=Ami POV=
Suara ledakan nyaring kedua berhasil membuat kami semakin waspada. Entah apa itu, terdengar sangat dekat dan menakutkan. Gelap tak berangin dan tanpa suara serangga malam, suasana kali ini benar-benar tidak kusuka. Hanya ada kekhawatiran yang melanda.
Kami tidur di atas dahan kayu tua yang berukuran besar, sengaja, karena kami tidak ingin mendapat serangan dari hewan hutan yang sangat buas.
Kulihat cabang lain tempat rekan satu timku berada, mereka semua terjaga dengan masing-masing senjatanya. Pikiranku seketika mengarah ke teman bermainku, Ge dan Sam, apakah mereka juga merasakan hal yang sama denganku? Takut, khawatir dan ingin segera pulang.
Ku pijat pelan lengan kiriku, sekilas ku lirik gelang kembar kami bertiga yang menurut Ge itu akan selalu menjaga dan menyelamatkan kami dimanapun dan kapanpun. Itu sudah sangat lama berada di lenganku, hanya perlu beberapa kali ku isi daya untuk kembali menyalakan LED nya yang cukup menarik. Ge tidak pernah memberitahu kami alasan pasti dia memberiku dan Sam gelang itu saat awal tahun lalu, dia hanya mengatakan kalau kami harus selalu kompak dengan hal apapun yang juga harus sama.
Memang terdengar kekanakan, tapi aku tidak masalah dengan hal itu. Lagipula gelang ini tidak mengganggu kegiatanku, hanya saja beberapa kali terlepas saat berlatih perang atau aku yang lupa menyimpannya dimana.
Tuk!
Sesuatu mengenaiku tepat di kepala. Seketika aku menoleh ke Sing yang berada di dahan tak jauh dariku, tetapi dia masih pada posisi semula yang memandangi langit dengan mendekap pedang.
Tuk!
Untuk kedua kalinya benda kecil itu mengenai kepalaku. Aku terbangun dan mencoba mencari benda itu di sekitaran tubuhku. Biji buah Latex menempel di bajuku, sedikit berlendir benda itu tak bergerak saat aku memungutnya.
Sing mengetahui gerakanku yang mencari-cari pelaku pelemparan biji itu. Manik kami bertemu, dia mengangkat kedua alisnya sebagai isyarat bertanya. Aku hanya menunjukkan biji buah hutan itu. Sing mengamatinya sejenak lalu dia menunjuk ke arah atas kami.
Benar saja, kami memang sedang tidur di dahan pohon Latex tua yang sedang lebat buahnya. Di atas sana ada banyak hewan nocturnal yang sedang mencari makan hingga sangat wajar jika biji-bijinya terjatuh ke arah kami yang berada di bawahnya.
Argh! Erang bang Athan yang berada di dahan di bawahku.
Seketika aku menoleh dan mendapatinya sedang membersihkan lendir biji buah Latex yang juga mengenai wajahnya.
Sing tertawa kecil, dia tampak senang saat ketua tim kami itu kesal. Sementara Kristo tetap tenang karena dia mengenakan tudung pakaiannya untuk melindungi diri.
Cuaca malam ini tidak begitu dingin, hanya tidak nyaman untuk terlelap. Aku dan Sing yang masih pada posisi bangun hanya memandangi langit biru yang mulai menunjukkan wajah bulan sabitnya.
Terdengar lirih bang Athan bergerak menuruni pohon dan berjalan menuju belakang semak-semak. Aku tidak ingin bertanya, ku rasa aku sudah tahu kemana dan apa yang hendak ia lakukan.
Awan hitam perlahan mulai muncul hendak menutupi rupa bulan yang indah. Bukan, itu bukan awan ku rasa. Ku tajamkan penglihatanku yang tidak begitu tajam ini untuk mengamatinya. Itu adalah kabut hitam yang pernah ku lihat sebelumnya hanya saja tidak membawa hujan abu bersamanya.
Kabut hitam itu bergerak sangat lambat, tetapi suasana gelapnya membuat bulu kudukku meremang. Seketika aku teringat perkataan Sing saat di penginapan di desa tentang asap hitam di Gedung Kuning yang rumornya adalah iblis yang tidak menampakkan diri.
Ku toleh Sing yang ternyata telah memejamkan mata. Ku lempar biji buah Latex dan memanggilnya dengan mendesis ringan.
Pria itu terbangun dan mengernyitkan dahinya ke arahku. Segera saja aku menyuruhnya untuk melihat ke langit yang sebagian telah tertutup kabut hitam.
Dia tidak bergeming, hanya mengamatinya dengan serius, begitupun denganku.
Setelah ku pikirkan kembali, bias saja kabut hitam itu adalah asap dari dua ledakan yang tadi terjadi. Ledakan besar yang rntah dimana dan kenapa itu sangat masuk akal jika menghancurkan sesuatu dan meninggakan kepulan asap yang tebal.
Aku masih terus mengamatinya, hingga kuubah posisiku lalu tertidur.
Aku terbangun dengan kembali terkejut, ku raa aku hanya berkedip tetapi saat ku buka mata semuanya sudah menjadi sangat terag benderang dan menyilaukan.
Segera saja aku turun dan membangunkan rekanku yang lain kecuali bang Athan, karena dia telah tidak berada di dahan tempatnya semula.
"Apa kabut itu telah hilang?" tanya Sing yang masih belum bernyawa sepenuhnya. Aku hanya mengangguk.
"Apa itu kabut yang sama dengan di penginapan?" tanya Kristo yang masih menyandarkan kepalanya di batang pohon.
"Entah, tapi ku rasa itu adalah kepulan asap dari ledakan itu," sahutku tak begitu minat.
Aku menyiapkan semua senajata dan beberapa makanan yang masih tersisa di dalam buntelan. Kuperkirakan hari ini tidak begitu buruk, sehingga kuputuskan untuk mencari beberapa buah berry untuk sarapan sebelum kembali berkelahi dengan musuh.
Merah, mungil dan manis, mereka adalah kesukaanku. Berry merah hutan adalah buah terbaik yang pernah ku makan, hanya saja itu tidak dapat tumbuh subur di tanah perkebunan milik ayah entah apa penyebabnya.
Satu kantongan terisi setengah dengan buah berry merah itu, hal sederhana yang berhasil menambah semangatku pagi ini.
Dari kejauhan aku mendengar samar suara langkah kaki seseorang. Aku sedikit bersembunyi di balik tanaman berry karena aku sedang tidak membawa senjata apapun.
Ku hitung dengan memperkirakan jarak langkah kaki itu dariku, beberapa saat kemudian muncullah sosok Athan dari arah kiri yang berjalan terus menuju hutan bagian dalam. Untuk sesaat aku terdiam, sorot mata pria itu sedikit berbeda dari biasanya, lurus kedepan dan tampak kosong sama sekali tidak menghiraukan kanan dan kiri. Dingin, seperti biasa hanya auranya sedikit berbeda.
"Bang Athan!" panggilku saat telah menyadari kalau sosok itu telah berjalan jauh semakin menuju hutan.
"Bang! Apa yang akan kamu lakukan disana?" pertanyaanku masih tak dihiraukan. Aku sangat yakin suaraku cukup nyaring di tengah hutan yang sunyi.
"Hey ketua tim!" Aku hendak mengikuti langkah besar pria itu, tetapi Kristo tiba-tiba muncul dan menahan lenganku dari belakang.
"Ami! Kami semua mencarimu, apa yang sedang kamu lakukan disini?" tanya nya serius.
"Ah aku mencari buah berry," aku segera menunjukkan kantonganku yang terisi lebih dari setengah dengan berry hutan merah.
"Huh aku dan Sing mengira kamu telah dilahap binatang buas tau! Jika tidak mendengar teriakanmu, mungkin aku tidak akan menemukanmu," ujarnya lagi dengan gaya bicara yang mirip ayah. "Tapi kenapa kamu berteriak? Apa ada hal yang mengganggumu?"
"Oh itu …," aku segera mnunjuk kea rah perginya bang Athan tadi, tapi kini ketua tim kami sudah tidak lagi berada disana.
"Kenapa?"
"Tadi Bang Athan berjalan ke dalam hutan, aku meneriakinya karena ingin tahu apa yang akan dia lakukan disana," jawabku terus terang.
"Athan? Dia sedang membuat api dengan Sing di dekat pohon, dia tadi pergi berburu kelinci saat kita masih terlelap."
***