Kini mereka sudah sampai di restourant langganan mereka. Mereka duduk di tempat biasanya, pelayan pun sudah mengambil pesanan makanan mereka.
"Jadi, kemana saja kamu beberapa hari ini?" tanya Raka serius.
"Memangnya Flora tidak memberi tahumu?" tanya Kenan santai.
"Jika memang mengurus pekerjaan, kenapa kamu tidak pernah menjawab telponmu. Bahkan itu waktu malam," ucap Raka
"Aku sudah lelah, jadi selesai mengurus pekerjaa aku membersihkan tubuhku dan tidur," jawab Kenan.
Raka memicingkan matanya tidak yakin dengan jawaban kekasihnya, "Apa kamu memiliki kekasih baru?"
"Kamu bicara apa, sih! Memangnya aku itu kamu!" kesal Kenan yang sedikit meninggikan suaranya.
"Kamu tidak seperti biasanya. Jika ada pekerjaan di luar kota kamu selalu berpamitan dan memberi jatah. Selain itu kamu selalu ada waktu untuk memberiku kabar," ucap Raka menatap intens Kenan.
"Semuanya dadakan, jadi aku langsung pergi begitu saja. Masalah memberi kabar, maaf aku di sana sibuk."
"Kamu berkata jujur, kan?" tanya Raka memicingkan matanya.
"Memangnya aku kamu, yang selalu berbohong dan akan jujur jika sudah ketahuan?" tanya Kenan dengan nada mencibir dan ia menatap malas pada Raka.
Raka terkekeh, setidaknya Kenan masih bersikap sama padanya. Ketus jika menyangkut hal-hal yang membuatnya kesal. Makanan mereka datang dan merekapun mulai memakan makanan mereka.
Di tempat lain, tepatnya di appartement Kenan, Qia mondar mandir di kamarnya. Ia sempat mendengar suara teriakan seseorang yang memanggil nama Kenan sebelum sambungan telpon di matikan. Ia ingin menelpon, tapi ia takut jika tadi Kenan di panggil dosennya dan saat ini Kenan sedang bersama dosen.
"Kak, Ken," ucap Qia sambil sesekali melihat ke layar handphonennya.
Ketukan di pintu kamarnya membuatnya mengalihkan pandangannya. "Mbak Tata, ada apa? Kenapa terlihat khawatir?" tanya Munah, si bibi yang di pekerjakan Kenan untuk membersihkan appartement. Namun, karena ada Tata Kenan menambahkan gajihnya untuk tinggal di appartement sampai ia pulang dari kantor. Bi Munah pun sudah di beritahu tentang kondisi psikis Qia. Melihat Qia yang mondar mandir dengan wajah khawatir membuatnya mendekati Qia karena takut terjadi sesuatu.
"Ah, bi. Tata gak apa-apa, kok," jawab Qia seraya tersenyum.
"Tapi, Mbak Tata terlihat khawatir. Ada apa Mbak, cerita sama bibi, siapa tahu bisa mengurangi rasa khawatir mbak," ucap Bi Munah dengan suara lembut.
Tata mengigit bibir bawahnya kemudian ia melihat ke arah Bi Munah dengan takut-takut. "Tidak apa-apa, mbak. Cerita aja ke saya," ucap bi Munah seraya tersenyum hangat.
"Itu, bi ... " ucap Tata yang berhenti karena ia takut salah bicara.
"Iya, Mbak Tata mau bilang apa?" tanya Bi Munah masih dengan suara lembutnya.
"Tadi Tata denger ada yang teriak ke kak Ken. Tata takut ada apa-apa sama Kak Ken, bi," jawab Qia dengan mata merahnya yang siap menangis.
"Udah, Mbak Tata enggak usah mikirin Mas Kenan. Enggak akan terjadi apa-apa sama Mas Kenan-nya," ucap bi Munah dengan suara yang menenangkan.
"Tapi, bi. Kak Ken di marahin pasti karena aku," ucapnya yang mulai menangis. Air matanya sudah turun membasahi wajahnya.
Bi Munah mendekat ke arah Qia, ia menarik ke dua bahu Qia dan membawanya duduk di tepi ranjang. "Udah ya, mbak jangan nangis. Gimana kalau Mbak Tata telpon saja Mas Kenan supaya tahu bagaimana keadaan Mas Kenan," sarannya dengan suara lembut.
"Nanti kalau aku ganggu gimana bi? Terus kak Ken semakin dimarahi sama dosennya?" tanya Qia sesegukkan.
"Ya sudah, kalau begitu, kirim aja pesan ke Mas Kenan, apa dia tidak apa-apa," ucap Bi Munah memberi saran supaya Qia lebih tenang.
"Tata enggak berani," jawabnya sambil mengusap air matanya.
"Apa mau bibi saja yang kirimkan pesan ke Mas Kenan?" tanyanya yang tangannya sambil mengusap-usap satu pundak Qia.
Qia menatap Bi Munah yang tersenyum padanya, "Bagaimana?" tanya Bi Munah karena Qia belum memberi jawaban. Lama ia hanya diam memandangi Bi Munah, ia pun menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Bi Munah mengambil handphonenya dan mengirim pesan pada Kenan.
"Bibi udah kirim pesan ke Mas Kenan, sekarang Mbak Tata lebih baik istirahat aja ya," ucap Bi Munah dengan suara lembutnya.
"Terus, bagaimana sama kak Ken, bi?" tanyanya menatap Bi Munah.
"Nanti kalau udah di balas Mas Kenan, Bibi akan kasih tahu ke Mbak Tata. Jadi, sekarang Mbak Tata istirahat saja, ya," ucap bi Munah Qia nampak berpikir, tetapi akhirnya ia pun naik ke tempat tidur dan merebahkan dirinya.
Di tempat lain Kenan sudah melihat pesan dari Bi Munah, ia hanya membacanya tanpa membalas karena sedang ada Raka. Ia tidak mau membuat Raka curiga, apalagi ini berkaitan dengan Qia. Ia yakin, Raka sedang mengincar Qia karena beberapa waktu lalu Raka mencari tahu alamat Qia. Untunglah tidak ada orang yang tahu tentang Qia karena Qia yang sering bekerja tanpa berinteraksi dengan orang lain. Mereka juga hanya mengenal Qia dengan nama Ananta.
"Siapa yang chatting?" tanya Raka memicingkan matanya.
"Kakek," jawab Kenan singkat.
"Kenapa gak di balas?"
"Malas, kakek hanya mengingatkan masa tenggang saja," jawab Kenan sambil mengelap bibirnya dengan tisu.
"Apa kamu benar-benar harus menikah?" tanya Raka dengan raut wajah yang tidak terbaca.
Kenan kini menatap Raka yang suaranya seperti orang putus asa. "Ada apa? Bukankah kemarin kamu mendukung?" tanya Kenan heran.
"Entahlah beberapa hari tanpa kabar darimu aku menjadi uring-uringan. Bagaiman jika kamu menikah, aku pasti akan lebih sulit bertemu denganmu," jawabnya lesu.
"Kekasihmu banyak, jadi tidak akan masalah," jawab Kenan sambil meminum minumannya.
"Apa kamu akan mengakhiri semuanya?" tanya Raka serius.
"Tergantung padamu," jawab Kenan begitu santai.
Raka menatap heran Kenan yang terlihat begitu santai. Kenan tidak bersikap seperti biasanya, padahal setiap kali membahas masalah perpisahan ia yang paling keras untuk menolak. Namun, kali ini Kenan tampak begitu santai seolah-olah semua itu hanya hal biasa.
"Apa kamu sudah jatuh cinta pada calon istrimu?" tanya Raka memicingkan matanya.
"Uhuk, uhuk," Kenan langsung terbatuk mendengar pertanyaan Raka. "Calon istri?" tanya Kenan setelah ia tidak terbatuk.
"Iya, calon istri," ucap Raka yang memicingkan matanya.
Kenan menghembuskan napasnya kemudian ia berdiri dari duduknya. "Aku masih banyak pekerjaan, jadi aku harus segera kembali ke kantor," ucap Kenan tanpa menjawab pertanyaan dari Raka. Ia kemudian berdiri sambil membawa handphonenya lalu ia membalikan tubuhnya untuk pergi ke kasir sekalian pulang.
Raka dengan cepat mengambil barangnya dan segera berjalan berdampingan dengan Kenan. Kenan membayar makanannya dan tanpa berkata apa-apa ia berjalan keluar. Kini mereka ada di dalam mobil, Raka sesekali melirik ke arah Kenan yang hanya diam saja sambil menatap keluar jendela. Raka benar-benar merasakan sesuatu yang tidak beres dengan sikap Kenan. Jarang sekali perjalanan mereka hanya di selingi dengan keterdiaman. Biasanya jika mereka tidak saling mengobrol itu semua karena mereka sedang bertengkar.
Saat ini mereka sedang tidak bertengkar, jadi seharusnya perjalan pulang tidak diisi dengan saling terdiam tanpa membuka mulut. Denting pesan masuk, kembali terdengar di handphone Kenan. Kenan kembali melihatnya, tetapi kali ini Raka bisa melihat sekilas guratan terkejut kemudian khawatir di raut wajah Kenan. "Ada apa?" tanya Raka yang berpura-pura fokus dengan jalanan.
"Ah, Kakek kembali mengancam supaya aku segera mengenalkan calon istri kepadanya, jika aku tidak mau kehilangan posisi aku saat ini," jawab Kenan dan menatap sekilas Raka.
Raka menghela napasnya, kemudian ia menatap ke arah Kenan ketika lampu hijau. "Bagaimana jika kita pergi keluar negri untuk menikah?" tanya Raka menatap Kenan begitu serius.
Kenan terkejut dengan pertanyaan Raka yang menurutnya begitu tiba-tiba. Ia tidak menyangka pertanyaan itu akan muncul dari bibir Raka yang sangat membenci pernikahan. Apa Raka sudah tahu tentang Qia? Itulah pertanyaan yang saat ini ada di dalam otak Kenan.