webnovel

Chapter 4: Message

Kesal yang mendalam, amarah yang membara, kedua bandit hendak terpancing mengeluarkan keterampilan terbaik mereka. Serangan-serangan tingkat tinggi orang-orang suku Tanah akan memberikan tamparan yang amat kuat, cukup kuat untuk melumpuhkan pikiran sasarannya, menghentikan kesadaran mereka sejenak. Hal ini menjadikan tiap tamparannya jauh lebih berbahaya.

Amartya dan Hakan berjalan mundur sembari terus menggiring mereka, sementara kedua raksasa yang murka terus mengikuti lawannya dengan raut wajah menyeramkan.

"Ah payah, lambat banget."

"Woy! Paja ko alun panah dilakak ponokok bantuaknyo yo... nak pantek!" Intinya dia kesal.

Namun secepat dan sekeras apapun mereka menerjang, tak satupun serangan mereka mengenai baik Hakan maupun Amartya.

"Ngayun apaan sih!? yang bener ngapa!"

"Mangecek juo aing lai!" Tutup mulutmu, ya semacam itulah.

Akhirnya Amartya dan Hakan bertemu di satu titik, punggung bertemu punggung, menghentikan perjalanan keduanya, seakan mereka kehabisan jalan keluar. Melihat kesempatan ini kedua bandit tersenyum lebar, dan melancarkan serangan mereka dengan sekuat tenaga, sebuah ayunan kolosal yang seakan hentakannya memecah udara bagai kaca.

"Mati pula ko jangrik!"

[Teknik Tanah]

[Tingkat 5]

"(Ayunan Badak...)"

"BADAKAMBUAI!"

Celakanya, Amartya dan Hakan serentak melompat, menghindar dari ayunan perkasa lagi mematikan itu. Kedua bandit pun seketika itu pula tersadar dengan apa yang ada di hadapan mereka, namun sayang, sekarang sudah terlalu telat untuk berhenti, kedua senjata mereka sendiri yang kini hendak berjumpa dengan rekannya.

"Tingkat 5 ya? Boleh juga."

Meskipun tidak banyak menghasilkan kerusakan, tetapi kedua bandit terpukul cukup kencang hingga mata mereka menjadi hampa dan memutih. Kedua pemedang api kita pun dengan cepat mengeluarkan sebanyak mungkin serangan dengan daya rusak tinggi demi menghabisi keduanya. Jika mereka lolos, trik yang sama tidak akan berguna untuk kedua kalinya.

"Demi menerjang ke depan"

"Demi berlari ke belakang"

"Berkahilah jiwa-jiwa yang hangus dada"

"Dan lumat habis amarahnya"

[Seni Api]

[Tingkat 4]

"(Kabasaran: Tarian ke-2)"

"Kumoyak!"

Setiap serangan santi yang tertebas kini diberkahi oleh api fase Kumoyak, dan dalam hitungan detik kedua bandit akhirnya berhasil dilumpuhkan. Tarian Kabasaran yang berasal dari Buana Yang Telah Sirna merupakan fondasi utama seni penggunaan santi, tiap-tiap fasenya memiliki kelebihannya masing-masing.

"Lihat mereka, bahkan setelah menerima api sebanyak itu, mereka masih bernafas..." Hakan memandang pada tiap tubuh yang tergeletak di sana.

"Ayah jangan mengada-ngada..." Amartya menghela nafasnya.

"Hah?"

"Jika saja ayah membantai mereka... cukup dengan seni Manshira (tingkat 7) saja, raksasa-raksasa ini mungkin sudah lama mati, eh ini… malah ngenumpahin semuanya ke aku..." Anak itu dengan kesal menyodok-nyodok salah satu tubuh bandit yang kini tak sadarkan diri dengan senapannya.

"Ahahahaha, anggap saja bagian dari proses pembelajaran." Seperti biasa senyum itu tak pernah pudar dari wajahnya.

Sejatinya rakyat Api dengan tingkat yang sama atau bahkan lebih rendah, tak akan mampu merobohkan raksasa tanah dengan sekali serang layaknya Amartya, apalagi membunuh mereka. Di Dunia ini, mereka yang berada di deretan pimpinan suku memiliki daya tarung yang jauh lebih tinggi ketimbang penduduk biasa, atapun bala tentara mereka.

"Sekarang bagaimana?" Tanya Amartya pada ayahnya.

"Hmm... bunuh aja gak sih? Mereka kan hanya bandit, tak akan ada yang mau mengambil mereka kembali ke tanah Mitralhassa (provinsi suku Tanah)."

"Baiklah, kalau begitu..." Amartya hendak menyayatkan pedangnya pada leher mereka, namun Hakan segera menarik tangannya.

"Tunggu, gimana kalau kita biarkan alam yang menentukan nasib mereka?" Hakan mengeluarkan untaian tali api. Mereka pun mengikat para bandit pada pohon-pohon dengannya, dan membiarkan hewan buas yang mengurusi raksasa-raksasa itu.

Tak akan ada yang mau menebus kebebasan para bandit ini, rakyat dan bangsawan Tanah membenci mereka, dan mereka tak memiliki tanda (benda atau tato) yang menunjukkan identitas grup bandit besar atau semacamnya.

Seharusnya mereka bergabung ke salah keluarga bandit terlebih dahulu sebelum berkelana seperti ini. Serta meskipun apabila mereka memang bagian dari keluarga bandit yaitu Dehset dan Nefret, keduanya tak akan membajak di luar wilayah suku Tanah. Mereka terlalu bangga untuk berlaku demikian.

"Oke, sekarang masalah bandit sudah beres, tinggal laporan ke si Jago Merah, kamu bakal lompat tinggi banget nak hari ini."

"Tiga tingkat ya... memangnya kita tak harus urut?"

"Tak perlu... tak perlu... anggap saja kelas akselerasi."

"Ah, si Jago Merah benar-benar harus merevisi sistem kekuatan suku Api."

"Masalah Bayangkara biarlah menjadi masalah Bayangkara, sekarang, mari kita pulang."

Sementara itu Hakan mengajak Amartya untuk kembali ke kota, seraya membawa hasil buruan mereka.

Hari perburuan mereka pun akhirnya selesai. Keduanya tidak bicara apapun dalam perjalanan pulang, mungkin terlalu lelah untuk melakukannya.

Ibu Amartya, Kamira, menyambut kedatangan mereka dengan kehangatan. Dia mengantar mereka ke bangku di taman-taman istana untuk menikmati camilan dan minuman dingin. Oh tentu, kami sudah memiliki kulkas pada masa itu, hanya saja skemanya berbeda.

Akhirnya keduanya bisa beristirahat dengan tenang sembari diatapi langit biru yang indah. Hari ini terasa cukup panjang bagi keduanya, pertempuran kecil-kecilan seperti ini kadang jauh lebih melelahkan ketimbang perang skala besar yang cukup sering terjadi, setidaknya bagi Hakan.

Namun tak lama langit pun mendadak terang dan menyilaukan. Amartya spontan melindungi matanya dengan tangan kanannya, lalu mengintip penasaran situasi yang sedang terjadi di hadapannya.

Lalu mulailah terdengar suara tegas dan lantang dari langit. Suara yang kian merdu, gagah, agung dan suci layaknya cahaya. Setiap penduduk Afaarit terlihat khusyuk dan fokus mendengarkan apa yang disampaikan suara itu.

Langit pun mengeluarkan pesannya, mereka berucap,

"Wahai kalian para pejalan kaki (Penempa Bumi), ketahuilah bahwa akan datang masa di mana kalian akan bersatu-padu, dan dituntun oleh seorang penguasa yang terhormat. Ia membawa obor dari selatan, yang dialiri raja dari segala api, diiringi gadis dari bangsa yang turun meninggalkan langit. Sambutlah dia, wujudkan cita-citanya, maka sungguh golongan kalian termasuk orang-orang yang melihat kemenangan."

Setelahnya tanpa berkata lebih panjang lagi suara itu menghilang, dan langit kembali menjadi redup layaknya sedia kala. Kini yang terdengar hanyalah bisikan-bisikan tiap rakyat Api, semua orang terkecuali anak-anak, membicarakan Amartya. Mereka tau siapa penguasa yang dimaksud Gabriel (salah satu dan pemimpin malaikat agung) dari pesannya. Mulailah terdengar ucapan-ucapan mengenai kelahiran Amartya, sungguh hari yang megah.

"Penguasa... gadis langit... ayah tahu siapa yang ada di pesan Gabriel?"

Bocah api yang kebingungan menoleh pada ayahnya dan bertanya, apa dia tahu kedua orang yang dimaksud pesan itu.

"Tentu saja nak."

Mata Amartya seakan berbinar, menunggu gerak mulut ayahnya.

"Ia adalah... Ardiansyah."

"Ardiansyah? Siapa? Aku tak pernah mendengar orang dengan nama itu." Amartya semakin bingung setelah mendengar jawaban Hakan.

Sementara sang ayah hanya tersenyum, seakan menyimpan sejuta rahasia.

Tiba-tiba Kamira menghampiri mereka, dan meminta Amartya masuk ke dalam kamarnya untuk tidur lebih awal. Pemuda kecil kita sebenarnya masih penasaran, namun berusaha untuk tidak lagi mempertanyakannya.

Di dalam tidurnya Amartya bertemu Gabriel di alam mimpi. Beliau kemudian menyentuh kepala Amartya dan memperlihatkan dengan jelas sosok si gadis yang turun meninggalkan langit.

Sore itu Hakan mempersembahkan buruan anaknya pada si Jago Merah, dan menaikkan tingkat Amartya yang seharusnya sekarang tingkat 5 karena memburu rusa betina, menjadi tingkat 7 karena telah memburu rusa jantan. Selamat atas gelar Manshira-mu, Tuan Agung Amartya.

次の章へ