"Masuk!"
Satria mendorong tubuhku memasuki mobil. Aku yang sudah tidak berdaya hanya pasrah saja saat dia memasangkan seat belt.
"Aneh, kenapa Bang Sat, mukanya ada dua? Apa kamu punya kembaran? Hihi."
Satria tidak menghiraukanku dia menjalankan mobilnya keluar dari area kelab. Suamiku ini nggak asik banget. Tidak bisa membiarkanku bahagia sejenak.
***
Aku terbangun dengan kepala pusing. Sakit dan berat. Sepertinya aku membutuhkan obat sakit kepala segera. Sebenarnya apa yang terjadi? Mataku mengerjap beberapa kali. Ini kamarku, tepatnya kamar Satria yang sudah beberapa hari ini menjadi kamarku juga. Lalu, di mana Satria berada?
Aku mencoba mengingat kembali sesaat sebelum aku tidur. Sepertinya aku sedang berada di kelab, tapi kenapa malah aku sudah berada di kamar?
Pusing semakin mendera. Aku benar-benar butuh obat. Kuraih gelas yang ada di atas nakas, isinya kosong. Aku kehausan.
"Bang.... Kamu di mana?"
Aku turun dari ranjang, melangkah mendekati kamar mandi dan mengetuk pintunya. Namun, belum sempat aku mengetuk, pintu terbuka dari dalam dan mataku menangkap Satria yang hanya terlilit handuk pada pinggulnya. Untuk beberapa saat aku mematung, mataku menubruk langsung dada berototnya yang terlihat sangat keras itu. Aroma after shave langsung memenuhi rongga penciumanku.
"Kamu mau apa? Miing-giir!" Satria mendorong dahiku dengan telunjuknya. Aku yang sempat bengong langsung sadar dan menyusul Satria yang menuju walk in closet.
"Bang, apa yang terjadi semalam?"
"Semalam kamu merepotkan."
"Tapi nggak terjadi apa-apa kan?"
Anjir. Konsentrasiku berceceran melihat pemandangan indah milik Satria.
"Memangnya kamu berharap terjadi apa?" Satria yang sedang memilih kemeja menoleh padaku.
"Beneran, kamu nggak apa-apain aku pas aku mabuk?"
"Jangan kebanyakan nonton tv. Aku memang ingin mengajakmu membuat anak. Tapi bukan nunggu kamu mabuk baru melakukannya."
"Ooh." Aku mengangguk seperti orang bodoh. Tamparlah aku yang beberapa kali meneguk ludah karena tak tahan melihat dada bidang Satria. Lelaki itu seolah sengaja memamerkannya padaku. Shit.
"Berhubung kamu sudah sadar...." Satria melangkah maju mendekatiku. Aku sedikit terkejut saat tiba-tiba Satria menarik pinggangku. Tanganku secara otomatis mencengkeram lengannya. Sial. Ototnya beneran keras banget. Mataku mengerjap, tidak seperti Satria yang intens menatapku.
"... Jadi kita bisa melakukannya sekarang."
"Me-melakukan apa?"
"Melakukan tugasmu sebagai istri, dan menjalankan kewajibanku sebagai suami. Making love, aku nggak keberatan melakukannya di sini. Kebetulan juga aku sedang tidak pakai baju. Dan gaun yang kamu pakai juga benar-benar minta aku buka banget kayaknya."
Seketika itu mataku melotot. Ma- apa tadi? Making love? Memadu kasih, bercinta. Oh no no.
"Kamu nggak perlu khawatir, aku bisa menjamin kepuasan 100 persen."
Sepertinya Satria mulai kurang waras. Dia menurunkan tali dress sebelah kananku. Lalu hal yang tidak aku duga terjadi. Dia mendaratkan kecupannya di sana. Tidak aku pungkiri, itu membuat tubuhku merinding seketika.
"Bang, cukup. Bercanda jangan kelewatan."
"Siapa yang bercanda, Rea."
"Kamu kan harus ngantor, aku juga. Jadi lebih baik aku bersiap-siap."
Aku menaikkan kembali tali dress yang tadi Satria turunkan.
"Ini masih terlalu pagi untuk berangkat ke kantor, Rea. Kita masih ada waktu untuk melakukannya."
"Nggak, nggak. Aku mau mandi."
"Oh kamu mau melakukannya di kamar mandi? Oke, tak masalah. Di mana pun aku siap."
Mataku kali ini kian melebar. "Nggak bukan gitu. Ah! Aku nggak mau melakukannya sama kamu, Bang!"
Aku mendorong dada Satria kuat-kuat dan berhasil lepas dari pelukan Satria. Satria terbahak melihatku lari terbirit ke kamar mandi. Pusing yang sempat aku rasakan tadi, seketika sirna gara-gara ke-absurd-an Satria.
Dadaku berdegub kencang sekali. Aku menarik napas panjang untuk menetralisir semuanya. Tidak masuk akal, Satria mengajakku pagi-pagi mak--, ah! Menyebalkan.
***
"Rea, kamu hari ini berangkat sama Andra ya. Ikut meeting sama dia ke Makassar," ujar Kakek saat kami sarapan bersama.
Makassar waow! Aku bisa sekalian jalan-jalan.
"Baik, Kek," jawabku girang.
"Nggak bisa. Rea nggak akan kemana-mana."
Saat itu aku menatap sebal Satria yang melarangku ikut.
"Hay, Nak. Rea pergi untuk urusan pekerjaan. Dia sedang belajar di perusahaan kita."
Aku mengangguk-angguk saat Kakek mencoba memberi penjelasan.
"Rea itu istriku. Tanpa ijin dariku dia nggak bisa seenaknya dibawa kemana-mana."
Igh! Satria masih ngotot aku nggak boleh ikut.
"Ini beneran urusan bisnis, Bang. Rea akan aman bersamaku." Andra menimpali dan disetujui oleh Kakek.
"Kamu juga sibuk dengan pekerjaanmu kan? jadi biarkan Rea belajar bersama Andra."
"Mulai sekarang, biar aku yang mengajari Rea."
Kali ini aku melotot mendengar putusan Satria yang satu itu. Ini nggak bisa dibiarkan.
"Jangan kekanak-kanakan, Satria. Kamu sudah terlalu sibuk. Hanya mengajari Rea. Andra juga bisa melakukannya," ucap Kakek tegas. Kalau sudah begini Satria tidak akan bisa membantah.
"Apa aku perlu membawa baju ganti ke dalam koper?" tanyaku berbinar pada Andra. Yang ditanya malah tertawa.
"Nggak perlu, Rea. Kita ke Makassar hanya untuk meeting. Jadi kita PP nggak menginap."
Yaah. Seketika semangatku surut. Dari sudut mataku aku bisa melihat senyum samar dari bibir Satria.
"Kalian boleh menginap 2-3 hari. Mungkin Rea memang ingin jalan-jalan."
Mataku kembali berbinar mendengar Kakek memberi ijin.
"Mana bisa begitu, Kek?! Aku sama Rea saja belum bulan madu! Gimana dia bisa jalan-jalan sama orang lain?!" Lagi-lagi Satria membantah.
"Kamu bisa menyusul kalau pekerjaanmu di sini beres, Satria."
Bukannya menyetujui, Satria malah berdecak.
"Aku sudah kenyang."
Dia tidak menghabiskan sarapannya dan buru-buru mendorong kursiny.
"Kenapa kamu nggak habiskan makananmu?" tanya Kakek.
"Aku sudah terlambat, bukannya Kakek menyuruhku untuk bekerja lebih keras lagi?"
Satria meraih jas yang terselampir di punggung kursi makan. "Ayo, kita berangkat Rea."
"Tapi sarapanku belum habis. Dan aku kan mau berangkat sama Andra. Iya kan Ndra?" Aku menatap Andra, lelaki itu mengangguk dan tersenyum.
Satria memalingkan wajah. "Terserah kamu, saja."
Tanpa menoleh lagi Satria beneran pergi meninggalkan ruang makan.
"Bagaimana hubunganmu dengan Satria, Nak?" tanya Kakek begitu Satria tidak terlihat lagi.
"Biasa aja sih, Kek. Tapi--"
Ingatanku teringat kejadian tadi pagi di walk in closet. Namun aku segera menggeleng membuyarkan lamunan anehku.
"Tapi kenapa?"
Ah! Nggak seharusnya tadi aku bicara menggantung. Kakek jadi kepo kan.
"Nggak ada apa-apa, Kek."
"Kakek harap kalian bisa, segera memberi kakek seorang cucu."
Uhuk!
Aku tersedak. Cepat-cepat aku meraih yg gelasku. Sial! Apa Kakek serius dengan ucapannya?
"Kamu nggak pa-pa, Rea?" tanya Andra dengan raut khawatir.
"Nggak pa-pa terima kasih."
"Kakek nggak asal bicara kan? Kamu kaget sekali mendengarnya, seperti tidak biasanya. Makin cepat makin baik kan?"
Aku hanya meringis. Makin cepat makin keriput dong gue. Setelah selesai makan, aku dan Andra keluar rumah beriringan.
PS. Maaf untuk typo ya. Bener-bener no edit. Nanti kalau revisi aku benerin. Itu pun kalo sempet wkwk.