webnovel

Chapter 14: 2nd Heart

Naema akhirnya berhasil keluar dari terowongan rahasia. Tubuhnya serasa begitu lemas, tak ingin lagi untuk berjalan. Ia pun duduk di atas sebuah batu, masih terlarut dalam perasaan sedih, kecewa dan air mata.

Dia melihat-lihat sekitarnya yang kini tidak lagi terselimuti oleh salju, melainkan tertutup rapat oleh es. Semuanya membeku, baik itu hewan, tanaman, maupun air dan bebatuan. Naema sadar akan kelalaiannya dan berusaha untuk tetap tegar dan melawan emosinya. Tetapi hati yang terluka, tidak akan bisa sembuh dengan sendirinya.

Kemudian teringatlah ia akan tujuan yang harus dicapainya, yaitu bertemu dengan orang yang akan menjadi pendamping hidupnya, Sang Penguasa, Sang Ardiansyah.

Hal itu mulai mengganggunya, membuatnya takut dan panik. Dia yang tidak pernah keluar dari daerahnya mana mungkin bisa sampai ke tempat yang jaraknya dari ujung ke ujung pulau. Dirinya bergeming, tak tahu apa yang sekarang harus ia lakukan.

Tetapi sekujur pikirannya tiba-tiba hilang begitu saja begitu datang cahaya merah yang memancar dari kejauhan.

Seekor kupu-kupu kecil, terbang dengan begitu anggunnya, bergelimangkan pesona. Makhluk manis itu singgah di atas pundak Naema, memberikannya kehangatan dan rasa nyaman yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Kupu-kupu itu terbuat dari api, tetapi terasa kasih sayang mengalir di dalamnya. Ia membuat Naema tenang dan mengobati luka di hatinya secara perlahan.

Hewan dan tumbuhan yang tadinya beku sedikit demi sedikit terbebas dan terlindungi oleh aura sihir yang dipancarkan Naema. Sihir itu menyembuhkan dan membuat alam disekitarnya kembali hidup setelah terkena kesedihannya.

*Tap* *Tap*

Terdengarlah suara jejak kaki berjalan mengarah ke arah dirinya. Tetapi gadis itu tak menghiraukannya, dia terlalu fokus pada keindahan dari si kupu-kupu api. Hingga akhirnya jejak kaki itu pudar, dan terdengar bisikan yang berdengung lembut, begitu merdu, mengelus manja telinganya.

"Kamu menyukainya? Kehangatan... dari seekor kupu-kupu."

Naema seketika terdiam kaku. 'Apakah aku kembali ke alam mimpi?' Hati gadis itu berkata, pipinya merah merona, jantungnya berdebar-debar, matanya terbuka lebar, berkaca-kaca terbasahi air mata. Perlahan dirinya tertarik bagai magnet, membalikkan wajahnya ke belakang.

Di hadapannya melambai-lambai tertiup angin rambut semerah darah, mata cerah yang mencerminkan gejolak api, dan senyuman hangat, menentramkan hati yang gundah.

Wajah Naema menjadi lebih merah dari rambut Amartya, orang yang selalu ia temui di alam mimpi kini berdiri di hadapannya. Orang yang menjadi alasan mengapa dia tinggal di bawah awan, mentari yang siap menyinari masa muda dan tuanya. Dialah, kobaran api yang akan menjadi pendamping hidupnya.

"Sang Penguasa... dari Selatan." Mata Naema tak henti-hentinya bergetar.

"Selamat pagi, Putri Salju," Amartya menyapanya dengan senyuman. "Atau perlu aku katakan, Gadis yang Meninggalkan Langit."

Naema tidak membalas, tak ada sepatah katapun yang datang ke benaknya. Sementara itu matanya tak bisa berhenti memandangi Amartya, dia masih tidak percaya akan langsung dipertemukan dengan dirinya.

Amartya melihat banyaknya kristal yang membeku di bawah mata gadis itu. Dirinya bertanya-tanya apa yang membuatnya menangis seorang diri di tempat seperti ini. Apakah kondisi Tarauntalo separah itu?

"Apakah memandangi pendatang menjadi budaya di sini, Tuan Putri?" Amartya mengusap tangis yang lekas memnguap pada kedua mata Naema dengan tangannya.

Naema tersentak dan menarik pandangannya, dirinya tersipu malu. Ia masih belum mampu mempercayainya, orang yang seharusnya dia cari dengan susah payah, datang menemukan dirinya dengan sedimikian cepat.

*Klik!*

Mendadak sesuatu seakan berbunyi dari dalam tubuh Amartya ketika ia menarik kembali tangannya. Angankan ada sesuatu yang baru saja memasuki dirinya.

'Itu tadi… jangan-jangan— apa… apa hati sial ini baru bersuara?' Gumam Amartya dibenaknya. Ia terlihat begitu kaget, merasakan badan dan jiwanya tiba-tiba saja dirasuki sesuatu.

Amartya kemudian menatap ke arah Naema, matanya terbuka lebar, pandangannya seakan ia baru saja menyaksikan sesuatu yang begitu besar. Tapi...

'Tapi mengapa? Aku tak merasakan sedikitpun perubahan...'

'Jantung berdebar-debar, tubuh yang menghangat, semua deskripsi luar biasa yang ditulis pada buku-buku cinta... mengapa aku tak merasakannya?!'

Naema masih sibuk dengan dunianya sendiri, sementara pemuda itu menggigil mematung dengan tangannya tergenggam erat di dadanya. Ia kian terjebak di antara jutaan pertanyaan.

'Apa hati ini butuh waktu untuk tersempurnakan? Ataukah karena aku belum menghabiskan waktuku dengan siapapun, termasuk gadis di depanku setelah benda terkutuk ini akhirnya sempurna?'

"T-tunggu! Sekarang bukan saatnya untuk menghawatirkan ini!"

Amartya pun kembali tersadar dengan kondisi yang sedang mereka hadapi. Jika Naema berada di luar desa dengan kondisi hati yang sedemikian buruk, maka situasi pasti juga tidak berjalan baik untuk suku Es di Daratan.

"Rencana! Benar! Kita butuh rencana!"

Ia pun mulai berpikir mengenai langkah terbaik untuk dilakukan sekarang, keamanan mereka berdua merupakan prioritas utama untuk saat ini. Dan di saat itu pula ia kemudian teringat bahwa suku Alam tinggal tepat di sebelah provinsi Tarauntalo, tempat itu merupakan daerah teraman yang bisa ditemukan di seluruh penjuru Selebes. Karena adanya perjanjian yang telah disetujui oleh seluruh suku yang menghuni Lautan, Daratan, maupun Angkasa.

Isi perjanjian itu menyangkut hubungan dengan tumbuhnya Pohon Kehidupan di pusat Paru-paru Bumi atau provinsi Umanacca.

Pohon Kehidupan merupakan sumber dari kehidupan di Daratan. Ia juga induk dari seluruh penduduk suku Alam, dengan kata lain ia yang menumbuhkan, atau mem'buah'kan mereka. Pohon Kehidupan juga merupakan pusat acuan untuk menghitung tanggal di dunia ini.

Karena hal-hal itupun, seluruh suku membuat kesepakatan, bahwa siapapun hanya boleh masuk jika diberikan izin oleh orang yang terhubung langsung dengan Pohon Kehidupan.

Orang itu adalah Kepala Suku dari suku Alam, Ratu dari Hutan Peri, Zoastria.

Amartya telah mendapatkan izin dari sang ratu ketika ia masih kecil, di masa-masa itu ia sering berkunjung ke Paru-paru Bumi bersama ayahnya.

Sementara untuk Naema, Amartya yakin Sang Ratu telah mendengar pesan yang disampaikan Gabriel, dan atas dasar itu, besar kemungkinannya bagi Naema untuk diberi izin masuk oleh Sang Ratu.

Dengan perjanjian dan izin tersebut, provinsi Umanacca dapat dipastikan sebagai tempat teraman untuk berlindung dari pasukan Ilmuan Langit, yang di mana mereka telah secara langsung menyerang penghuni Daratan, yang hidup di bawah naungan dari Pohon Kehidupan.

Pergi ke sana terdengar seperti rencana yang cukup baik, kini yang perlu mereka lakukan adalah sampai di sana dalam keadaan utuh.

"Maaf tuan putri, tapi sekarang kita punya masalah yang harus diatasi." Amartya tampak serius meski masih berusaha meluruskan pikirannya setelah kejadian yang menimpanya.

"Mengenai Ilmuan Langit yang menyerang provinsi Tarauntalo?" Naema menatapnya penuh harap, bisa terlihat ia masih khawatir dengan keadaan desanya.

"Bisa dibilang..." Amartya lalu menoleh ke arah desa, tempat itu diatapi awan gelap kebiruan yang seakan berpuisi tentang kabar buruk.

"Tapi kita tidak akan mengirim mereka pergi dari Tarauntalo." Dengan sehalus mungkin Amartya berkata, meski tak pernah merasakan kasih sayang, pemuda itu mempelajari manusia lebih tekun dari siapapun di muka Bumi ini.

"Lalu apa yang ada di benak Tuan Penguasa?"

"Menjalankan pesan dari Gabriel, dengan kata lain mempersatukan Daratan."

Naema diam sejenak, memiringkan kepalanya dan memberikan tatapan seakan ia tak mengerti apa yang dimaksud Amartya.

"Orang bijak bilang, sebuah rencana harus tereksekusi dengan matang, sesal kemudian tiada gunanya, setidaknya itu yang kupelajari dari sejarah…" Ucap Amartya.

"Oleh sebab itu tempat yang aman merupakan tujuan paling bijak yang bisa kita datangi pada saat ini juga."

"Tempat yang aman? Di mana?"

"Hutan Para Peri, tempat di mana Pohon Kehidupan berdiri dengan gagahnya, tanah paling indah di seluruh Selebes, provinsi Umanacca." jelas Amartya.

Wajah Naema menampakkan ketertarikkan yang sangat tinggi mendengar ucapan Amartya, begitu cerah dan berbinar-binar, seakan hatinya yang baru saja terluka perlahan dijahit dengan benang yang berpancarona.

Putri Salju yang tak pernah keluar dari Dataran Beku, tentu saja diselimuti oleh rasa penasaran tentang apa yang ada di negeri yang dinobatkan sebagai tempat terindah itu. Walau dia agak sedikit gugup, karena untuk pertama kalinya ia akan meninggalkan lahan yang dipenuhi salju ini.

*Gulp*

Naema menelan ludahnya, kini yang tersisa di dalam dirinya hanyalah keinginan untuk melihat Umanacca secara langsung. Tapi seketika saja, wajahnya kembali muram. Ada hal yang tiba-tiba menggangunya.

"Bagaimana cara kita ke sana?" Tanya Naema, ia tampak sedikit panik.

"Aku bisa dengan mudah berjalan ke sana, tetapi untukmu..." Amartya menjeda ucapannya, matanya memandang rendah, seakan berusaha menggoda Naema.

Dan berhasil, gadis salju itu terpancing. Dan dengan penuh antusias ia terus memandangi pemuda api di depannya.

"Kita mendapat bantuan dari seorang... teman, atau mungkin perlu aku katakan… seekor teman." Senyum sombong terukir di wajahnya, bersama alis yang kini telah bersinggah di lantai atas.

Bagai gemuruh, memecah udara, melompatlah seekor sabertooth ke hadapan mereka. Dengan Auman lantang ia berjalan perlahan, menunjukan kegagahannya.

"Pernah naik seekor harimau, tuan Putri?"

'Hahaha! Panggil aku Amartya Sang Pemburu! Sang penakluk hewan buas!' Meski mulut dan wajahnya tak bergerak, mata pemuda itu mengatakan jelas segala isi pikirannya.

次の章へ