webnovel

Michi, sahabat terbaik Alyx

ALYX baru saja tiba di apartemennya sekitar pukul sepuluh malam, Nick tentu saja bertanggung jawab mengantarnya. Tubuhnya sangat lelah, setelah hampir sebulan, baru hari ini dia memulai latihan lagi. Harusnya tiap hari dia harus berolahraga, tapi kalau sudah bekerja pasti dia hanya memilih untuk mengisi waktu jeda dengan tidur atau makan.

Mengenai Nick, perkiraan Alyx tadi tepat, temannya itu memenangkan pertarungan sebelum dua belas putaran. Lawannya tidak KO, hanya dia menyerah, dan membuat Chris tertawa saat Nick masih menginginkan untuk bertarung. Seperti orang kesurupan yang siap meninju siapa pun yang mendekatinya.

Saat masuk ke dalam lift Alyx hanya bisa bersandar. Sepertinya dia akan tidur lelap malam ini. Baru saja akan memasang aksi tidur dengan memejamkan mata, pintu lift yang tadinya akan tertutup, kembali terbuka dengan tangan seseorang dari luar yang segera menahannya. Alyx membantu dengan menekan tombol, dan mendapati kehadiran tetangganya tersenyum lebar.

"Alyx, selamat malam," sapa Indah yang masuk dengan kantong kertas di pelukannya. "Ada apa denganmu, kau terlihat lelah?"

"Hanya habis berolahraga. Kau baru pulang kerja?" Alyx jelas berusaha melanjutkan percakapan.

"Tidak. Sudah sejak pukul lima, tapi aku mampir ke rumah adik iparku," jawab Indah dan memperlihatkan apel di dalam kanton dan menawarkannya pada Alyx yang hanya menggeleng. "Ah, aku meninggalkan Kitty sendiri," dia teringat kucing di apartemennya.

"Michi juga. Tapi, aku lagi-lagi membuka pintu," kata Alyx yang seketika tersenyum mengingat Michi.

"Aku melakukannya juga. Kurasa mereka sedang bermesraan sekarang," nada Indah seperti orangtua yang membiarkan anak-anaknya bersenang-senang.

"Kau betul, sepertinya kita akan segera menjadi besan. Oh iya, aku akan membawa Michi ke salon sabtu ini. Kau mau aku membawa Kitty juga?" Alyx meminta persetujuan.

Indah berseru senang, "kau mau membawanya, tentu aku mengijinkannya," katanya dan menepuk bahu Alyx.

Lantai sembilan. Pintu lift terbuka.

Pintu apartemen Indah tepat berada di depan lift. Dia melangkah membuka pintu. "Aku tidak akan mengajakmu masuk untuk minum teh, karena kau kelihatan sangat lelah," hidungnya mengernyit.

Alyx menganggukkan kepala. "Iya, rasanya aku ingin segera tidur. Sampai jumpa." Belum tiba di depan pintu apartemennya, dia berhenti dan memanggil Indah.

Indah yang baru saja masuk, keluar setelah mendengar teriakan Alyx. Dia melihat ke arah yang ditunjukkan Alyx. Pandangan Indah seketika menjadi kabur karena air mata. Kitty terbaring di depan pintu apartemen Alyx, tatapannya nanar.

Alyx melangkah lebih dulu, memeriksa keadaan Kitty, dan berbalik melihat Indah. "Maaf," gumamnya menyesal.

Lima belas menit kemudian, polisi datang.

"Kau memanggil kami, karena kucing ini?" sebelah alis pria berseragam itu terangkat.

"Aku rasa memang tidak perlu memanggil mereka," Indah mengatakan itu dalam bahasa Indonesia.

"Kami memanggilmu karena dia mati pasti karena seseorang," protes Alyx.

"Seseorang? Jadi ini karena seseorang, yah," gumam si polisi, tapi jelas masih bernada merendahkan.

Alyx mendesis. "Periksa saja. Ada bekas tusukan di lehernya dan itu sepertinya karena heels."

"Baiklah, baiklah," si polisi menggerakkan tangan, seperti meminta ketenangan, "kami akan menelesuri kejadian ini," katanya dan mengakhiri.

Meski keesokan harinya, tidak ada kabar lagi dari polisi. Mungkin urusan kucing ini tidak penting lagi bagi mereka.

"Michi…" Alyx dan Michi sedang di kamar tidur, "saat aku tidak ada, kau jangan meninggalkan tempat ini. Kau mengerti? Ah, aku sangat menyayangimu," katanya dan memeluk Michi erat.

"Michi," suara Alyx menjadi serius, "menurutmu, apakah yang membunuh Kitty adalah penghuni apartemen ini juga? Ah, jangan mengabaikanku, kau tahu ini pembunuhan, kan?"

Michi segera mengeong saat Alyx merasa tidak diperhatikan.

"Apa Kitty membuat orang itu menginjaknya dengan heels. Menurutmu setinggi ini?" Alyx mencoba menerka menggunakan telunjuk dan jempolnya yang diletakkan di udara. "Hanya setinggi lima, itu membuat leher Kitty terinjak." Dia menatap langit-langit kamar, helaan nafasnya keluar, "sudahlah, yang jelas kau harus berhat-hati Michi, atau sebaiknya aku tidak meninggalkanmu di rumah sendiri."

Michi mengeong berkali-kali dan berbalik, seperti menentang yang dikatakan Alyx.

"Ah, aku tahu kau sudah dewasa," Alyx tersenyum geli.

Minggu berikutnya, Alyx dan Michi baru bisa ke salon kucing tempat yang selalu didatanginya setidaknya dua kali sebulan.

"Seharusnya kita datang bersama Kitty," gumam Alyx.

"Selamat Siang, apa yang bisa kubantu untuk Michi?" kalimat seorang gadis bersuara tinggi menyapa.

"Hi Norih," sapa Alyx. "Michi butuh perawatan ekstra, dia baru saja kehilangan kekasihnya," dia memberi info.

"Benarkah, kasihan sekali. Aku akan memberimu perlakuan ekstra-ekstra-ekstra."

"Ohiya, kukunya sepertinya sangat panjang, dia mencakarku kemarin," Alyx tersenyum kecil.

"Ah, kau benar," kata Norih saat melihatnya, "Kau mau aku memberinya kuteks?"

"Tidak, Norih." Alyx menolak, merasa Michi akan terganggu.

"Ah, baiklah, sepertinya Michi juga tidak akan suka." Norih menggendong Michi dan membawanya masuk meninggalkan Alyx di ruang tunggu.

Sementara Michi sedang mendapatkan treatment, Alyx menunggu sambil membaca majalah. Tapi, karena merasa bosan, dia menghubungi Nick.

"Aku sedang sibuk," kalimat Nick meluncur dari seberang telepon, setengah berteriak.

Alyx melihat layar smartphonenya. Dia bahkan belum mengucapkan sepatah kata pun. "Sibuk apa? Sibuk dengan cangkir kopimu?"

Nick yang hari sabtu ini libur, memilih tinggal di apartemen dan menikmati secangkir kopi. Tidak lupa dengan komik yang akhir-akhir ini digandrunginya. Dia segera melempar komik yang tengah dibacanya, bagaimana bisa gadis itu mengetahui apa yang dilakukannya. "Enak saja. Aku tidak sepertimu. Aku ini sedang memeriksa dokumen penting."

"Benarkah? Kalau begitu, bye…"

"Tunggu… tunggu. Memangnya ada apa?"

"Tidak," Alyx mengeluarkan suara tawa dari hidung, seperti sudah menebak reaksi Nick. "Aku hanya menelpon karena bosan."

"Apa? Lain kali jangan menelpon karena hal seperti ini. Ah, atau kau menelpon bukan karena bosan, tapi karena merindukanku, iya kan? Kalau kau merindukanku, langsung saja datang ke rumah. Bye," kata-kata Nick keluar cepat, tapi jelas kalau dia menginginkan Alyx mengikuti arahannya.

Alyx memandang layar ponselnya, mengernyit, mencoba mengerti kalimat Nick dan memasukkan ke dalam tas ransel maroonnya.

*

次の章へ