Bebatuan besar yang dialiri air sungai yang tak dalam membangunkan Aisyah dari pingsan sesaat. Gelap. Ia tak bisa melihat apa-apa. Tubuhnya masih terikat seatbelt. Posisi mobil terbalik.
Aisyah memegang kepalanya, terasa sakit. Lengannya juga perih, beling banyak tertancap di sana. Berdarah-darah. Aisyah lalu memeriksa ponselnya yang diselipkan di saku celana. Menghidupkan senter. Ia terkejut melihat kondisi Putra yang terkulai bersimbah darah di sebelah.
Segera Aisyah melepas seatbelt. Ia terjatuh ke atap mobil yang terbalik. Kemudian perlahan memutar tubuh, membuka pintu mobil yang sudah peyot. Sedikit kesusahan, meski akhirnya pintu itu terbuka juga. Senter handphone masih menyala. Dengan sempoyongan, ia menuju pintu kemudi. Mencoba membukanya.
Namun, Aisyah benar-benar kesusahan. Beberapa kali, ia tergelincir dari batu besar tempat pijakannya. Kepala Aisyah berputar hebat, ia sangat pusing. Bau bensin juga cukup menyengat. Dan juga mulai tampak percikkan api di bagian bawah mobil, yang kini berada di atas.
Selain bau bensin, juga tercium aroma-aroma kabel konslet.
Aisyah segera menguatkan diri, ia mencoba membuka pintu mobil itu sekuat tenaga.
"Putra… bangun, Tra…"
Pertama kali dalam hidupnya, polwan tangguh itu meneteskan air mata. Ia sangat cemas tak bisa menyelamatkan Putra.
Beruntung, pintu itu terbuka beberapa menit kemudian. Percikkan api juga sudah mulai semakin jelas.
Jantung Aisyah berdegup kencang. Mobil ini terindikasi akan mengalami kebakaran. Bensin juga sudah tumpah.
"Putra… Bangun Tra…"
Lagi-lagi ia memanggil pemuda yang tak lagi sadar itu. Aisyah gemetar, wajahnya pucat pasi. Sementara luka, rasa sakit di kepala dan tubuhnya terkesampingkan. Pikirannya fokus, membawa tubuh Putra menjauh, sejauh mungkin dari mobil.
Aisyah kepayahan. Tubuh Putra memberatkannya. Ia mengalungkan tangan kiri Putra di leher, dan tangan kanannya melingkar di pinggang Putra. Susah payah menjauh.
Aisyah melihat ke belakang. Percikkan api semakin membesar. Ia berkeringat dingin. Dalam hati memohon pertolongan Tuhan, berikan kekuatan dan perlindungan agar selamat dari petaka ini.
***
***
Joko sudah sampai di lokasi kecelakaan. Ia baru tahu, karena posisi Putra tak bergerak di GPS. Dan sudah ada banyak kendaraan serta mobil polisi, pemadam kebakaran berhenti di sana.
Joko keluar dari mobil, dan melihat ke bawah jurang. Tampak terang. Terjadi kebakaran. Ia lalu memeriksa lagi GPS. Tidak salah lagi, di sini. Darahnya berdesir hebat.
"Permisi, Pak. Kapan kejadian ini terjadi?"
Joko mendekati salah seorang Polisi yang tengah berbincang dengan pihak pemadam kebakaran. Beberapa anggota pemadam, sudah mengeluarkan atribut untuk turun ke bawah.
"Sekitar dua puluh menit yang lalu, Pak."
"Kendaraan apa yang jatuh ke bawah?"
Joko gemetar, ia berharap dugaannya tidak benar.
"Menurut saksi mata, Toyota Altis warna hitam."
Mata Joko melebar. Apa yang harus dilakukannya? Ia tak sanggup melaporkan ini pada Adit dan Maya.
"Bagaimana kejadiannya Pak?"
"Mohon maaf, Pak. Kami sedang mengumpulkan informasi. Identitas korban juga belum diketahui. Kami menunggu petugas pemadam kembali ke atas."
Joko paham, ia tak lagi bertanya. Ikut berdiri di dekat pembatas jurang. Menatap ke bawah, kobaran api masih besar. Pemadam nampak susah payah untuk turun, dan melakukan penyemperotan.
Ia mengusap wajahnya berkali-kali. Jika yang jatuh ke bawah sana, benar-benar Putra dan Aisyah, ia berharap mereka selamat dari kebakaran mobil itu. Air muka Joko tampak benar-benar pasi.
***
***
Sementara Maya resah dan gelisah tak menentu di dalam kamar. Ia tak bisa tidur barang sepejam pun. Padahal sudah hampir tengah malam. Adit juga tampak menatap keluar jendela. Ponsel dalam genggaman. Menunggu informasi dari Joko.
Maya benar-benar tak bisa tenang, ia bahkan keluar dan duduk di sofa ruang tamu. Tidak pula menghidupkan lampu. Kakinya bergetar hebat. Cahaya ponsel menyinari wajahnya, menciptakan horror tersendiri.
Haz yang turun dari lantai dua hampir terjungkal karena terkejut melihat Maya duduk di ruang tamu, seperti hantu.
Kakinya lemas seketika, tak bisa berdiri. Ia ketakutan. Satu tangan memegang sandaran tangga.
"Si-siapa di sana?"
Teriak Haz takut-takut.
Maya mengangkat wajah, yang masih tersinari cahaya ponsel.
Haz berteriak ketakutan.
"Ada apa?"
Adit terkejut dan langsung keluar kamar, yang berada di lantai bawah.
"Ayah… di belakang ayah ada hantu."
Adit bingung, ia lalu menghidupkan lampu ruang tamu.
Terlihat Maya sedang menatap ponsel dengan wajah cemas.
"Bunda?"
Haz menarik nafas lega.
"Iya itu Bundamu," jawab Adit sambil menghela nafas juga. Ia menuju pintu depan dan membukanya. Di luar hujan sudah reda.
"Telepon Joko, Yah."
Pinta Maya setengah menangis.
Adit memang berencana demikian.
Haz turun dan mendekati orangtuanya, tak sengaja ia melihat informasi di media sosial, mengenai kecelakaan mobil yang masuk ke jurang.
Ada yang sempat memotret beberapa saat setelah penabrakan sebelum mobil nahas itu terjun ke dalam jurang. Hanya saja, blur dan tak terlalu jelas. Video singkat pun juga demikian, blur dan kurang jelas.
"Gila, ini sengaja nabrak ni."
Haz bicara sendiri, sambil duduk.
Maya menatapnya, "Apa? apa yang sengaja ditabrak?"
"Ini Bun, ada kecelakaan di jurang Silaing. Kayak sengaja di tabrak dari belakang. Tapi nggak jelas. Mobil apa sih yang ditabrak?"
Haz mengamati betul-betul layar ponselnya.
Maya semakin cemas. Bahkan sangat cemas.
"Abang kemana, Bun, Yah?" tanya Haz sambil terus melihat-lihat informasi di media sosialnya.
Adit sudah selesai menelpon. Ia berusaha menahan diri, perlahan menuju kamar dan mengenakan jaket, juga mengambil kunci mobil.
***
***
Arsy pun tak bisa tidur. Ia mencoba menghubungi ponsel Aisyah tapi diluar jangkauan. Ajay juga sedang menunggu kabar, menemani istrinya duduk di ruang tamu.
"Gimana ini, Bang?"
Arsy sangat cemas. Hatinya tidak tenang sejak sampai di rumah tadi.
"Coba hubungi nomor Putra." Saran Ajay.
Arsy lalu mencari nama Putra di ponselnya. Tapi, malah tidak aktif.
Tak lama ponsel Ajay berdering, panggilan dari Adit. Darah ayah sambung Aisyah itu mendadak berdesir. Firasatnya tak baik.
"Hallo, Bro."
{Ikut gue, kemungkinan anak-anak yang jatuh ke dalam jurang itu}.
Mendengar kata-kata Adit, sang Dirut yang kalau diluar tugas, bicaranya tak kalah gaul dari anak-anak mereka, membuat Ajay pucat pasi sekaligus bingung.
{Jangan bilang Arsy soal ini. Gue udah OTW rumah loe}.
Ajay mengangguk, ia lalu memutus sambungan telepon dan masuk ke dalam kamar, mengenakan jaket.
"Kemana, Bang?" tanya Arsy yang mengkutinya ke dalam kamar. "Siapa yang nelpon?" Ibu sang polwan itu tampak cemas dan penasaran.
Ajay terdiam sejenak, sebelum menjawab. Ia tak bisa memberi tahu hal ini. Belum saja, sampai sudah benar-benar jelas kabarnya.
"Abang keluar sebentar sama Adit. Ada yang mau dibicarakan dulu. Kamu tahu sendiri lah, Direktur Malik Estate itu tabiatnya bagaimana."
Ajay mencoba untuk tenang.
"Nggak ada apa-apa kan? Apa udah dapat kabar dari Putra?"
Ajay menghembuskan nafas pelan. "Belum, mereka mungkin kehilangan sinyal."
Tak lama terdengar klakson dari luar.
"Adit dah datang, Abang keluar sebentar ya."
Arsy mengangguk meskipun ia sangat cemas saat ini dan menaruh curiga pada suaminya. Apa ada yang disembunyikan?
Hal yang sama juga berlaku pada Maya. Ia juga diminta diam di rumah dan tak usah memikirkan hal yang aneh-aneh, sementara Adit pergi keluar menemui Ajay untuk membicarakan masalah pekerjaan. Begitu lah tadi Adit bertitah pada istrinya.
Ini tidak masuk akal. Tapi, Maya tak punya pilihan selain membiarkan suaminya keluar.
***
***
Kinan masih belum sadarkan diri. Bahkan saat ia sudah dibawa masuk ke dalam cottage. Toni terlihat sangat marah dengan semua kejadian ini. Kinan benar-benar mencoba membangkang padanya. Dan gadis itu pikir, ia main-main dengan semua ancaman yang sudah ia katakan.
Tentu tidak!
Lihat saja, Putra bahkan mungkin sudah tewas terjatuh ke dalam jurang sana.
Kinan berkeringat dalam keadaan tak sadar diri tersebut. Dan tak lama ia bangun sambil berteriak memanggil nama "Putra…!"
Toni dan dua orang anak buahnya di dalam cottage menatap gadis itu sambil tersenyum sinis.
"Bahkan dalam mimpi pun, kamu masih memikirkan dia." ucap Toni geram.
Kinan tak paham apa yang terjadi padanya. Tengkuknya pegal. Kepalanya juga sakit. Pikiran tertuju dan terpusat pada Putra. Ia ingat bahwa hal terakhir yang ia lakukan adalah menelpon Putra.
Kinan meraba pakaiannya. Memeriksa ponsel. Tapi ternyata, sudah berada di tangan Toni. Pria itu memperlihatkannya, sambil mengangkat satu tangan yang memegang ponsel itu.
"Cari ini?"
Kinan tak menjawab. Ia hanya menatap lekat pada ponsel itu.
"Sebaiknya mulai detik ini, kamu hapus dia dari ingatanmu. Karena apa?"
Toni tersenyum sinis lagi, sambil melempar HP ke arah Kinan.
"Apa? Apa yang Om lakukan?"
Kinan bergerak maju, hendak menggapai Toni. Jika saja Toni melakukan hal mengerikan pada Putra, gadis itu tak kan segan-segan menghajarnya.
Dua anak buah Toni memegangi Kinan.
"Dia sudah mati…" jawab Toni mengisyaratkan garis lurus di leher.
Ia lalu berdiri, dan keluar dari cottage.
"Malam ini, kalian saja yang pakai dia, Tapi jangan lupa pakai pengaman. Sewaktu-waktu aku masih butuh pelayanan dari dia." ucap Toni sambil melempar dua bingkisan pengaman pada anak buahnya.
Kinan memberontak. "Kalau terjadi apa-apa sama dia, gue bunuh loe!" teriaknya.
Namun segera dibekap anak buah Toni. Pintu pun dikunci dari dalam, sesaat setelah Toni keluar.
"Anjing loe!" teriak Kinan lagi, meski tak begitu jelas, karena mulutnya terus-terusan di bekap anak buah Toni, yang mulai tergiur hendak meniduri Kinan.
"Lepasin gue, biadab!" teriak Kinan dengan sisa tenaga yang ia punya.
***
***