Hari ini hari milikku. Juga esok masih terbentang.
Rakai Pikatan mengendarai kuda kesayangannya keluar dari pintu gerbang kerajaan. Ia memakai baju kulit tertutup, berbeda dengan kesehariannya dimana ia biasa bertelanjang dada dan hanya mengenakan sari sebagai penutup tubuhnya. Ia juga mengenakan sepatu kulit, berbeda dengan sepatu kaki berikat yang biasa ia kenakan. Sebuah sarung pedang lengkap dengan isinya terikat pada pinggang Rakai Pikatan. Ia mungkin bukan seorang petarung handal, namun setidaknya ia bisa memberikan perlawanan jika harus bertempur. Seorang calon pewaris kerajaan harus memiliki harga diri sebelum ia benar – benar mewarisi tahta. Walaupun aku bukan seorang ksatria.
Salah seorang ksatria menepuk punggung Rakai dari belakang. Ia mengenakan pakaian besi lengkap di atas kudanya, tanda siap bertempur.
"Nampak sedikit gugup, eh pangeran?" sebuah sindiran yang diakhiri tawa ringan. Tawa khas itu membuat Rakai Pikatan sebenarnya tidak perlu membalikkan badan untuk mengetahui sang pemilik. Anggabaya, salah seorang ksatria perang Kerajaan Medang. Badan besarnya kini terbungkus pakaian besi sehingga membuat otot – ototnya terlihat lebih besar dari biasanya. Seseorang ksatria berpakaian besi lainnya berjalan di sebelah Anggabaya. Ia terlihat tidak peduli tindakan Anggabaya.
"Tenang saja, begitu bertemu dengan pasukan Balaputradewa akan kutendang semua pantat prajuritnya, hahaha." lanjut Anggabaya.
Aku ingin sekali melihat orang ini tertikam ketika ia melancarkan lelucon – leluconnya. Kelakuan Anggabaya memang bertolak belakang dengan atasannya, Joko Wangkir. Senang bercanda, kadang tidak pada tempatnya, dan melahirkan konflik baru. Mirip sifatnya dengan sang panglima angkatan laut, Mpu Panca. Nama yang disebut terakhir kini memacu kudanya di sebelah kanan Rakai Pikatan. Berpakaian besi, namun tentu saja yang membedakan ia dan Anggabaya adalah botol tuak di tangan kanannya. Tidak mengatakan apapun, hanya memandang dingin, dan kembali memacu kudanya ke sayap kanan pasukan. Rakai Pikatan melengos di dalam hati. Ia merasa ia belum bisa menyatu dengan pasukan Kerajaan Medang.
Setidaknya aku memiliki seorang tuan putri. Dan sebuah ciuman. Rakai Pikatan mengingat – ingat kembali ciuman yang dilakukan oleh Pramoda. Begitu manis dan lembut. Ingin sekali Rakai mengulangi kejadian tersebut.
Sebuah tepukan kembali mendarat pada punggung Rakai Pikatan.
"Hai, anak muda! Aku tahu apa yang seorang pemuda pikirkan ketika ia menampilkan wajah seperti itu. Kau pikir aku tidak melihatmu tadi?" Anggabaya menggertak Rakai Pikatan sehingga ia tercekat.
"Kau melihatku tadi?" tanya Rakai Pikatan terbata – bata.
Dengan muka serius Anggabaya menjawab, "Tentu saja. Kau berciuman begitu lekat sehingga ketika Pramoda melepaskan bibirnya, kau berkata 'Oh, sayang, jangan lepaskan, aku ingin lagi, sayang,'". Kali ini tawa deras mengakhiri kalimat Anggabaya. Rakai Pikatan dapat mendengar beberapa prajurit di bagian belakang tertawa cekikikan mendengar lelucon Anggabaya. Dengan muka memerah dan sisa – sisa usahanya dalam mengendalikan diri, ia memacu kudanya menuju sayap kiri pasukan. Rakai Pikatan melempar pandangan kepada prajurit di pasukan belakang yang kembali memasang muka serius.
Memiliki Anggabaya di rombongan ini memiliki sisi positif tersendiri. Ia mencairkan suasana. Padahal mungkin ini adalah pertemuan terpenting kerajaan dalam sepuluh tahun terakhir: menghadapi Balaputradewa.
Dari seluruh petinggi kerajaan, hanya raja, Mpu Galuh, dan Jasabhana yang tinggal di istana. Sisanya berangkat. Seratus pasukan berkaki disiapkan sebagai antisipasi Balaputradewa melakukan serangan awal. Namun dari laporan yang diterima oleh anak buah Mpu Panca di Kalingga, tidak terlihat menurut pantauan di laut bahwa Balaputra akan membawa pasukan laut dalam jumlah besar. Ia memprediksi bahwa paling banyak hanya sepuluh kapal galangan akan datang pada pelabuhan Kalingga. Sepuluh kapal pun banyak, bodoh, pikir Rakai Pikatan.
Sementara itu pasukan kedua yang dipimpin langsung oleh Joko Wangkir sudah berada di kaki Gunung Dieng. Mereka berangkat dan menyiapkan diri lebih awal, mengatur formasi pasukan, berlatih tanding, serta mempersiapkan alat – alat perang. Rakai Pikatan sebenarnya tidak menampik bahwa seratus pasukan berkaki yang melakukan perjalanan panjang bersamanya hanyalah sebuah tata cara di hadapan raja dalam menyambut tamu. Pasukan utama tetap berada di bawah kendali Joko Wangkir, dan seandainya perang terjadi, dapat diantisipasi dengan cepat.
Dari kotaraja menuju Kalingga membutuhkan waktu dua hari perjalanan. Pasukan Rakai Pikatan berencana untuk sampai di kaki Gunung Dieng pada waktu petang, beristirahat, dan menyambut Balaputradewa keesokan harinya berasama pasukan Joko Wangkir pada waktu matahari berada di tengah – tengah ufuk barat.
Satu yang menjadi masalah adalah utusan yang berasal dari Kerajaan Sriwijaya. Ia menyampaikan kedatangan Balaputradewa tepat sesuai dengan hari dan waktu kedatangan. Samaratungga tahu bahwa Balaputra adalah orang yang akurat dan tidak perlu diragukan tingkat kepercayaannya. Namun ketika raja bertanya berapa orang yang akan dibawa oleh Balaputradewa, sang utusan diam seribu bahasa. Raja bisa saja mengancam akan membunuh utusan tersebut, tetapi dilihat dari gerak – gerik sang utusan, raja menyimpulkan rahasia itu akan dibawa bersamanya ke liang kubur seandainya ia berhadapan dengan pedang tajam.
Waktu telah menunjukkan siang hari tanda matahari berada di tengah – tengah langit biru tidak berawan. Pasukan yang dipimpin Rakai Pikatan kini telah melintasi daerah Ngawen, sebuah daerah di tepi Sungai Progo, sungai yang melintasi Kerajaan Medang dari utara sampai selatan dan bermuara pada Laut Kidul. Pemandangan indah yang disajikan membuatnya tidak bosan – bosan memandang kearah hamparan sungai. Air jernih dan dangkal, disertai dengan bebatuan yang terkadang memecah gelombang menjadi daya tarik tersendiri. Selain itu, letak Sungai Progo yang berada dekat dengan Gunung Merapi menjadikannya kaya dengan batuan vulkanik seperti andesit, batu lava, dan batu granit. Tidak jarang ia melihat orang yang sedang mengumpulkan batu andesit di tengah – tengah sungai untuk dijual dan kemudian menjadi bahan dasar candi.
Keindahan Sungai Progo membuat Rakai Pikatan lupa daratan. Begitu tersadar, ia sudah terpisah jauh dari rombongan. Rakai Pikatan tidak panik mengingat jalur menyusuri Sungai Progo merupakan jalur tercepat menuju kaki Gunung Dieng. Jadwal yang ia tetapkan bersama Mpu Panca selaku pemimpin rombongan bahwa mereka akan tiba di bawah kaki Gunung Dieng pada malam hari. Kalau hanya bersantai sedikit, tentu akan terkejar.
Derap langkah kaki kuda terdengar dari balik jalan yang berbelok di depan Rakai Pikatan. Sesaat kemudian pemilik kuda tersebut memunculkan diri di depan Rakai Pikatan. Raka Saputro. Ia adalah ksatria yang berada di sebelah Anggabaya di awal perjalanan tadi. Sosoknya tidak begitu besar, hanya ia memiliki sosok lebih ideal daripada rata – rata orang di daerah asalnya, Blambangan, dimana pekerjaan orang kebanyakan adalah nelayan sehingga menyebabkan penduduk memiliki kulit kering, hitam legam, dan kurus layaknya kayu hutan yang siap untuk dibakar.
"Panglima menyuruhku untuk menjemputmu, Rakai Pikatan. Ia mengharapkan engkau tidak terlalu jauh dengan rombongan pasukan." cetus Raka Saputro.
Yang aku sukai dari ksatria ini adalah kesopanannya. Berbeda sekali dengan si gendut sialan itu. "Tenang saja, kawan. Tidak ada jalan lain menuju kaki Gunung Dieng. Oke, sebenarnya ada, namun jalan ini adalah jalan tercepat. Lihat saja, tidak lama lagi kita akan menyebrangi jembatan penyebrangan di depan sana." Rakai Pikatan menunjuk sebuah jembatan yang melintasi Sungai Progo pada jarak kurang lebih dua puluh depa di depannya.
Raka Saputro memutar dan memacu kudanya di samping Rakai Pikatan. Tidak lama kemudian mereka telah sampai di depan jembatan. Jembatan berukuran kecil, hanya dapat dilalui oleh dua kuda saja. Segera Rakai Pikatan dan Raka Saputro melangkah menuju jembatan. Ketika berada di tengah jembatan, hal yang tidak dibayangkan oleh Rakai Pikatan terjadi.
Seorang bandit dengan muka tertutup berlari dan mengacungkan celurit di ujung jembatan. Rakai Pikatan berbalik, hanya untuk melihat seorang bandit lainnya menutup jalan dan sambil melipat tangan ia melihat ke arah Rakai Pikatan dengan nafsu membunuh. Tercekat, namun cepat menguasai keadaan, Rakai Pikatan turun dari kudanya dan mengeluarkan pedang di sampingnya.
"Keadaan tidak baik, Raka. Kita dikepung. Aku mencoba mengatasi bandit di depanku, kau coba hadapi lawan di depanmu itu." Rakai Pikatan mencoba menguasai keadaan, namun dengan tangan masih gemetaran.
"Tidak, tuan. Tetap bersamaku. Mereka tidak sendiri," tukas Raka Saputro.
Raka Saputro benar. Dari balik pepohonan di seberang sungai Rakai Pikatan dapat melihat gerombolan bandit memantau jembatan dari atas kuda. Ia tidak dapat memastikan berapa bandit yang berada di seberang sana. Ia menebak sekitar lima hingga enam orang. Namun tidak untuk bandit yang berada di hadapannya. Nampaknya ia hanya seorang diri saja.
"Baiklah. Mari kita bertarung, tuan. Jembatan ini terlalu sempit buatku untuk berbalik arah. Kau harus menghadapi orang di depanmu, tuan," Raka Saputro berhenti sebentar, dan melanjutkan dengan suara berbisik kepada Rakai Pikatan, "ini adalah kumpulan bandit terbodoh yang pernah aku hadapi."
Kedua bandit tersebut berlari bersamaan menerjang sisi Raka Saputro dan Rakai Pikatan. Tidak seperti Rakai Pikatan yang menunggu, Raka Saputro ikut berlari menerjang bandit di hadapannya. Rakai Pikatan tidak dapat melihat apa yang terjadi di belakangnya, ia hanya mendengar sebuah suara seperti sebuah batu besar tercebur ke sungai. Sesaat kemudian ketika ia mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi bandit di hadapannya, sebuah sosok dengan sangat cepat berlari di sampingnya dan menerjang bandit di depan. Sebuah pedang menembus perut sang bandit, dan tidak lama kemudian suara ceburan kedua terdengar di sungai Progo. Kali ini Rakai Pikatan dapat melihat jelas kedua 'batu' penyebab ceburan tersebut.
Masih dalam kondisi terkesima, Rakai Pikatan mendengar sang pemimpin bandit berteriak memimpin anak buahnya untuk menyerang jembatan. Raka Saputro tidak berlari menerjang untuk saat ini. Ia menunggu di tengah jembatan, dan ketika bandit – bandit sampai ke tengah jembatan, ia bertarung menghadapi mereka satu persatu. Kini Rakai Pikatan mengerti mengapa bandit – bandit ini disebut bodoh oleh Raka Saputro.
Satu persatu tubuh – tubuh bertumbangan dari jembatan menuju permukaan sungai yang dangkal. Rakai Pikatan mengagumi teknik pedang Raka Saputro. Tidak ada satupun tebasan sang ksatria yang membiarkan lawannya hidup, apalagi lolos. Mayat – mayat bergelimpangan di atas Sungai Progo yang pelan – pelan membawa tubuh tersebut dengan arus tenangnya.
Setelah selesai bertarung, Raka Saputro menyarungkan pedangnya sembari berkata, "Sudah kuperingatkan, tuan. Adalah tidak baik untuk terpisah jauh dari rombongan. Mari, kita susul mereka."
"Baiklah, mari kita lekas pergi. Terima kasih, kawan," ujar Rakai Pikatan yang dibalas dengan anggukan Raka Saputro. Rakai Pikatan bersyukur dewa ada di sisinya hari itu.
***
Matahari telah lama meninggalkan cakrawala ketika rombongan Mpu Panca bertemu dengan Joko Wangkir. Melepas lelah, para prajurit segera beristirahat pada padepokan yang merupakan milik Bupati Dieng. Ubi hangat segera dihidangkan untuk melepas lapar. Sedangkan para petinggi dipersilakan untuk menuju pendopo Bupati Dieng untuk menikmati santap malam, tidak terkecuali Rakai Pikatan. Suara jangkrik menghiasi keheningan malam.
Rakai Pikatan adalah orang terakhir yang memasuki ruang makan pendopo. Ruang makan pendopo Dieng bukanlah ruang yang begitu besar dibandingkan ruang makan pendopo Prambanan. Di satu sisi terlihat meja makan beserta para petinggi di sisinya, sedangkan di seberang ruangan merupakan pajangan berbagai macam karya seni seperti lukisan, patung, dan alat – alat musik. Rakai Pikatan ingat saat ia berkunjung ke pendopo ini dahulu saat diperkenalkan sebagai calon pewaris takhta, Perang Kalingga adalah lukisan yang paling menarik perhatiannya. Di lukisan tersebut ia melihat dua orang sedang mengacungkan senjata kepada prajurit – prajurit yang mengepung mereka. Pada latar belakang terlihat istana Kalingga yang terbakar. Kini ia melihat lukisan itu tepat pada tempatnya, serta kembali mendapatkan rasa kagum yang luar biasa.
Seorang wanita paruh baya menghampiri Rakai Pikatan, "Rakai Pikatan. Selamat datang di Kabupaten Dieng. Mari, kita santap makanan yang sudah disiapkan."
Rakai Pikatan mengangguk, namun sejujurnya ia merasa sangat lelah setelah pengalaman hari ini dan harus mengejar rombongan yang berjarak jauh. Ia mengutarakan maksutnya, "Bi Suciwati, maafkan daku, namun daku sedikit agak lelah pada perjalanan hari ini. Diperkenankanlah diriku untuk melangkahkan kaki menuju ruang tidur."
"Tidak sopan jika tidak mengalamatkan salam kepada tuan rumah, pemuda. Aku sebagai nyonya tanah mendesakmu untuk setidaknya duduk di meja makan walau hanya sebentar," Suciwati mendesak Rakai Pikatan untuk menempati tempat yang sudah disediakan.
Rakai Pikatan perlahan menuju meja makan dan duduk pada kursinya. Di atas meja telah tersedia hidangan gulai dan opor ayam. Ia enggan mememeriksa ke sekeliling meja siapa saja yang berada di sekitarnya, namun dari suara tawa yang menggelegar ia dapat memastikan Anggabaya berada di salah satu kursi. Dan sebuah suara ringan yang menyebalkan.
Tepat pada posisi menyilang di seberangnya, ia dapat melihat Bupati Dieng Awan Senggana duduk dengan senyuman khasnya, dan di seberangnya, atau di sebelah Rakai Pikatan, adalah mahapatih kerajaan, Ario Senopati. Ini akan menjadi waktu paling menyebalkan di dalam hidupku. Rakai Pikatan mencicip opor ayam dan sangu di depannya, serta bersyukur bahwa masih ada hal baik yang dewa berikan di atas meja makan tersebut.
Dengan wajah bersih dan senyum yang putih mengilat, Awan Senggana mencoba memulai percakapan, "Selamat datang di Dieng, wahai pewaris takhta. Engkau pasti lelah, silakan beristirahat dan menyantap hidangan nikmat yang sudah disiapkan nyonya rumah."
Rakai Pikatan mengangguk dan tersenyum. Ario Senopati menambahkan, "Kudengar kau mendapat bencana siang ini. Aku harap kau tidak mengalami luka," Ario Senopati berhenti sebentar, membuat hati Rakai Pikatan sedikit tersentuh, namun ketika ia melanjutkan, "sebagai pewaris takhta kau juga tidak boleh ceroboh dengan meninggalkan rombongan jauh di depanmu. Kesalahan kecil dapat berakibat fatal bagi seluruh kerajaan," disambut Rakai Pikatan dengan sebuah anggukan terpaksa terhadap nasihat Ario Senopati. Sudah kuduga. Orang ini memang tidak menyukaiku. Bagaimana dengan Putri Pramodawardhani yang berkelana sendirian ke candi yang belum diberi nama itu? Tidak adakah yang mempertanyakannya?
Awan Senggana mengalihkan pokok pembicaraan, "Bagaimana rencana tuan terhadap kedatangan Balaputradewa esok hari? Aku yakin dari sisi keprajuritan tidak perlu dipertanyakan. Joko Wangkir seharian memoles formasi perang dan teknik bertarung para prajurit. Selain itu ia memeriksa semua tombak, pedang, serta panah yang akan dipakai untuk bertarung. Namun aku melihatmu tanpa ada suatu tindakan. Apa yang akan kau lakukan besok?"
Benar, tidak ada yang bisa menebak isi kepala Ario Senopati.
Tersenyum dan sambil melahap gulai ayamnya, Ario Senopati berkata, "Bukan maksudku untuk tidak mempercayaimu, Awan Senggana, namun aku lebih suka menyimpan isi kepalaku buatku sendiri."
Senyuman malaikat menghilang dari wajah Awan Senggana. Melihat lawan bicaranya tidak puas, Ario Senopati akhirnya menyerah, "Baiklah, aku akan memberitahumu." Awan Senggana kembali terlihat antusias. Ario Senopati melanjutkan, "Aku tidak akan melakukan apa – apa." Wajah bersih Awan Senggana kembali menunjukkan ekspresi kecewa.
Kelelahan yang dimiliki oleh Rakai Pikatan membuat ia tidak ingin memusingkan dirinya dengan jawaban menyebalkan Ario Senopati, walaupun ia setuju dengannya untuk tidak membagikan rencananya kepada siapapun. Bagaimanapun juga ia adalah mahapatih kerajaan, sudah menjadi tugasnya untuk menjaga keberlangsungan kerajaan, walaupun dari orang terdekat sekalipun. Tidak dapat menahan lebih lama lagi, Rakai Pikatan berdiri, memohon diri kepada sang bupati dan sang mahapatih, dan meluncurkan diri menuju kasur peristirahatan.
***
Matahari baru saja menampakkan dirinya di ufuk timur ketika seluruh pasukan berperang Kerajaan Medang sudah dalam kondisi siap. Kali ini pasukan utama dan pasukan Joko Wangkir telah bergabung dan membentuk sebuah formasi pasukan. Dipimpin langsung oleh sang panglima, pelan – pelan rombongan pasukan tersebut melangkah keluar halaman pendopo bupati. Sang bupati tinggal di pendopo dan merasa tidak perlu terlibat dalam penyambutan Balaputradewa ini.
Ada beberapa perubahan dalam formasi pasukan pagi ini. Parameter kanan yang dahulu ditempati oleh Mpu Panca diisi oleh Anggabaya. Mpu Panca sudah terlebih dahulu meninggalkan kabupaten subuh – subuh benar untuk mendapatkan laporan pemantauan angkatan laut terakhir dari pos pelabuhan Kalingga. Parameter kiri tetap dijaga oleh Rakai Pikatan. Perubahan selanjutnya adalah Ario Senopati yang berada di tengah – tengah pasukan. Tepat di tengah – tengah: banjar ketiga, sap kesepuluh. Layaknya seorang raja yang harus dilindungi.
Perjalanan menuju istana Kalingga bukanlah perjalanan yang menarik. Hal ini diakui sendiri oleh Anggabaya, "Sungguh perjalanan yang menjemukkan. Aku harap si Balaputra ini orang yang menyenangkan. Aku siap untuk menghajar semua anak buahnya! Awas saja kalau aku hanya mendapatkan sedikit porsi pukulan." celetuk Anggabaya.
"Kau ini tampaknya tidak sayang nyawa. Lihat saja pohon – pohon sawit di sekitarmu itu. Aku lebih berharap mereka tidak menjadi korban dibanding prajuritmu." balas Rakai Pikatan.
"Pohon sawit, pohon jati, membosankan semuanya. Grrr," Anggabaya mulai mengeluh.
Setelah lama menjumpai hanya pepohonan, akhirnya tampak di kejauhan istana Kalingga. Tidak hanya itu, aroma pantai dan deburan ombak yang memecah daratan mulai terdengar oleh Rakai Pikatan yang berada di belakang pasukan. Rakai Pikatan menduga bahwa telah lewat tengah hari ketika ia sampai di depan istana Kalingga. Istana tersebut merupakan istana yang megah, walaupun tidak sebesar istana kerajaan di Prambanan. Istana utama berbentuk bundar, dengan keempat menara pengawas dengan tinggi tiga puluh depa terletak di sudut – sudut halaman istana. Bermacam – macam bangunan seperti rumah terletak di samping istana utama.
Joko Wangkir memerintahkan anak buahnya untuk mengatur prajurit dalam bentukan formasi di halaman istana Kalingga, sedangkan dirinya bergerak menuju pos pemantauan di dermaga Kalingga. Rakai Pikatan mengikutinya. Mereka menemukan Mpu Panca serta anak buahnya sedang memeriksa sebuah laporan.
"Bagaimana pantauan kedatangan Balaputradewa, panglima?" tanya sang panglima. Yang ditanya terlihat diam. Ia kembali memeriksa kembali perkamen - perkamen berisi laporan pemantauan arus laut dari tengah malam sampai pagi yang dilakukan anak buahnya lepas pantai. Akhirnya ia menjawab, "Tidak terlihat ada pergerakan besar di laut. Aku tidak mengerti. Balaputradewa tidak membawa kapal – kapal besar."
"Atau ia tidak datang. Atau ia tidak menepati janji. Atau ia terlambat datang." tambah Joko Wangkir.
"Mungkin. Namun ia terkenal sebagai pemimpin yang menepati janji. Matahari sudah menunjukkan waktu kedatangannya. Lebih baik kita segera bersiap di tepi pantai untuk menyambutnya." jelas Mpu Panca sembari keluar dari pos pemantauan, diikuti oleh Rakai Pikatan dan Joko Wangkir. Rakai Pikatan menaruh hormat padanya. Jelas dalam tugasnya ia adalah orang yang terbaik. Namun kini semua dalam keadaan panik.
Seluruh prajurit menempati halaman istana. Hanya pemimpin: Ario Senopati, Joko Wangkir, Mpu Panca yang berada di barisan terdepan di tepi pantai untuk menyambut Balaputradewa. Rakai Pikatan tepat berada di belakang mereka.
Rakai Pikatan harus menghitung tepat seratus hitungan ketika sebuah kapal berukuran kecil berlayar kuning terlihat dari kejauhan, dan beberapa saat kemudian merapat pada pantai Kalingga. Seluruh pasukan bersiaga, termasuk para pemimpin yang menyiapkan senjata mereka. Ketika kapal tersebut melemparkan sauh di samping dermaga, sebuah sosok keluar dari dalam bilik kapal. Sebuah sosok yang bersahaja, paruh baya, memiliki karisma, dan terlihat sopan. Ia mengenakan sari kuning layaknya seorang Buddha, dan memakai sandal kulit. Sosok tersebut kemudian tersenyum, membungkuk dari atas kapal, dan menyampaikan salam.
Dari semua pemimpin hanya Ario Senopatilah yang membalas salamnya. Ia turun dari kuda dan membungkuk, sementara Mpu Panca menggelengkan kepalanya, dan Joko Wangkir terlihat yang paling kesal dari antara mereka. Mukanya terlihat masam dan ia mengeluarkan sumpah serapah yang dapat terdengar oleh Rakai Pikatan.
Balaputradewa datang seorang diri.