Mobil melaju dengan santai, dapat kulihat jalan raya cukup ramai hari ini bahkan hampir memenuhi seluruh jalan. Ya, baru saja aku berpikir seperti itu sudah terjadi kemacetan di depan mobil papa. Dan terlihat sangat panjang hingga depan, sekitar 3 kilometer mungkin dari yang kulihat.
Bosan memang menunggu kemacetan yang entah sampai kapan ini, padahal hari masih pagi. Baru pukul 8 dan jalanan sudah padat, dan aku hanya bisa menghembuskan nafas bosan. Kak Kiano yang berada di sampingku sudah tertidur sejak tadi, sungguh membosankan.
Hampir 2 jam kami terjebak di kemacetan kota. Kini, kami sudah berada 1 kilometer dari depan gerbang masuk taman rekreasi Dufan. Dan jalanan kini cukup senggang. Entah kenapa aku merasa ada yang aneh dengan papa, papa terlihat panik dan berkata..
"Sayang, cepat melompat sekarang. Kisha! Kiano! Cepat melompat." Teriak papa tiba-tiba, membuat kita semua panik.
"Ada apa sayang? Kenapa kita harus melompat?" Tanya mamaku panik sambil menatap papa dengan cemas.
"Aku tidak tau, sebelumnya tidak ada masalah dengan mobil ini. Tetapi sekarang kurasa mobil ini bermasalah, remnya tidak berfungsi secara tiba-tiba kurasa terputus. Sekarang cepatlah kalian melompat, di depan ada truk yang melaju cepat dan aku tak bisa menghIndar. Cepatlah melompat!" Jelas papa dengan panik, sambil berusaha menyeimbangkan laju mobil yang cukup cepat ini.
"I-iy papa" balasku dan kak kiano bersamaan.
Kami membuka pintu mobil, sungguh mobil ini melaju cukup cepat. Namun, masih bisa untuk melompat. Mungkin akan terluka namun tidak parah, setidaknya lebih baik daripada mati bertabrakkan dengan truk itu.
Kak Kiano melompat pertama kali, kulihat tubuhnya berbenturan dengan aspal. Dia meringis namun masih bisa bangun walau mungkin cukup sulit. Aku mulai gugup dan ragu untuk melompat, namun tidak ada pilihan lain. Akupun melompat, kurasakan tubuhku yang berbenturan dengan aspal yang dingin. Rasa sakit menyerang tubuhku, perlahan mataku menggelap. Namun aku masih memepertahankan kesadaranku dan melihat ke mobil yang masih bergerak namun mulai melambat. Pintu kemudi terbuka, lalu kulihat papa melompat dan menggelinding di aspal. Aku menghela nafas lega, setidaknya papa selamat. Sekarang tinggal mama, kulihat pintu samping penumpang bagian depan terbuka dan tepat saat mama mau melompat..
'Brakkkk!!!'
truk itu menghantam keras mobil papa hingga terseret cukup jauh. Kami terpaku dan membatu, menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Bagaimana mungkin truknya menghantam mobil papa dengan cepat? Sedangkan tadi kulihat truk itu berjalan ke arah yang tidak berbenturan dengan mobil papa. Kurasa tadi cukup ada celah untuk menghindar, tetapi apa ini? Mobil papa terseret jauh dan tidak lagi berbentuk. Seketika pikiranku kosong, dan terpaku pada apa yang kulihat.
"Mamaaaaaaaaa!!!" Teriak kak Kiano dan langsung berlari ke arah mobil papa.
"Tidak, Kinaaaan!!" Teriak papa histeris yang juga berlari ke arah mobil.
Lamunanku menghilang saat teriakan kak Kiano dan papa yang memanggil mama dan berlari menuju mobil papa yang sudah tidak berbentuk itu. Apa yang terjadi? Oh tidak, aku baru ingat apa yang terjadi beberapa saat lalu tepat di depanku. Setelah mendapatkan kesadaranku, aku bangun dari posisiku. Jujur saja sangat sakit sekali tubuhku ini, namun aku memaksa untuk berlari ke arah mobil papa. Ada seseorang yang paling berharga dalam hidupku dalam mobil itu. Aku terisak, air mataku mulai berjatuhan melewati pipiku. Aku berlari sekuat sisa tenagaku, dan menghampiri papa juga kak kiano yang membatu di depan mobil papa.
"Tidak, tidak mungkin mamaaaaaa. Mama! Dimana kak? Mama masih hidupkan ka? Jawab kak, mama tadi ikut melompat kan?" Tanyaku histeris sambil menarik jaket yang di pakai kak Kiano.
"Tenanglah kisha! mama... mama masih di dalam, mama.. belum sempat melompat." Jawab kak Kiano dengan raut wajah sedih.
"Tidak, mama.. itu tidak mungkin. Mama! Mama dimana? Jawab kisha ma! Mamaaaaa!" Teriakku sambil mencari mama di sekitar mobil. Dan aku terpaku membeku, bagai tersambar petir dan di hantam ribuan batu. Aku terjatuh ke tanah dan menatap kosong pada satu tempat dalam mobil yang tidak berbentuk itu, mama disana dengan kepala berlumuran darah, kaca yang menusuk tubuh mama, dan mama tersenyum lalu menutup matanya sesaat setelah aku menemukannya.
Tidak, ini hanya mimpi burukku. Tidak mungkin mama.... tidak. Aku berharap akan terbangun dari mimpi buruk ini. Aku memukul dadaku yang terasa sangat sakit dan sesak. Aku menangis sejadi-jadinya, berteriak dengan histeris.
"Cukup kisha, mama sudah tiada. Jangan seperti ini, kau membuat mama sedih. Lihat! Mama sedang tersenyum melihat kita." Ucap kak Kiano sambil memelukku erat. Bisa kurasakan kepalaku basah, dan bisa kupastikan kak kia menangis saat ini.
Aku melirik papa, yang masih bersimpuh sambil menunduk. Aku tau kita semua terluka, karna itu aku menguatkan hatiku untuk bangkit dan menghampiri papa. Aku memeluk papa dan mengajaknya bangkit. Bangkit dari segala hal yang menyakitkan ini. Tidak lama setelahnya, sirine ambulance mulai memenuhi pendengaranku. Dan mereka mengevakuasi jasad mama. Papa, kak kia, bahkan aku tidak mampu mengatakan apapun. Kami terdiam membisu, dan ikut masuk ke ambulance itu untuk menuju rumah sakit.
_-_-_-_-_-_-_
Aku membuka mataku, yang pertama kulihat hanyalah atap putih dan bau obat yang menyengat. Aku tau ini pasti di rumah sakit, mengingat itu aku kembali tertunduk lesu. 'Apakah ini semua nyata?' Hanya itulah yang aku pikirkan saat ini. PIkiranku kosong, melayang entah kemana.
Pintu berderit, mengalihkan atensiku pada seseorang di depan pintu itu. Aku melihat kak Kiano masuk dan duduk di kursi yang berada di sampingku sambil tersenyum. Pelipisnya tertutup perban, dan tangannya juga ada yang di perban. Aku tau, mungkin itu karna luka dari melompat dan membentur aspal. Dan ya, akulah yang paling parah disini. Luka di pelipis, tangan, serta kakiku lumayan banyak dan cukup dalam. Karna itulah aku di rawat beberapa hari dirumah sakit ini.
"Bagaimana keadaanmu, Kisha?" Tanya kak Kiano dengan senyumnya sambil membelai rambutku.
"Hm, kurasa cukup baik. Bagaimana keadaan papa?" Jawabku dengan senyum getir dan menatap kosong pada kak Kiano.
"Papa juga tidak apa-apa, hanya luka ringan. Tapi sekarang papa sedang menghadiri pemakaman mama." Jelas kak Kiano sambil tersenyum sendu.
"Ya, aku tau." Balasku sambil menatap langit-langit ruangan ini.
Hening.. itulah yang terjadi saat ini. Aku berada pada pikiranku sendiri, dan kak Kiano juga sepertinya sedang memikirkan suatu hal. Jujur, dulu aku paling tidak suka keheningan. Namun entah kenapa sekarang keheningan seakan menjadi temanku. Aku merasa lebih nyaman diam tanpa suara. Aneh, kurasa ada yang aneh dengan diriku.
Pikiranku kembali pada kejadian itu, saat dimana mama tidak sempat melompat. 'Apakah ini semua salahku? Jika saja aku tidak mengajak semua untuk pergi, mungkin akan berbeda. Jadi ini salahku? Kematian mama karna diriku? Oh, aku sungguh amat sangat menyesal bersikap manja pada papa dan mama. Jika saja aku bisa mengulang waktu, aku tidak akan meminta untuk piknik bersama. Ini salahku, maafkan aku mama.'
'Kraukkk'
Oh tidak, apa-apaan ini. Aku jadi merasa sangat malu sekarang. Saat tegang begini, kenapa perutku berbunyi begitu keras apalagi keadaan hening seperti ini. Dan bisa kulihat kak Kiano mengernyitkan dahinya, oh bisakah aku menghilang sekarang? Sungguh memalukan.
"Kau lapar, kisha? Kenapa tidak bilang saja. Ini ada bubur, makanlah." Ucap kak Kiano sambil tersenyum mengejek.
"Hehe, iya. Terima kasih." Jawabku pada kak Kia dan mengambil mangkuk bubur itu lalu memakannya.
"Sama-sama, dasar kau ini memang tidak berubah." Balas kak kiano sambil mengacak-acak rambutku.
"Kakak! Rambutku jadi berantakan, ih Menyebalkan." Ucapku kesal sambil merapikan rambutku.
"Haha, jangan cemberut begitu. Nanti tikus pada kabur lihatnya." Ejek kak Kiano sambil terus tertawa.
"Ish, kakak menyebalkan." Balasku kesal.
"Baguslah kak Kiano jadi tertawa seperti itu, setidaknya aku lega karna kakak tidak sedih lagi." Batinku berkata.
.
.
.
.
.