webnovel

Pilih cium atau...

"Begini...ehem." Ayahnya berdehem. "Kamu dan Nico tinggal bersama. Seingat ayah kamu menyewa unit apartemen kecil dengan satu kamar tidur. Lalu kalian berdua ...apa kalian..."

Benar dugaannya. Sulit sekali menanyakan hal itu tanpa rasa canggung. Dia bahkan tidak bisa menyelesaikan kalimatnya dengan benar. Tapi sebagai seorang ayah, Harris Hartono sangat khawatir dengan keadaan putrinya. Bagaimana jika tiba-tiba terjadi kehamilan di luar menikah? Nama baik keluarga lag-lagi menjadi taruhannya.

Meskipun terbilang polos, Sandra tidak begitu bodoh. Tentu saja, dia tahu apa yang dimaksud ayahnya. Dia menunduk dengan malu menyembunyikan waja merahnya dari hadapan sang ayah. Seolah-olah dia benar-benar melakukan hal yang dimaksudkan ayahnya.

"Kami awalnya tidur terpisah... aku masih punya sofa di ruang tamu. Tapi sejak mulai berpacaran, kami, hehe, mulai tidur di tempat tidur yang sama. Tapi tenang saja ayah. Aku sudah dewasa, aku pasti bisa menjaga diri dan tidak melakukan hal yang ceroboh".

Setelah cukup lama memikirkan jawaban yang tepat, Sandra memberanikan diri untuk menjawab. Berusaha meyakinkan ayahnya itu.

"Baiklah..hmm," ayahnya diam sejenak. "Kalau memang kamu tidak bisa menahannya, pastikan menggunakan pengamanan, oke?"

Membicarakannya saja membuat jantung tua ayahnya itu hampir copot. Tapi ia percaya kepada Sandra. Putrinya yang sudah dewasa itu pasti sudah paham dengan konsekuensinya.

Secara reflek Sandra menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Astaga memalukan sekali membicarakan ini dengan ayahnya. Gadis itu hanya mengangguk sambil masih menutupi wajah.

"Baiklah ayah, kalau sudah tidak ada pembicaraan lain. Aku pergi dulu."

Ya saat ini lebih baik Sandra kabur sebelum suasana menjadi lebih canggung. Ayahnya pun mengiyakan.

Di ruang tamu lantai satu, hanya Kalina yang masih duduk di sofa . Sandra berlari kecil

menuruni tangga, berpura-pura tidak melihatnya, dan dengan cepat berlari keluar.

"Tunggu Sandra, apakah kamu tidak akan tinggal untuk makan malam?", ujar Kalina dengan ramah.

"Tidak, aku masih ada urusan lain." Sandra menjawab sambil terus berlari.

Tak lama kemudian, Harris Hartono juga berjalan menuruni tangga. Kalina segera menghela nafas memandang kedatangan suaminya.

"Lihat itu. Kedua putriku sama sekali tidak ada yang mendengarkanku. Diana pergi entah kemana karena kesal aku tidak membelanya. Sandra juga tidak mempedulikanku. Sepertinya ibu yang tidak berguna sepertiku memang tidak memiliki tempat di hati mereka."

Mendengar keluh kesah istrinya, Harris Hartono tersenyum dengan lembut, dan memeluk pinggang istrinya. "Mereka semua memang sudah mulai dewasa, jadi suka memberontak. Setidaknya saya aku tahu bahwa istriku sudah berusaha keras membesarkan mereka dengan baik"

Kalina tersenyum dan bersandar di bahu suaminya. "Terima kasih. Itu membuatku merasa lebih baik"

......

"Aku kembali!"

Sandra berdiri di depan pintu rumah dengan gembira dan mengetuk pintu. Dia lupa membawa kunci, dan hanya bisa menunggu Nico membuka pintu.

Pintu terbuka, dan pria jangkung dan tampan berdiri di depannya. Dia baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya basah dan tidak teratur, tapi dia tetap terlihat stylish dan jantan. Hanya handuk mandi putih yang dililitkan di pinggangnya, memamerkan dadanya yang bidang.

Sandra tertegun untuk beberapa saat. Matanya tidak bisa melihat ke arah lain, begitu terpaku dengan sosok di hadapannya. Meskipun saat pertama kali bertemu ia pernah melihat Nico bertelanjang dada saat mengobati lukanya, tapi saat ini pun Sandra masih terpesona dan melongo dengan wajah bodoh. Tubuh Nico masih sama seperti dulu, terlihat kokoh dengan otot-otot yang terbentuk sempurna.

Tangan Sandra terasa gatal, seolah ingin menggapai tubuh di hadapannya. Tidak hanya menggapainya, ia bahkan memikirkan untuk menerkamnya dengan ganas. Astaga, apa yang dia pikirkan. Tapi sungguh, semua gadis normal pasti memikirkan hal serupa ketika melihat pemandangan indah yang saat ini dinikmati oleh Sandra.

Nico tidak bodoh. Ia tahu betul akan pesona dirinya. Melihat Sandra diam membeku menatapnya membuat hatinya terasa panas. Gadis itu pasti memikirkan sesuatu yang nakal. Tanpa basa-basi ia langsung menggendong gadis itu dan berjalan ke kamar tidur.

"Sayang, selamat datang di rumah. Aku sudah menunggu lama." Nico membungkukkan tubuhnya, bibir tipisnya jatuh ke telinga Sandra, berbisik dengan nakal.

Dalam sekejap, seakan ada arus listrik yang melonjak dari ujung kaki hingga ujung kepala Sandra.

"Sayang? Geli sekali mendengarnya."

Sandra selalu tidak suka mengakui perasaannya. Sungguh dia senang mendengar Nico memanggilnya dengan mesra. Tapi ia masih tidak ingin pria itu mengetahui bahwa dirinya tergila-gila dan begitu menginginkannya.

"Oke kalau tidak mau. Ada banyak wanita yang ingin menjadi kekasihku lho. Hanya ada satu tempat di hati ini. Apa kamu benar-benar tidak menginginkannya?" Nico tak henti-hentinya menggoda gadis itu.

"Berhenti menggodaku." Sandra siap memukul dada pria di hadapannya. Ia mengayunkan tangannya dengan tenaga penuh seakan bersiap untuk memukul mundur pria itu sampai terjatuh. Tapi tentu saja hal itu tidak akan terjadi mengingat perbedaan tubuh dan kekuatan keduanya yang begitu kontras.

Di saat yang bersamaan, telapak tangan Nico secara aktif menyerang dan menangkap tinju Sandra sebelum mendarat di dadanya. Pria itu tidak melepaskan tangan Sandra dan langsung mendorong gadis itu hingga jatuh ke atas tempat tidur. Tidak ingin membiarkan Sandra mengelak lagi, ia langsung merebut ciuman dari bibir mungil gadis itu.

Untuk sesaat, Sandra seperti ingin pingsan dengan lemah di pelukannya.

"Dalam hidup ini, aku hanya menginginkanmu." Nico kembali menegaskan perasaannya pada Sandra.

Gadis itu tidak berbicara, dia hanya menatapnya dengan bodoh. Pria ini tidak akan berhenti sampai membuatnya lemas tak karuan. Keduanya berpelukan erat di tempat tidur. Kemudian Nico menarik mundur kepalanya mencoba menatap gadis yang berada di pelukannya.

"Sekarang saatnya aku menagih janjimu."

Suaranya yang lembut itu membuat Sandra merasa nyaman. Tapi perasaan nyaman itu langsung berganti dengan rasa gugup. Pria ini begitu bersemangat dan tidak sabaran dengan apa yang dijanjikan Sandra.

Benar juga. Ia telah berjanji untuk menciumnya lebih dahulu. Sebenarnya Sandra tidak mengerti, bahkan mereka baru saja berciuman. Apa bedanya ketika dirinya yang mengambil inisiatif? Apa pria ini ingin Sandra yang mengambil kendali penuh? Oh tidak! Bagaimana caranya? Selama ini ia hanya mengikuti saja. Tanpa sadar Sandra menjilat bibirnya yang mulai kering. Masih belum siap untuk melakukan serangan.

"Kenapa diam saja? Kalau kamu terlalu malu...panggil saja suamimu ini dan serahkan semuanya padaku, bagaimana?" ujar Nico dengan lembut.

Sandra tertegun. Suami? Memangnya mereka ini apa, pengantin baru?

Pada saat itu juga, Sandra memikirkan apa yang dikatakan ayahnya hari ini. Dalam sekejap, jantungnya menjadi semakin berdebar dan dadanya terasa sesak dipenuhi oleh rasa malu. Siapa sangka bahwa hal yang dengan canggung dibicarakan dengan ayahnya tadi bisa jadi akan terjadi malam ini juga. Pikiran Sandra berkelana kemana-mana. Bagaimana dengan pengaman? Ah, sebelum itu. Bagaimana dengan kesiapan dirinya? Ini benar-benar pertama kalinya dia memikirkan hal seperti ini.

"Apa yang kamu pikirkan sampai diam begitu? Memikirkan sesuatu yang nakal ya?"

Nico menyeringai.

"Tidak!", bantah Sandra cepat. Meskipun sedikit berbohong.

"Panggil aku suamimu atau cium aku. Pilih saja." Nico terus menyerang gadis itu tanpa ampun. Permintaannya sungguh aneh. Membuatnya semakin panik dan tidak tahu harus berbuat apa. Apa yang akan terjadi dengan Sandra malam ini?

次の章へ