webnovel

Bag 31 Ayah Kandung Lori

Malam harinya, Anxia tidur bersama Lori yang sangat membuat Anxia merasa lega. Untungnya Richard tidak memaksa tidur bersama dan menggunakan alasan ada pekerjaan penting yang membutuhkannya untuk melakukan video conference call dengan perusahaan di Jepang.

Perbedaan waktunya adalah tujuh jam dan meetingnya diadakan jam delapan pagi di Jepang yang berarti jam satu pagi di Belanda. Richard harus mempelajari semua detail untuk bahan meeting nanti malam.

Seharusnya Richard tidak memiliki jadwal apa-apa apalagi dia sedang berlibur. Tapi karena ulah sang ayahnya, mau tidak mau Richard harus menuruti ayahnya dan mengikuti video conference tersebut.

Sebelum Anxia masuk kedalam kamar untuk menidurkan Lori, Richard telah memberinya pesan pada Anxia untuk memberitahu Lori siapa ayah kandungnya. Pria itu bahkan dengan tidak tahu malu melarang Lori akan sesuatu.

"Baby girl, mulai sekarang kau tidak boleh memanggil pria lain dengan sebutan 'papa'. Hanya aku yang boleh kau panggil 'papa'. Okay?"

"Okay! Hanya papa yang menjadi papa Lori!"

Anxia menghela napas menyadari semakin lama putrinya berada disini, semakin besar pula ikatan hubungan ayah anak itu.

"Mama? Bukankah papa sangat tampan?"

Pertanyaan Lori membuat kening Anxia mengernyit. Yah, Richard memang tampan, tapi wajah eropa Richard bukanlah tipenya.

"Apakah mama tidak menyukai papa? Kenapa mama tidak suka pada papa?"

"Bagaimana denganmu? Kenapa kau bisa menyukainya? Dia hanyalah orang asing." bukannya memberitahu putrinya bahwa Richard adalah ayah kandungnya, Anxia malah memberikan kesan bahwa Richard hanyalah orang asing.

"Dia bukan orang asing. Dia adalah papa."

"Bagaimana kau bisa yakin?"

"…" Lori tidak menjawab dan memasang muka cemberut. "Karena aku memilki nama papa dan juga… wajahku mirip dengan papa."

"…"

Anxia mengambil napas panjang mendengar jawaban putrinya. Apa yang dikatakan Meisya memang benar. Mungkin memang belum ada yang memberitahu anak itu siapa ayahnya, tapi Lori sudah menduga-duga karena putrinya bukan anak kecil biasa.

Anxia mengangkat tubuh putrinya dan mendudukkannya ke atas pahanya. Dia memandangi wajah putrinya dengan seksama.

Rambut keemasan, bola mata dengan dua warna yang berbeda serta bentuk alis yang tercetak sempurna didampingi dengan bulu mata lentik membuat putrinya secantik boneka.

Selama ini dia selalu mengagumi kecantikan putrinya dan bertanya-tanya kenapa tidak ada satu jejakpun yang menunjukkan dirinya. Sepertinya putrinya lebih banyak mengambil gen dari sang ayah dibandingkan dirinya.

Anak ini juga jenius seperti kakeknya dan juga pintar beradaptasi dengan lingkungan berbeda seperti Richard.

Kalau seandainya bukan dia sendiri yang sadar telah melahirkan anak jelita ini, mungkin dia tidak akan percaya bahwa Lori adalah putri kandungnya.

"Mama? Kenapa mama terlihat sedih?" Lori mengangkat sebelah tangannya untuk mengelus pipi ibunya.

"Tidak ada apa-apa. Aku baru sadar, kau lebih banyak mirip papa daripada mama. Sepertinya kau juga lebih menyayanginya daripada mama."

Sepasang mata hijau ungu membulat mendengar kalimat dari ibunya. Dia segera bangkit berdiri dan merangkul leher ibunya.

"Itu tidak benar. Aku juga menyayangi mama."

"Kalau begitu diantara papa dan mama, siapa yang lebih kau sayangi?"

"…" untuk sejenak Lori tidak langsung menjawab pertanyaannya. "Aku tidak bisa memilih keduanya?"

"Tidak. Hanya satu. Jika seandainya kami harus berpisah, kau ingin ikut dengan siapa?"

Lori melepaskan pelukannya lalu menundukkan kepalanya dengan sedih. Anxia menjadi merasa lebih yakin sekarang, putrinya sudah menganggap Richard sebagai ayahnya. Tidak akan mengherankan bila putrinya akan menjawabnya ingin lebih ikut pada Richard.

Lagipula, jika Lori tinggal bersama Richard beserta keluarganya, putrinya akan jauh lebih bahagia dibandingkan tinggal bersamanya yang berjuang seorang diri. Terkadang Anxia akan menitipkannya ke tetangga yang dipercayainya selama beberapa hari disaat dia menjalankan misi, sehingga kasih ibu yang diterima Lori pastilah sangat kurang.

Tidak hanya itu Lori akan jauh lebih aman bersama Richard dibandingkan bersamanya. Jika seandainya Lori memilih untuk bersama Richard, Anxia tidak akan marah. Justru sebaliknya dia akan memantapkan hatinya untuk pergi dari tempat ini sebelum dia terjerat lebih dalam ke jebakan pesona suami serta kehangatan keluarga ini.

Tujuan utamanya datang ke Eropa ini untuk mencari ibunya tidak peduli dalam keadaan hidup atau mati. Dia baru bisa hidup tenang kalau dia telah menemukan kondisi ibunya. Selain Lori, ibunyalah satu-satu keluarga yang ia miliki dan jika ada kemungkinan ibunya masih hidup di luar sana, Anxia tidak ingin membuang harapan ini dan akan mencari jejak ibunya hingga ke ujung dunia sekalipun.

Hanya saja, dia tidak akan bisa fokus terhadap pencariannya karena juga harus berhati-hati agar putrinya tidak terlibat. Tapi, jika seandainya Lori bisa tinggal dengan aman dan bahagia bersama Richard, maka dia bisa pergi dan fokus mencari ibunya tanpa khawatir putrinya akan terlibat.

"Lori, jawab saja pertanyaanku. Aku tidak akan marah jika seandainya kau memilih untuk ikut papa."

Lori mendongak melihat ibunya dan langsung mengerti, ibunya serius ingin berpisah dari ayahnya dan pergi dari tempat ini.

"Aku akan ikut dengan mama."

Anxia mematung pada tempatnya mendengar ini. Dia sama sekali tidak menduga putrinya akan memilih untuk ikut dengannya.

"Kenapa? Bukankah kau menyukai papamu? Kau juga memiliki opa dan oma yang menyayangimu. Bukankah tinggal disini jauh lebih menyenangkan daripada tinggal denganku? Papamu pasti akan sedih mendengar ini."

"Papa tidak akan kesepian, tapi kalau aku tidak ada bersama mama, siapa yang akan menemani mama? Aku tidak ingin mama merasa kesepian dan bersedih sendirian."

Napas Anxia tercekat mendengar jawaban putrinya. Padahal dia sudah bersiap diri kalau harus meninggalkan putrinya. Padahal dia sudah menguatkan hatinya untuk menyerahkan perlindungan putrinya pada Richard. Tapi semua pertahanannya hancur seketika begitu mendengar penjelasan putrinya.

Anxia memeluk putrinya dengan erat dan rasanya dia ingin menangis karena saking harunya. Sayangnya, air matanya tidak keluar bahkan berkaca-kacapun tidak. Tampaknya air matanya sudah lama mengering dan kini tidak ada yang sanggup membuatnya meneteskan air mata.

Rasa sakit karena luka ataupun kesedihan disaat melihat teman-teman asasinnya mati tertangkap musuh mereka sekalipun, Anxia sama sekali tidak meneteskan air matanya.

Hatinya telah tertutup rapat dan membeku tanpa memberi kesempatan siapapun untuk memasuki hatinya. Hatinya hanya terbuka untuk putri kecilnya yang memberinya cahaya dikehidupannya yang gelap dan penuh kekejaman.

"Lori, ada yang harus kuberitahukan padamu." lanjut Anxia tanpa melepaskan pelukannya dan menepuk bokong putrinya dengan lembut. "Papa Richard, adalah papa Lori."

"Aku tahu."

"Bukan karena kami menikah. Kau ada didunia ini karena ada papa Richard."

Sekali lagi Lori mengangkat wajahnya untuk memandang ibunya. "Maksud mama, papa bukan orang asing? Papa adalah papa? Seperti opa Stanley adalah ayahnya papa?"

Anxia tersenyum lembut ketika menjawabnya. "Benar. Papa Richard adalah papa Lori seperti Opa Stanley adalah ayah dari papa Richard."

"…"

Lori beringsut untuk turun dari ranjang membuat Anxia kebingungan. Lalu Lori menyuruhnya untuk membuka pintu kamar yang langsung diturutinya. Setelah itu Lori menggandeng tangan Anxia mencari seseorang.

"Lori, kau mau mencari siapa?"

"Papa."

Apakah mungkin putrinya ingin mengkonfirmasi kebenaran ini? Yah, tidak masalah baginya sehingga Anxia membantu putrinya untuk mencari Richard yang kini sedang minum kopi di ruang dapur.

"Papa!"

"Hai, baby girl. Kalian belum tidur?" Richard meletakkan cangkir kopinya untuk menggendong putrinya yang berjalan menghampirinya dengan tangan terbuka seolah minta digendong.

"Papa, aku ingin kita bertiga tidur bersama."

Dua pasang mata orangtuanya melebar mendengar permintaan mendadak putrinya.

Anxia menjerit ingin menangis dalam hati. Lori, kenapa kau minta tidur bersama dengan ayahmu?? Bukankah cukup kita berdua saja tidur bersama?

Tentunya hanya Anxia, author serta para pembaca yang bisa mendengar jeritan tangisan Qiao Anxia.

次の章へ