Author Point of View
Hamlin High School, 08.00 a.m
"Aku rasa kita datang terlalu pagi,"
Jiyeon melihat sekolah yang masih sepi, hanya ada beberapa siswa yang berjalan menuju kelas mereka. Dong Yoon hanya mengangguk menanggapi pernyataan Jiyeon. Ini adalah hari pertama mereka kembali ke bangku sekolah demi menyelesaikan kasus. Hanya mereka berdua memang, Minho sengaja datang lebih siang karena perannya sedikit berbeda dengan dua orang ini. Jiyeon dan Dong yoon melewati lorong yang panjang untuk sampai ke ruang kepala sekolah. Mereka harus ke sana agar tahu di mana kelas mereka. Tidak ada yang tahu identitas dan tujuan mereka kembali ke sekolah kecuali kepala sekolah.
"Rasanya aneh sekali kembali ke sini," ujar Jiyeon sambil membenarkan letak kacamatanya.
"Kau lulusan Hamlin?" tanya Dong Yoon kaget. Yang benar saja seorang siswa lulusan sekolah seni menjadi seorang detektif.
"Memangnya kenapa?" tanya Jiyeon balik saat melihat wajah tidak percaya Dong Yoon.
"Pantas saja kinerjamu selama ini sepe_ arrgh!"
Jiyeon menendang tepat di tulang kering kaki kanan Dong Yoon menyebabkan lanjutan kata pria itu hanya bisa ditelannya kembali.
"Jangan anggap remeh anak sekolah seni! Semua pekerjaan itu butuh seni kau tahu!" kesal Jiyeon.
"Aku tidak menganggap remeh, hanya saja kau seperti salah tempat! Kau kan bisa menjadi idol!"
"Awalnya aku berpikir jika menjadi idol tidak akan bisa menikmati hidup, karena terlalu banyak jadwal jadi aku memutuskan untuk menjadi seorang profiler saja. Lagi pula orangtuaku tidak suka jika aku menjadi idol, oleh karena itu ayahku mati-matian melatihku taekwondo dan berharap aku menjadi atlet. Tapi, aku entah mengapa jadi tertari dalam dunia ini dan meminta izin kepada mereka untuk mengambil jurusan kriminologi. Dan tada~ jadilah aku yang sekarang. Kau sangat beruntung karena bisa mendengar kisahku ini!" jelas Jiyeon panjang lebar. Dong Yoon hanya menggaruk kepalanya merasa masih ada yang aneh.
"Tunggu dulu! Bukankah kata Baekhyun kau dan Minho satu sekolah? Jadi, Minho juga_"
"Iya! Bocah itu juga lulusan Hamlin, anehnya dia waktu itu sudah menjadi traine di SM Entertaiment tapi malah tidak melanjutkannya dan kau tahu? Aku sangat terkejut saat tahu dia juga masuk dijurusan yang sama denganku waktu itu. Hanya saja kami beda konsentrasi di akhirnya. Aku kadang tidak bisa mengerti dengan pemikiran bocah itu!"
"Kalian memang tidak dekat ya? Bukannya kalian juga hidup bertetangga?"
"Sebenarnya kami waktu kecil sering bermain bersama tapi dia sempat pindah ke luar negeri dan baru kembali saat SMA. Jadi, sudah agak canggung. Ya, begitulah,"
Koridor yang panjang tadi akhirnya sudah memperlihatkan satu titik yang menjadi tujuan mereka. Setelah mengetuk mereka disilakan masuk. Jiyeon sih biasa saja melihat ruangan itu karena tidak banyak perubahan dari sebelum-belumnya. Berbeda dengan Dong Yoon, mulutnya menganga karena takjub. Dong Yoon berasal dari pinggir kota jadi menurutnya ini sangat megah untuk ukuran ruang kepala sekolah, jauh berbeda dari sekolahnya dulu.
"Kalian duduklah! Sebentar lagi wali kelas kalian akan datang dan menunjukkan ruang belajar kalian. Jiyeon-ah, kudengar dari Ketua Kim jika Minho juga akan bergabung dengan kalian. Tapi, kenapa dia belum datang?" tanya Kepala sekolah.
"Ah, mungkin dia akan sedikit terlambat. Dia terlalu mendalami perannya, hahahaha."
Tawa Jiyeon mencoba mencairkan suasana, dia merasa tegang karena kembali berhadapan dengan orang nomor satu di gedung ini.
"Ah, begitukah? Hahaha," balas tuan Jung, kepala sekolah.
"Tuan Jung, mohon bantuannya!" kata Dong Yoon sambil menjabat tangan tuan Jung.
"Ah, iya. Aku juga akan membantu sebaik mungkin. Aku tidak tahu mengapa kejadian seperti ini bisa terjadi di sekolah kami. Mohon bantuannya juga untuk membersihkan nama sekolah kami," kata tuan Jung ramah.
Suara ketukan pintu dari luar terdengar. Tuan Jung mempersilakan untuk masuk. Pria khas seorang guru datang, wajahnya masih bisa dibilang tampan.
"Guru Nam, ini adalah dua siswa baru yang akan mengisi bangku kosong di kelas Anda!" beritahu tuan Jung kepada pria yang baru saja masuk tadi.
"Kalau begitu saya mohon izin untuk membawa mereka ke kelas," kata guru Nam.
"Silakan!"
Mereka bertiga meninggalkan ruang kepala sekolah dan diantar dengan senyuman oleh kepala sekolah.
"Hais, anak-anak nakal itu ada saja ulahnya. Bagaimana jika nama baik Hamlin akan tercoreng selamanya? Aku akan menangkap para bajingan tengik itu," umpat kepala sekolah sambil memijat pelipisnya.
. . .
"Kalian ingin berkeliling dulu?" tanya guru Nam.
"Jika tidak merepotkan kami sangat senang," jawab Dong Yoon.
"Hahaha, tidak sama sekali. Lagi pula masih ada waktu empat puluh menit sebelum masuk kelas. Ah, apa kalian kembar?" tanya guru Nam lagi.
"Tidak, kami saudara sepupu! Tapi, aku tinggal bersama keluarganya karena aku berasal dari desa," jawab Dong Yoon seperti yang dimandatkan ketua Kim.
Jiyeon masih sibuk melihat sekolahnya ternyata ada beberapa yang berubah sehingga mulutnya membentuk huruf o. Berbeda saat mereka baru datang tadi, sekarang sudah banyak siswa yang berdatangan. Tidak sedikit yang menatap mereka karena mungkin merasa asing. Jiyeon sangat tidak suka menjadi pusat perhatian.
"Apakah aku masih terlihat cantik dengan dandanan ini?" tanya Jiyeon pada Dong Yoon dengan berbisik.
Dong Yoon menatap Jiyeon dari atas sampai bawah. Kepalanya mengangguk.
"Sangat menakjubkan," katanya.
Jiyeon tersipu sambil memukul lengan Dong Yoon pelan.
'Pantas saja mereka semua menatapku seperti itu,' pikir Jiyeon.
"Kau sangat bagus menjadi sasaran si tukang bully, kau memang hebat berdandan!" lanjut Dong Yoon sambil memberikan jempolnya dengan suara pelan agar tidak terdengar guru Nam.
Mendengar kelanjutan ucapan Dong Yoon hampir saja menyemburkan racun berbisanya jika saja sebuah suara tidak mengintrupsinya.
"Oi, Park Jiyeon! Hahaha,"
Suara tawa di ujung koridor menjadi pusat perhatian. Pria tinggi, tegap dan rupawan sedang memegangi perutnya karena terlalu banyak tertawa.
"Choi Minho! Beraninya kau menertawaiku seperti itu," geram Jiyeon pelan. Dia masih sadar diri untuk tidak menumpahkan sumpah serapahnya di sini.
"Hahaha, kau tidak pernah berubah. Dandananmu itu_ hahahaha,"
Minho masih saja menertawainya sambil berjalan menghampiri Jiyeon. Siswa yang melihatnya tidak bisa berhenti berkata "Wah" karena ketampanan Minho. Seragam sekolahnya yang tidak terkancing dan kaki jenjangnya yang melangkah bak model, jangan lupakan wajah rupawannya dengan mata besarnya itu.
"Tahan emosimu, ingat ini sebagian dari misi. Minho kan ceritanya memang berandal," bisik Dong Yoon menenangkan Jiyeon.
"Aku tahu!" marah Jiyeon dengan suara rendahnya dan mengabaikan Minho.
Guru Nam menatap Minho lalu setelahnya mengajak Jiyeon dan Dong Yoon ke kelas saja karena koridor sudah mulai rusuh akibat kedatangan pria tampan yang tidak lain adalah Minho.
"Kalian mengenalnya?" tanya guru Nam pada keduanya.
"Dia adalah teman di sekolah lama kami, dia memang agak berandalan makanya tingkah seperti itu walaupun di hadapan guru. Maafkan teman kami, guru Nam," kata Dong Yoon mewakili.
"Tidak masalah. Nah, ini kelas kalian. Kepala sekolah berpesan agar kalian di jadikan satu kelas," kata guru Nam dengan senyumnya.
Jiyeon hampir saja terpesona, baru kali ini ia menemukan guru sesempurna guru Nam.
'Pasti umur kami tidak begitu jauh, bisa saja kan jika kami ternyata berjodoh,' pikirnya dengan tersenyum.
"Jika ada masalah jangan sungkan untuk mengatakannya kepada saya," kata guru Nam menatap Jiyeon yang masih sibuk tersenyum.
Mereka berdua mengangguk dan masuk ke dalam kelas. Kelas yang awalnya bising menjadi hening.
"Wah, anda baik sekali membawakan hiburan untuk kami, guru Nam. Tapi, sayangnya saya tidak suka badut! Hahahaha,"
Semua murid tertawa setelah mendengar pernyataan seorang murid di pojok kelas. Jiyeon meremat jemarinya menahan kesal karena tidak bisa melampiaskan amarahnya.
"Dia tidak tahu saja seberapa cantiknya aku, cih. Mukanya saja seperti gilingan tebu begitu. Ingatkan aku untuk tidak merobek mulutnya itu!" bisik Jiyeon kesal yang hanya bisa di dengar oleh Dong Yoon.
"Namjoon-ssi, jaga bicaramu!" tegur guru Nam.
"Saya membawa dua murid tambahan penghuni kelas ini, saya harap kalian akan segera akrab. Kalian perkenalkan diri terlebih dulu!"
"Annyeonghaseyo, Park Jiyeon imnida! Bangapseumnida,"
"Annyeonghaseyo, Jang Dong Yoon imnida! Bangapseumnida,"
Tanggapan dari teman-teman sekelas mereka sangat dingin, tidak ada yang semangat sama sekali. Dong Yoon sudah menduga karena sebenarnya kehadiran mereka tidak diinginkan sama sekali. Jiyeon masih mencoba menahan kekesalannya, karena dia bukan tipe orang yang terabaikan selama ini.
"Kalian duduklah di bangku yang kosong! Saya akan segera kembali dan membawakan kalian kejutan yang lain. Ributlah sebelum saya benar-benar melarangnya nanti!"
Guru Nam segera pergi setelah memperkenalkan Jiyeon dan Dong Yoon. Bisik-bisik dari murid di kelas membuat telinga Jiyeon panas. Dong Yoon mencoba menyabarkan Jiyeon dan mengingatkan misi mereka.
Guru Nam kembali ke ruangan kepala sekolah untuk menjemput Minho. Ada sedikit perubahan, awalnya Minho akan diletakkan di kelas yang berbeda tapi untuk mempermudah jadi dia digabungkan dengan dua cupu tadi.
. . .
"Kuharap kau tidak membuat ulah di sini!" kata guru Nam pada Minho yang sekarang berdiri di sampingnya menuju kelas.
"Tergantung situasi dan kondisinya, Saem(2)!" jawab Minho cengengesan. Dia benar-benar mendalami perannya.
Guru Nam kembali ke kelas dengan membawa Minho. Kali ini suasana berubah. Kaum hawa berteriak karena melihat pria tampan yang membuat gaduh koridor tadi. Sudah bisa ditebak, Minho akan menjadi idola baru di Hamlin.
"Yak! Suara kalian besar sekali, jika di suruh bernyanyi tidak ada yang keluar suaranya." Tegur guru Nam.
"Perkenalkan dirimu dan setelah duduk di bangku kosong itu!" perintah guru Nam.
"Choi Minho imnida!"
Perkenalan yang singkat, Minho langsung berjalan menuju bangkunya. Pandangannya bertemu dengan Jiyeon. Senyum mengejek Minho membuat Jiyeon bernapsu untuk melepas sepatunya dan memasukkannya ke mulut lebar Minho.
"Kurasa kalian sudah puas bergosip, kan. Jadi, kita mulai saja pelajaran hari ini. Ini pengenalan materi jadi kalian harus benar-benar menyimaknya jika tidak mau salah kenalan. Mengerti?"
Semua murid menjawab dengan semangat. Guru Nam adalah salah satu guru terbaik dengan metode pengajaran yang menyenangkan jadi tidak heran banyak murid yang menyukainya tentu saja selain karena wajah tampannya juga menjadi faktor pendukung.
Kelas berakhir dengan cepat karena pelajaran yang menyenangkan. Waktunya istirahat, murid perempuan berbondong-bondong menghampiri meja Minho berniat untuk berkenalan. Ada juga beberapa murid laki-laki yang sepertinya berandalan. Sementara meja Dong Yoon dan Jiyeon benar-benar lengang. Tidak mau ambil pusing, Jiyeon mengajak Dong Yoon untuk ke kantin membeli beberapa makanan dan mencari tempat untuk membicarakan misi mereka.
"Jiyeon-ah, kau mau ke kantin?" tanya seorang murid perempuan. Dia adalah wakil ketua kelas. Jiyeon merasa senang dan juga heran karena ada yang menganggap eksistensinya.
"Iya, Sejeong-ssi," jawab Jiyeon setelah melihat name tag di baju gadis itu.
"Kalau begitu kita bersama saja," ajak Sejeong.
"Tapi, Dong Yoon_"
"Ajak saja, lebih ramai kan lebih bagus."
Mereka berjalan bertiga menuju kantin. Walaupun masih heran Jiyeon tetap memberikan senyum terbaiknya kepada Sejeong. Dia teman pertama Jiyeon di sekolah ini, tentunya pada periode ini. Jiyeon sesekali menatap Dong Yoon berniat memberi kode tapi Dong Yoon benar-benar tidak peka.
"Kalian mau pesan apa? Biar aku yang akan memesannya, anggap saja service selamat datang."
Dong Yoon menatap Jiyeon, begitu juga sebaliknya.
"Samakan saja dengan pesananmu, Sejeong-ssi. Ah, maaf jadi merepotkan!" kata Jiyeon merasa tidak enak.
"Jangan merasa sungkan dan panggilah aku dengan panggilan akrab kita kan teman satu kelas!"
Sejeong langsung mengantri untuk memesan makanan dan Jiyeon Dong Yoon mencari tempat duduk. Kantin sangat ramai untunglah masih ada beberapa bangku yang kosong. Jiyeon menendang tulang kering Dong Yoon sesaat setelah duduk di bangku. Dong Yoon menatap Jiyeon heran karena tidak tahu apa salahnya.
"Kau itu tidak peka sekali sih! Aku dari tadi menatapmu dan memberimu kode," kata Jiyeon geram dan berbisik.
"Mana kutahu!" jawab Dong Yoon juga kesal.
"Maka dari itu aku mengatakan jika kau tidak peka, bodoh!"
"Memangnya ada apa?" tanya Dong Yoon.
"Aku cuma mau bilang kalau kita batalkan saja rapat mendadaknya sepertinya membicarakan itu lebih aman jika di rumah saja."
"Ck, Cuma itu saja? Aku juga tahu! yak! Sejak kapan kau menghilangkan sopan santunmu? Dari tadi kau tidak ada memanggilku 'oppa', kan?"
"Kita sekarang di umur yang sama. Akan sangat aneh jika aku memanggilmu sopan begitu!" elak Jiyeon.
"Itu hanya akal-akalanmu sja, kan? Kau selama memang tidak mau memanggilku 'oppa', kan?"
"Jangan kekanak-kanakan!" malas Jiyeon.
Sejeong datang dan mereka otomatis menutup acara debat mereka. Jiyeon menebarkan senyumnya begitu juga Dong Yoon. Jiyeon yang melihat ekspresi Dong Yoon hanya mencibirnya pelan.
"Maaf, pasti aku sangat lama. Antriannya sangat panjang, hahaha."
Sejeong tersenyum, Jiyeon saja terpana melihat senyumannya. Sangat jarang seorang Park Jiyeon mengakui kecantikan wanita lain. Tapi dia tidak bisa memungkiri yang satu ini.
"Sejeong-ssi, kau sangat cantik!" ucapnya tanpa sadar dan diangguki oleh Dong Yoon juga tanpa sadar.
"Ei~ Jiyeon-ah,"
Jiyeon melotot menahan emosi saat Sejeong mendorong bahunya cukup kuat.
"Ji-Jiyeon-ah?" kata Jiyeon.
"Dimana sopan santunmu? Aku ini_"
"Hahahaha, dia kadang memang agak aneh bercandanya!" kata Dong Yoon sambil membekap mulut Jiyeon. Sejeong sempat terkejut saat mendengar suara Jiyeon dengan nada membentaknya.
"Kau harus ingat! Kita semua di sini seumuran! Seumuran, Park-Jiyeon-bodoh!" bisik Dong Yoon pelan ke telinga Jiyeon sambil masih tersenyum pada Sejeong yang masih keheranan.
Jiyeon melepas paksa tangan Dong Yoon yang membekap mulutnya. Dia menatap Sejeong sebentar dan tertawa.
"Hahaha, kau tidak suka leluconku sepertinya. Hahaha, aku ini memang sedikit aneh," kata Jiyeon mencoba mencairkan suasana.
Sejeong juga ikut tertawa setelah mendengar tawa Jiyeon. Sejeong membuka sebuah buku yang dari tadi dibawanya.
"Wah, kau suka membaca ya?" tanya Dong Yoon basa basi membuahkan decihan di mulut Jiyeon.
"Ah, tidak juga. Hanya saja aku penasaran dengan isi buku ini karena diambil dari kisah nyata penulisnya. Kalian tidak tahu ini kan sedang viral sekarang?" tanya Sejeong. Dong Yoon dan Jiyeon saling tatap.
"Buku ini menjadi best seller karena dalam wawancaranya sang penulis mengaku jika buku ini adalah kisah nyata yang dia jalani. Mungkin akan biasa saja tapi secara tidak langsung dia mengakui kejahatan kejinya selama ini di dalam buku. Dia berani mempublisnya karena kasus ini sudah diputihkan. Kalian tahu tidak beberapa pembunuhan yang selama ini tidak bisa dipecahkan oleh kepolisian? Ternyata dia lah pelakunya, aku baru membaca sepertiga buku tapi rasanya aku ingin menemui si penulis dan membakarnya hidup-hidup. Dia benar-benar menceritakannya dengan detail di sini. Kalian harus membacanya!" jelas Sejeong dengan semangat.
Jiyeon dan Dong Yoon yang mendengarnya hanya bisa mengangguk-angguk dan keheranan karena tidak mengetahui masalah ini. Jiyeon jadi berhasrat untuk memabacanya juga.
"Aku akan membeli bukunya nanti," kata Jiyeon tidak kalah semangat. Dia ingin mengetahui motif pelakunya. Dan dia merasa si penulis benar-benar gila karena berani menerbitkan kisah kelamnya.
"Sayang sekali, bukunya sudah sold out. Katanya sudah tidak dicetak lagi, ada satu yang bisa dipinjam di perpustakaan umum tapi harus berebut untuk meminjamnya," kata Sejeong membuat bahu Jiyeon meluruh karena kecewa.
"Jika kau memang sangat ingin, kau bisa meminjam milikku. Aku harus berhenti membacanya sejenak karena merasa takut. Tapi, aku sangat penasaran dengan kelanjutan di kisah ini jadi aku akan melanjutkannya sebentar sambil menunggu makanan tiba," lanjutnya lagi.
"Kau baik sekali!" puji Jiyeon.
"Ah, memang siapa nama penulisnya?" tanya Dong Yoon.
Sejeong menatap Jiyeon dan Dong Yoon sebentar dan mengangkat bukunya sejajar dengan wajahnya.
"Kim Myungsoo," jawab Sejeong pelan.