webnovel

Sebuah Penantian

Allandra benar-benar menerima paket pukul tujuh pagi. Saat membuka kotak itu, Allan tahu, baju pemberian Sabilla dari brand terkenal dan tentu saja mahal. Mungkin hanya kebetulan, tapi selera fashion Sabilla sama dengannya. Allan segera memakainya setelah mandi, beruntung, dia masih memiliki parfum terbaik di dalam kopernya. Pertemuan ini spesial bagi Allandra, dia ingin tampil maksimal di depan Sabilla. Wanita cantik itu berhasil menawan hatinya, meskipun Allan tidak yakin kalau itu bisa di kategorikan sebagai cinta.

"Astaga! Wangi banget kamu Lan, mau kemana?" Bima yang baru masuk ke kamar Allandra terkejut dengan wangi parfum Allan yang memenuhi ruang tersebut.

"Ketemu Sabilla. Hari ini kami mau urus berkas buat nikah resmi." jawab Allan bangga. Bima mengerutkan dahinya.

"Apa kamu bilang? Nikah resmi? Memangnya bisa? Sabilla kan punya suami." tepat seperti dugaan Allan, Bima pasti menyangkalnya.

"Jadi, Sabilla cuma nikah siri sama suaminya dan aku yang bakal jadi suami sah dia." kalimat yang di ucapkan Allan membuat Bima melongo. Menurutnya keberuntungan memang selalu berpihak pada Allan, menang lomba, di janjikan perusahaannya berdiri kembali, memiliki calon istri kaya raya.

"Hebat! Kalau kamu jadi suami sahnya, itu artinya kamu bisa mendapat pengalihan nama atas kekayaan Sabilla, bukan begitu?" karena mengatakan itu, Allan menghadiahi Bima sebuah jitakan di puncak kepalanya. Membuat Pria itu meringis kesakitan.

"Bagiku, asal dia bisa bantu perusahaan ayah, itu sudah cukup. Aku bukan lelaki matre yang suka mengeruk duit perempuan.Kalau kamu mau, kamu saja sana, cari tante-tante kaya yang mau menampungmu." ledek Allan sambil tertawa kecil. Bima tampak berpikir, lalu mendadak wajah lelaki itu tampak sumringah.

"Ide kamu bagus juga, Allan. Tapi, aku maunya tante-tante yang cantik seperti sabilla." Bima mulai menghayal, Allan tersenyum miring.

"Sudah matre, halu lagi! Astaga Tuhan, kenapa aku punya teman seperti dia." Allan terkekeh. Bima merengut. Allan semakin mengeraskan suara tawanya.

"Jahat kamu Bro! padahal aku setia mendukungmu. Inikah balasanmu? Sungguh kau teman durhaka!" umpat Bima, Allan justru semakin menjadi, tawanya semakin panjang karena mendengar kalimat yang di ucapkan oleh Bima.

"Apa kamu mau mengutukku menjadi tampan? Sayangnya aku sudah tampan sejak lahir, jadi terima kasih, kamu tidak perlu repot-repot, Kawan." kata Allan sedikit menyombongkan diri. Rasanya dia sangat puas karena telah mengejek Bima.

"Untung kamu temanku, kalau bukan, sudah ku tenggelamkan kamu ke laut merah!" dengus Bima.

"Sudahlah, kamu harus lebih bersabar memiliki teman sekeren aku. Sekarang aku harus pergi, jaga kamarku, oke? Aku tidak bisa membuat calon istriku menunggu terlalu lama." Allan meninggalkan Bima yang menggelengkan kepala, heran dengan tingkah Allan yang tidak pernah berubah. Selalu mengejeknya.

Allan merasakan semangat baru mulai bersemi di dalam dirinya. Dia memiliki seseorang yang merelakan dirinya menjadi sandarannya sekarang. Dia juga sudah dapat membayangkan, bagaimana nanti keluarganya kembali bahagia, apalagi ayah dan ibunya sudah tua, Allan ingin mereka menikmati masa tuanya dengan tenang.

Allandra juga ingin membuktikan kalau dia bisa menjadi kakak yang terbaik untuk Allana. Dia ingin adiknya itu membanggakannya. Mungkin memang benar, di masalalu dia adalah seorang pengacau, tapi dengan semua yang terjadi sekarang, Allan sadar, dia harus berubah. Di masa depan, dia harus setangguh ayahnya.

"Ayah, Bunda, Allana, tunggu saja, suatu hari nanti, aku akan membahagiakan kalian. Tidak masalah jika harus menukar dengan hidupku, asal kalian bisa menatapku dengan bangga. Aku rindu kalian, sebentar lagi, sebentar lagi kita pasti bertemu. Allan sayang kalian."gumam Allan pelan, matanya memerah dan sedikit berair, tangannya mengepal erat, menahan kerinduan yang meluap di dadanya. Meskipun dia sudah dewasa, kedekatannya dengan Sila membuatnya terkadang sampai susah tidur. Sila adalah wanita pertama yang di cintai oleh Allan, dia mengagumi sosok wanita kuat yang ada di dalam diri ibunya itu.

"Sudah sampai, Tuan." suara sopir taksi menyadarkan Allan. Dia bisa melihat banner Kafe Mentari di sisi kanannya.

Lelaki itu segera turun setelah membayar ongkos. Allan memasuki area kafe perlahan, mata para gadis tertuju padanya, Allan bisa melihat dari ekor matanya kalau beberapa di antara mereka berbisik sambil menatap Allan penuh minat. Allan berdecak kesal, para gadis itu mengingatkannya pada Raya. Tipe wanita yang hanya mengagumi kelebihan yang di milikinya.

Allan sedikit sungkan, karena Sabilla selalu menunggunya. Entah jam berapa wanita itu datang ke kafe, tapi di tengah perjalanan tadi dia sudah mengirim pesan kalau dirinya telah menunggu Allan di tempat mereka janjian.

Ketika Allan sudah hampir sampai di meja tempat Sabilla menunggu, wanita itu menoleh padanya dan memandangnya tanpa berkedip. Dia tampak terpesona pada penampilan Allan hari ini. Mereka berdua saling melempar senyum.

"Ada yang aneh dengan penampilanku hari ini?" tanya Allan seraya menarik kursi yang ada di samping Sabilla.

"Bukan aneh, tapi kamu membuat perhatianku fokus kepadamu. Kamu memang mewarisi semuanya dari ayah kamu ya, kayaknya pas kita nikah nanti, banyak yang pasang hastag patah hati deh di sosial media." Sabilla tersenyum lebar, Allan sedikit tersipu mendengar pujian wanita itu. Ya, Sabilla memang selalu seperti itu, lembut dan menghargainya.

"Ya, banyak yang bilang begitu. Aku dan ayah sebenarnya nggak sedekat itu, kami lebih sering bertengkar karena nggak sejalan." curhat Allan, Sabilla mendengarkan dengan baik apa yang di sampaikan oleh lelaki itu.

"Setahuku, anak lelaki memang jarang yang dekat dengan ayahnya. Anak-anak suamiku juga gitu, nggak ada yang deket sama ayahnya." Sabilla menanggapi pernyataan Allan. Mendengar itu, dia merasa harus bertanya sesuatu pada wanita yang ada di sisinya.

"Kamu sendiri, punya anak berapa dari suamimu itu?" celetuk Allan, membuat Sabilla yang sedang minum tersedak.

"Aku belum punya anak, nanti punya anak sama kamu saja." katanya setelah meredakan batuknya. Allan tersenyum mendengarnya, dia merasa spesial bagi Sabilla. Satu hal yang paling Allan suka dari Sabilla adalah, wanita itu tidak pernah menyentuhnya sembarangan. Dia hanya mengekspresikan kekagumannya dalam bentuk tatapan atau ucapan.

"Kalau aku belum ingin punya anak, apa kamu keberatan?"tanya Allan. Dia merasa juga perlu membahas ini, meskipun sebenarnya Allan tidak keberatan untuk itu.

"Tidak. Aku sangat menghargai. Dalam sebuah hubungan, kita memang harus memiliki komitmen. Kamu bisa menunda sampai kamu siap, aku tidak akan memaksamu untuk itu." Allan tersenyum mendengar jawaban Sabilla. Dia benar-benar berpikir dewasa, Allan semakin kagum pada wanita itu.

"Tapi aku tidak akan menunda. Sepertinya kamu sangat ingin memiliki anak. Kalau itu membuatmu bahagia, aku tidak akan keberatan."Allan tertawa renyah. Sabilla menghadiahi bahu Allan dengan sebuah tinju yang ringan.

次の章へ