memecahkan jendela-jendela kaca yang ada di ruangan tersebut. Sedikit gempa dan goncangan terasa. Semuanya terhenyak kaget dan menjerit sesaat. Namun, sungguh mengejutkan bagi mereka, di saat semuanya kembali tenang, bayi laki-laki tersebut sudah tidak ada lagi di tempatnya.
"Mana anakku…? Mana anakku…? Tidak…!" jeritan si ibu mencapai klimaks dan akhirnya ia tenggelam dalam kegelapan yang tak berujung.
Lubuk Pakam, akhir November 1892
Adegan yang hampir sama juga terjadi di sini. Tampak satu dokter dan dua orang suster yang membantu persalinan seorang ibu di dalam suatu kamar bersalin. Setelah menjerit-jerit kesakitan selama beberapa menit, akhirnya tangisan seorang bayi laki-laki juga terdengar.
"Laki-laki, Bu… Selamat ya…" jerit si suster dengan bahagia.
"Aku mau lihat, Suster… Bisa tolong gendong dia ke sini?" terdengar kata-kata si ibu.
Sama dengan adegan yang sebelumnya, baru saja si suster ingin menggendong bayi laki-laki tersebut, guntur, kilat dan halilintar mulai sambar-menyambar. Seberkas sinar kuning yang begitu menyilaukan mata menyambar masuk dan memecahkan semua jendela kaca yang ada di ruangan tersebut. Sedikit gempa dan goncangan terasa. Semuanya terhenyak dan menjerit sesaat. Akan tetapi, begitu semuanya kembali tenang, bayi laki-laki tersebut sudah tidak ada lagi di tempatnya.
Kepanikan serta-merta menggelimuni seisi kamar bersalin tersebut. Langsung si ibu pingsan tidak sadarkan diri begitu menyadari anak yang baru saja ia lahirkan sudah tidak ada lagi di tempatnya.
Medan, pertengahan September 1992
"Ayo, Nyonya Florencia… Sebentar lagi… Sebentar lagi… Semangat, Nyonya Florencia…" terdengar jeritan si suster yang membantu persalinan Nyonya Florencia Quincy Makmur hari itu.
Tampak Nyonya Florencia yang berusaha melahirkan anak pertamanya dengan susah payah. Namun, setelah beberapa menit ia menjerit-jerit kesakitan, akhirnya tangisan bayi laki-lakinya terdengar. Ia lemas di tempat tidurnya.
Mendadak guntur dan halilintar mulai sambar-menyambar. Seberkas sinar merah menyambar masuk dan memecahkan semua jendela kaca yang ada di ruangan tersebut. Sedikit gempa dan goncangan pun terasa. Semuanya terhenyak dan menjerit sesaat. Begitu semuanya tenang kembali, alangkah terperanjatnya seisi kamar bersalin begitu mereka melihat ada tiga bayi laki-laki di bawah selangkangan Nyonya Florencia.
"Hah??? Ada apa ini?" jerit si suster dan dokter kebingungan. "Jelas-jelas tadi… Kenapa sekarang…?"
Jelas si suster dan dokter kehabisan kata-kata untuk menjelaskan fenomena ganjil ini. Nyonya Florencia juga kebingungan. Namun, tubuhnya masih lemas. Ia tidak bisa memikirkan banyak hal. Riak-riak kebahagiaan mulai terbit. Buddha telah mengkaruniainya tiga bayi laki-laki. Sekarang dia punya tiga bayi yang lucu-lucu, dan ketiga-tiganya adalah laki-laki lagi. Kenapa tidak…?
"Gendong anakku ke sini, Suster… Gendong ketiga-tiganya ke sini…"
Si suster yang telah pulih dari kekagetannya segera menggendong ketiga bayi laki-laki tersebut ke pangkuan Nyonya Florencia. Senyuman sumringah nan penuh kebahagiaan mulai bertengger di sudut bibir Nyonya Florencia.
"Tapi, Nyonya Florencia… Dua bayi lainnya itu… itu…" kata si dokter tidak tahu bagaimana caranya menyelesaikan pernyataannya.
"Anggap saja aku melahirkan bayi kembar tiga, Dok. Itulah yang harus kalian katakan kepada orang-orang begitu kalian melangkah keluar dari kamar bersalin ini ya…" pesan Nyonya Florencia sembari mengerlingkan sebelah matanya.
Tiga dimensi kembali menyatu dan lenyap kembali ke dalam genggaman tangan Maha Dewa.
Dewa Perak mangut-mangut, "Jadi karena adanya pergolakan dimensi ruang dan waktu itu, ketiga anak manusia itu jadinya berkumpul di satu zaman yang sama ya…?"
"Begitulah, Dewa Perak… Dengan demikian, kau tidak perlu susah-susah mengunjungi tiga zaman dan menemukan kembali tiga bintang kemujuran itu. Namun, karena kau akan ke alam manusia, kalau tidak begitu terpaksa, kau harus merahasiakan jati dirimu yang sesungguhnya sebagai Dewa Perak. Kau harus memakai jati diri lain di sana. Beta rasa itu takkan menjadi masalah bagimu bukan?" kata Maha Dewa masih dengan senyuman kelembutannya.
Dewa Perak mengangguk mantap.
"Dan tiga bintang kemujuran yang sudah dimasukkan ke dalam tubuh anak manusia tidak bisa dikeluarkan lagi, kecuali anak manusia itu sudah meninggal. Jadi, di sini kau hanya bisa meminjam kekuatan mereka bertiga untuk mengalahkan Siluman Batu Hitam dan mengembalikan wujud Dewi Ruby seperti sedia kala. Mengertikah kau?" tanya Maha Dewa lagi.
Kembali Dewa Perak mengangguk mantap.
"Jika benar ketiga bintang kemujuran itu bisa mengembalikan wujud Dewi Ruby seperti sedia kala, berarti ketiga bintang kemujuran itu benar-benar memiliki kekuatan sakti di alam semesta ini ya… Bukankah begitu, Maha Dewa?" tanya Dewa Perak masih dengan sedikit kerutan di dahinya.
"Begitulah… Tiga bintang kemujuran yang bisa menetralisir segala energi kebencian, keserakahan, dan kebodohan di alam semesta ini. Adakah kekuatan lain yang lebih penting daripada itu?" celetuk Maha Dewa.
"Kalau begitu, boleh aku tahu, Maha Dewa…? Dari mana sebenarnya ketiga bintang kemujuran ini berasal?" tanya Dewa Perak masih kurang mengerti.
Maha Dewa terbahak ringan sejenak, "Dari diri sendiri diperbuat, buah karma juga akan dipetik oleh diri sendiri. Tidak ada yang bisa mempertanyakan lingkaran sebab-musabab hukum karma. Ketahuilah, Dewa Perak… Jika rangkaian sebab-musabab itu berbentuk seperti sebuah rantai lingkaran, tahukah kau mana mata rantai yang pertama dan mana mata rantai yang terakhir?"
"Tentu saja aku tidak tahu, Maha Dewa…" kata Dewa Perak menggeleng lembut.
"Dari diri sendiri diperbuat, buah karma juga akan dipetik oleh diri sendiri. Kelak ketika buah karmamu sudah matang, kau akan mengerti dengan sendirinya."
Maha Dewa membuka sepasang telapak tangannya. Di belakang Dewa Perak terbukalah suatu lorong dimensi ruang dan waktu yang berwarna putih cerah. Dewa Perak memberi hormat kepada tetingginya sekali lagi sebelum akhirnya ia terjun masuk ke dalam lorong putih tersebut.
"Dari diri sendiri diperbuat, buah karma juga akan dipetik oleh diri sendiri…" kata Maha Dewa menggeleng lirih sebelum akhirnya ia berubah menjadi seberkas cahaya putih dan menghilang dari tempat tersebut.
Medan, awal Oktober 2018
Lorong kembali terbuka dan akhirnya Dewa Perak mendarat di suatu halaman bangunan modern di alam manusia. Sinar matahari siang yang terik menyinari dirinya. Dia melihat ke bangunan modern tersebut. Tampak tulisan di alam manusia "Solidaritas Abadi" besar-besar di sana.
Jadi tiga bintang kemujuran ada di zaman ini, di negeri ini, dan di kota ini. Aku harus berlomba dengan Siluman Batu Hitam itu… Aku harus terlebih dahulu menemukan tiga bintang kemujuran itu. Tapi, di antara lautan manusia, mana tiga di antaranya yang dimasukkan tiga bintang kemujuran oleh Dewi Ruby?
Kebingungan mulai mengeriap hidup dalam rangkup pikiran Dewa Perak.
***
Singapura, 5 Januari 2019
Kebingungan mulai mengeriap hidup dalam rangkup pikiran Erdie Vio.
Erdie Vio berkeliling di sekitar perusahaan musik tempat ia bernaung selama beberapa tahun terakhir ini. Ia melihat adik-adik juniornya sedang berlatih tarikan suara, gerakan-gerakan tarian dalam lagu-lagu mereka dan formasi-formasi dalam tarian mereka. Tampak sang koreografer memberikan petunjuk dan arahan kepada anak-anak didiknya. Sebenarnya ia masih menikmati hidupnya di Singapura sini, tapi tetap saja tidak ada kenikmatan yang permanen bukan?
Erdie Vio menghela napas panjang. Dia sudah akan meninggalkan semua ini. Dia akan kembali ke tanah airnya menghadapi dan menyelesaikan segalanya yang sudah terpendam dan tertunda selama lima tahun belakangan ini.
"Yakin mau kembali ke Medan?" tanya Qenny Winston Lee dari belakang. Qenny Winston menyodorkan sekaleng minuman ke Erdie Vio.
Erdie Vio mengangguk mantap. Erdie Vio meneguknya sampai habis.
"Cepat sekali kau minum…" ujar Qenny Winston.
"Karena haus…" kata Erdie Vio tampak berseloroh.
"Kapan terbang?" tanya Qenny Winston Lee lagi.
"Sabtu depan, Pak Qenny Winston…" kata Erdie Vio kembali menghela napas panjang. "Baru rasanya kemarin aku tiba di sini dan menjadi anak didikmu, Pak Qenny Winston. Sekarang tak tahunya kontrak sudah berakhir dan aku sudah akan kembali ke kampung halamanku."
"Ya… Aku mendukung setiap keputusanmu, Die…" kata Qenny Winston Lee. "Kau adalah anak didik terbaik yang pernah kutemui dalam perusahaan ini. Kalau ada waktu, sempatkanlah jalan-jalan sebentar ke sini. Banyak adik juniormu sana yang membutuhkan arahan dan ajaranmu."
Erdie Vio tertawa renyah, "Tidak, Pak Qenny Winston. Aku tidak sehebat itu. Kadang tarian dan nyanyianku di panggung pun bisa bersalahan."
"Good luck, Die…" kata Qenny Winston akhirnya. Keduanya saling bersulang sejenak dan pandangan mata tetap tertuju pada sekumpulan adik junior yang sedang training di dalam ruangan latihan.
Segenap kegelisahan bergelitar di pucuk pikiran Erdie Vio.
***
Los Angeles, 6 Januari 2019
Segenap kegelisahan bergelitar di pucuk pikiran Erwie Vincent.
Erwie Vincent berada di apartemennya. Di Minggu pagi begini, dia tidak ke mana-mana dan memutuskan untuk menelepon sang mama di Medan. Terdengar nada tunggu di seberang, dan akhirnya terdengar suara Nyonya Florencia yang menjawab telepon.
"Halo, Wie… Nah, sudah sejak November tahun lalu Mama ingin bertanya padamu tentang satu hal. Akhirnya hari ini masih ingat Mama kau ya…" Nyonya Florencia sedikit menggerutu.
"Aku selalu ingat dengan Papa dan Mama di Medan," kata Erwie Vincent lemah lembut sembari mengulum senyumannya. "Ada apa sih, Ma?"
"Jujur sama Mama… Apakah benar di Los Angeles sana kau sudah memiliki tambatan hati?" tanya Nyonya Florencia langsung ke pokok permasalahannya.
Erwie Vincent sedikit terkejut, "Lho? Dari mana Mama tahu?"
"Informan Mama di sini banyak, Wie… Sekarang jawab dengan jujur… Iya atau tidak?"
Erwie Vincent tampak kembali mengulum senyumannya, "Iya, Ma…"
"Cepat pulang dan kenalkan gadis itu kepada Papa dan Mama, Wie…" langsung Nyonya Florencia mencerca anak keduanya dengan berbagai permintaan dan tuntutan.
Suaminya yang ada di samping hanya bisa mendengus melihat ketidaksabaran istrinya. Namun, dia hanya diam saja karena ia tahu kalau sudah penasaran, istrinya itu tidak bisa dihalangi oleh siapa pun.
"Oke, Ma… Oke, Ma… Memang itu rencanaku, Ma… Jumat lalu sudah menjadi hari terakhirku kerja di hotel, Ma… Jangan khawatir. Aku akan bawa dia ke Medan dan memperkenalkannya pada Papa dan Mama dan… dan… dan pada Erick dan Erdie juga…" kata Erwie Vincent setelah ia berhenti selama beberapa saat.
"Sudah lima tahun berlalu, Wie… Kali ini jika kalian belum berbaikan, kalian tidak boleh bubaran dulu ya… Mengerti kau?" terdengar suara Nyonya Florencia yang mulai serius di seberang.
"Oke, Ma… Oke… Pasti…" kata Erwie Vincent masih dengan senyuman santainya.
"Oke… Cepat kembali, Wie… Mama sudah rindu sekali padamu… Oke…?"
"Oke, Ma…" kata Erwie Vincent meledak dalam tawa santainya.
Hubungan komunikasi pun terputus. Kembali Erwie Vincent menerawang keluar jendela apartemennya ke jalanan yang mulai aktif di bawah sana. Salju lebat masih bertebaran di mana-mana.
Erwie Vincent akan segera kembali ke Medan. Bagaimanapun juga, dia merasa hubungannya dengan Julia Dewi tetaplah membutuhkan doa restu dari kedua orang tuanya. Oleh sebab itu, dia memutuskan dia akan kembali ke Medan dan memperkenalkan Julia Dewi pada kedua orang tuanya dan pada kedua saudaranya.
Rick… Die… Ada di mana sih kalian sekarang…? Akankah kalian kembali ke Medan juga Sabtu depan? Masih maukah kalian menerimaku setelah pertengkaran hebat kita lima tahun lalu?
Sekelumit keresahan menggeligit pesisir sanubari Erwie Vincent.
***
Sydney, 8 Januari 2019
Sekelumit keresahan menggeligit pesisir sanubari Erick Vildy.
Erick Vildy keluar dari ruangan kepala sekolah setelah ia menerima pesangonnya. Memang sudah menjadi kesepakatannya dengan Melisa Rayadi bahwa hari ini adalah hari terakhir mereka kerja di tempat kerja masing-masing. Erick Vildy bersyukur dalam hati. Kepala sekolah ini baik sekali masih mau memberinya pesangon meski ia mengajar belum sampai satu tahun di sekolah ini.
Sembari mengencangkan baju dinginnya, Erick Vildy sudah tiba di depan gerbang sekolah. Lagi-lagi Melisa Rayadi sudah menunggunya di deretan kursi tunggu yang berjejer di depan gerbang sekolah.
"Lho? Kok cepat kau? Ini baru jam dua belas loh… Kau tidak ada kelas sampai dengan siang nanti?" tanya Erick Vildy sedikit mengerutkan dahinya.
"Kebetulan mereka sudah menemukan seorang dosen penggantiku. Hari ini hari pertama ia masuk kelas. Jadi, setelah aku titip pesan padanya mengenai segala sesuatu, dan setelah aku pamitan dengan Quiddie Smith dan yang lain, aku pulang sebentar ke apartemenku ganti pakaian. Setelah itu, aku datang ke sini menunggumu loh…" kata Melisa Rayadi sembari tersenyum cerah.
"Oh, berbeda denganku yang katanya tetap wajib menyelesaikan semua pertemuanku sampai dengan jam setengah dua belas tadi…" kata Erick Vildy sembari mengangkat sepasang bahunya. "Tapi, kepala sekolah ini sudah bisa dibilang baik deh."
Mereka sudah keluar dari gerbang sekolah dan kini tampak berjalan ke arah stasiun MRT terdekat.
"Kenapa?" tanya Melisa Rayadi menatap ke arah sang pangeran pujaannya.
"Meski aku mengajar di sekolah ini belum sampai satu tahun, kepala sekolah ini tetap memberiku pesangon. Tidak banyak sih, tapi itu sudah cukup membuatku menghormati dan menghargainya, Mel."
Tampak mereka menuruni anak-anak tangga ke stasiun MRT yang ada di bawah tanah. Sejurus kemudian, tampak mereka sudah menunggu MRT di platform yang sudah disediakan.
"Yah, anggap saja kau beruntung, Rick…" celetuk Melisa sembari tersenyum lembut. "Jadi malam ini kau akan perpisahan dengan Ana, Iwan, Paul dan yang lainnya itu…?"
"Yah begitulah… Kau ikut juga dong… Kau kan sudah menjadi bagian dari mereka juga. Minggu kemarin saja waktu aku bilang pada mereka tentang kepulangan kita ke Medan dan rencanaku untuk mengadakan semacam pesta perpisahan, mereka pun bertanya kau ada ikut atau nggak. Ikut ya…" kata Erick Vildy dengan sebersit seringai nakal.
"Kau tahu aku paling tidak tahan dengan suasana dalam suatu pesta perpisahan," tukas Melisa Rayadi sedikit menggerutu.
"Tapi tetap harus dijalani, Mel…" kata Erick Vildy dengan sedikit pandangan menerawang.
"Begitu juga dengan pertemuan, Rick… Iya nggak?" tukas Melisa Rayadi juga dengan sepasang matanya yang berbinar-binar.
Erick Vildy tertawa renyah, "Sepertinya kau sudah tidak sabar dengan reunian 3E, Mel… Jangan-jangan… Jangan-jangan kau memiliki suatu rencana terselubung lagi di balik reunian 3E ini, Mel… Serius… Aku mulai berpikiran yang tidak-tidak semenjak melihat sinar matamu yang berbinar-binar itu akhir-akhir ini…"
Melisa Rayadi mengulum senyumannya. Tak disangka-sangka MRT yang mereka tunggu ternyata sampai lebih cepat siang itu.
Melisa Rayadi menarik tangan sang pangeran pujaan ke dalam MRT, "Ayo… Kita cari tempat makan siang yang cocok siang ini, Rick. Perut sudah lapar…"
"Lagi-lagi kau mengalihkan pembicaraan, Mel…" kata Erick Vildy seraya merapatkan sepasang bibirnya.
Erick Vildy ikut putri pujaannya masuk ke dalam MRT. MRT melaju meninggalkan stasiun dengan kecepatan penuh.
Kebingungan mulai mengeriap hidup dalam rangkup pikiran Erick Vildy.