Setelah sarapan kami selesai, pelayan di belakang kami dengan sigap mengambil piring-piring kotor bekas makan kami. Lalu menggantinya dengan cangkir-cangkir yang berisi teh.
"Kamu cuti berapa hari, Satria?" tanya Kakek.
"Tiga hari, Kek."
"Sedikit sekali kamu ambil cuti. Apa kalian tidak berencana bulan madu keluar negeri?"
"Nanti akan kami rencanakan. Pernikahan ini terlalu mendadak. Kakek tidak membiarkan kami membuat rencana bulan madu."
"Ya sudah, bulan madu itu soal mudah. Yang penting sekarang adalah kamu sudah memiliki istri."
"Fredik, kapan rapat pemegang saham diadakan?"
"Belum dijadwal ulang, Ayah." Om Fredrik menjawab setelah menyesap tehnya.
"Jadwalkan segera. Kamu siapkan saja sebaik mungkin. Karena aku akan memperkenalkan menantuku sebagai pemegang saham terbaru di Wijaya Grup."
Ternyata ucapan Satria semalam bukan hanya bualan semata. Dia bilang 25 persen saham akan beralih ke tanganku. Astaga! Aku beneran jadi konglomerat dadakan!
"Baik, Ayah."
"Tidak hanya menantu, Kakek. Aku sudah menepati janjiku, sekarang giliran Kakek yang menepati janji Kakek padaku," ujar Satria.
"Tentu saja, aku akan menepati janjiku. Tapi sebelum itu, kamu harus memberikan cucu untukku."
Eh? Cucu?
"Kakek nggak bisa begitu! Perjanjiannya nggak seperti itu!" Satria nampak jengkel.
"Kenapa tidak bisa? Aku hanya ingin melihat keseriusanmu Satria. Apa, setelah mendapatkan yang kamu mau, kamu bisa menjamin Rea akan selalu ada di sampingmu? Aku tidak mau mengambil resiko itu. Kalau kamu tidak bisa mengabulkannya, lupakan perjanjian itu."
" Kakek,ini nggak adil buatku."
"Ini adil. Aku juga ingin bisa menggendong cicit sebelum Tuhan mengambil nyawaku."
Perkataan Kakek seolah tak terbantahkan. Satria di sampingku kentara sekali sedang menahan amarah. Wajahnya sama persis saat dulu aku menumpahkan es krim ke atas kepalanya.
"Kita sudah selesai." Satria mendorong kursinya lantas berdiri. "Rea, ayo kita keluar."
"Kalian mau kemana?"
"Bukan kah Kakek menginginkan cucu?"
Aku melotot mendengar ucapan Satria. Tapi aku tidak bisa menolak saat Satria menarik tanganku keluar dari meja makan.
***
Satria membawaku menaiki tangga atas dan masuk ke sebuah kamar. Aku bisa menebak ini adalah kamarnya. Serius ini kamar? Bukannya lapangan futsal?
"Kakek, benar-benar menyebalkan!"
Aku diam melihat Satria memuntahkan amarahnya.
"Ini tidak sesuai dengan kesepakatan kami. Sebenarnya apa mau orang tua itu?"
Aku lebih memilih mengamati interior kamar mewah Satria dari pada mendengarkan omelannya.
"Rea, kamu dengar! Kakek meminta cucu dari kita. Apa kamu bisa mengabulkannya?"
"Tidak." Aku menjawab dengan santai.
"Tapi kalau kita tidak memiliki anak, maka Kakek nggak akan menyerahkan sahamnya padaku."
"Itu urusan kamu, Bang."
"Kamu sama menyebalkan dengan Kakek."
Aku histeris saat masuk walk in closet di sebelah pintu kamar mandi. Satria buru-buru menyusulku.
"Ada apa?" tanyanya. Aku tidak menjawab aku masih sangat excited melihat ruangan ini. Astaga! Aigo! Omo!
Satria berdecak. "Bahkan aku harus berbagi lemari denganmu."
Ini bukanlah baju-baju yang aku punya. Semuanya baru, berderet rapi. Tersusun sesuai kebutuhan. Bagian kaos ada sendiri, gaun ada sendiri juga. Bagian bawah sepatu-sepatu. Dari model sniker sampai stiletto ada. Masih belum cukup, di etalase bagian ujung ada koleksi berbagai macam merk tas. Ada juga lemari aksesoris. Semua lengkap dari celana dalam sampai celana luar. Ups!
Ini lemari apa toko baju? Punyaku menempati sisi sebelah kiri, sedang sebelah kanan adalah koleksi pakaian Satria. Pun selengkap yang aku punya. Hanya saja, tentu dalam versi lelakinya.
***
Kakek memanggilku di ruang kerjanya. Sedang Satria entah kemana rimbanya. Setelah ngomel-ngomel di kamar, dia pergi begitu saja.
"Kakek memanggil saya?" tanyaku sopan.
"Iya, Nak. Kemarilah."
Aku mendekat Kakek yang duduk di sebuah kursi besar. Kakek lantas menyuruhku duduk.
"Maafkan Kakek, karena harus melibatkanmu dalam situasi ini. Bahkan Kakek sudah membuat papamu berhutang banyak pada kakek."
"Semua sudah terjadi,Kek. Tapi maaf, Kek. Apa Kakek memberikan utang pada papa itu sengaja?"
"Kalau boleh Kakek jujur iya."
Astaga! Aku nggak tahu kalau kakek memiliki sisi jahat. Sama saja seperti menjebak kami. Menukar lunas utang dengan aku.
"Tapi, Nak. Niat Kakek nggak menjerumuskan. Satria adalah pewaris keluarga wijaya. Cucu satu-satunya keturunan kakek. Kakek hanya mau memiliki generasi dari orang yang berkualitas, tidak seperti wanita-wanita yang sering Satria bawa. Dan kakek mengenal kakekmu Baskoro, semenjak kami kuliah bersama. Kami janji akan berbesan saat kami memiliki anak nanti. Tapi tidak tahunya kami malah memiliki anak laki-laki. Jadi, keinginan kami bisa terwujud setelah kami memiliki cucu. Tapi sayangnya Baskoro tidak bisa melihat kalian bersama."
Oh Kakek. Aku jadi merindukannya.
"Tapi, Kek. Apa tidak ada cara lain selain menekan kami dengan utang itu? Apa kakek tidak bisa bicara baik-baik dengan papa?"
"Papamu itu orang yang sangat idealis dan keras kepala. Dari awal dia sudah tahu ini. Tapi dia mengabaikannya. Makanya kakek menggunakan cara ini."
"Kakek membuat perusahaan papa hancur dan membuatnya bergantung pada kakek. Itu jahat sekali, Kek."
Kakek Wijaya malah tertawa. "Maafkan Kakek, Nak. Kakek janji akan membayar semuanya."
"Tapi bagaimana dengan aku Kek? Aku dan Satria menikah tanpa cinta. Aku juga masih ingin melanjutkan sekolahku."
"Cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Aku yakin tidak sulit membuat Satria jatuh cinta pada gadis secantik kamu, Nak. Kakek mohon, buat dia bertekuk lutut padamu."
"Cinta itu nggal bisa dipaksakan, Kek."
"Tapi bisa diusahakan. Sebulan dari sekarang, Kalian akan menikah lagi di kantor KUA. Karena yang kalian lakukan kemarin hanyalah nikah secara agama saja. Dengan kata lain kalian masih menikah siri. Tak masalah, yang penting sah menurut agama."
"Maksud Kakek?"
"Dokumen yang masuk ke kantor KUA adalah milik Reni kakakmu, jadi Kakek menarik kembali dokumen itu sebelum ada kata sah. Tapi, tetap lanjut untuk menikah secara agama karena memang pernikan ini sudah dipersiapkan sejak awal."
Kenapa semua jadi ribet seperti ini.
"Dan Kakek minta juga mulai besok kamu ke kantor. Kakek sudah meminta Fred untuk mengadakan rapat umum pemegang saham."
"Maksud Kakek, saya bekerja kantoran?"
"Iya, tapi kamu tenang saja. Andra akan membantumu belajar nanti. Kamu anak pintar pasti lebih mudah memahami perusahaan."
"Tapi aku masih kuliah, Kek."
"Soal kuliah, kamu akan pindah kuliah di Jakarta. Anggap saja di kantor mu sekarang kamu sedang magang. Dan bukannya memang sudah waktunya kamu magang?"
Kakek tahu. Memang aku sedang mencari sebuah perusahaan tempat magang. Tapi jika aku pindah kuliah, apa mungkin bisa langsung lanjut magang?
"Kamu tidak perlu khawatir, Nak. Kamu sekarang adalah salah satu orang penting di Wijaya grup. Semua orang akan menghormatimu jadi kamu tidak perlu takut ditindas."
Aku meringis. Aku jenis orang yang tidak gila hormat, tapi juga bukan orang yang menyukai penindasan. Jadi kalau itu sampai terjadi padaku, aku juga tidak akan tinggal diam. Seperti yang aku lakukan pada Satria dulu. Yah meskipun ternyata salah sasaran.