webnovel

Bab 3

Pukul satu dini hari Devian baru pulang dari kantor. Setelah memarkirkan mobilnya, pria beralis tebal itu bergegas keluar dari mobil. Devian melangkah masuk ke dalam, dengan jas sudah terselampir di bahu, serta kemeja yang ia lipat sampai ke siku. Setibanya di dalam, pandangan Devian tertuju pada sofa ruang tamu.

Terlihat seorang wanita berjilbab berwarna abu-abu tengah tertidur di atas sofa. Devian menatap tak suka pada istrinya itu, bayangan kebohongan Nadine terus berputar-putar di benaknya. Devian melangkah tanpa memperdulikan Nadine, tetapi belum sempat ia menaiki anak tangga. Devian menoleh ke arah sofa, hati kecilnya tidak tega jika tetap membiarkan Nadine sendirian.

"Bangun." Devian menepuk bahu Nadine dengan sedikit keras.

"Astaghfirullah, eh. Mas sudah pulang." Nadine duduk sembari membenarkan jilbabnya yang sedikit miring.

"Siapa yang nyuruh kamu tidur di sini?! Kamu bisa tidur di kamar 'kan." Devian menatap tajam ke arah istrinya.

"A-aku nungguin, Mas pulang," ucap Nadine dengan menundukkan kepalanya.

"Aku tidak pernah menyuruhmu untuk menungguku pulang! Apa kamu pikir dengan seperti rasa benciku bisa hilang. Enggak, kamu sudah berbohong. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah lupa dengan kebohonganmu itu, mengerti." Devian melenggang pergi meninggalkan Nadine yang masih berdiri dengan air matanya yang sudah mengalir membasahi kedua pipinya.

"Aku tahu mas, tapi apa salah jika aku berbakti pada suami sendiri," batin Nadine. Tangannya menyeka air matanya, setelah itu ia memilih untuk bergegas ke kamarnya.

Sementara itu, Devian duduk di tepi ranjang, ia tengah melepas dasinya. Jujur, Devian benar-benar tidak tega berkata seperti itu pada Nadine. Namun kebenciannya yang membuat ia tega, meski dalam hati kecilnya merasa senang dengan sikap seorang istri yang seperti itu. Andai saja Nadine tidak berbuat kesalahan, mungkin Devian akan menjadi pria yang paling beruntung memiliki istri seperti Nadine.

"Nadine, kenapa kamu tega melakukan ini. Aku sangat mencintaimu, tapi kamu sendiri yang membuat rasa cintaku ini luntur," desis Devian. Ia mengusap wajahnya dengan sedikit kasar, lalu bangkit dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi.

Selang beberapa menit, Nadine diam-diam masuk ke dalam kamar suaminya. Dengan perlahan ia membuka pintu kamar tersebut, Nadine mengedarkan pandangannya, ia mendengar suara air, itu tandanya Devian tengah mandi. Dengan cepat Nadine masuk, lalu meletakkan secangkir kopi kesukaan suaminya, ia juga meletakkan sepiring nasi beserta lauknya. Tak lupa wanita berjilbab itu juga menyiapkan baju, setelah itu ia bergegas keluar.

"Ya, Allah semoga mas Devian mau memakan masakanku," batin Nadine, setelah itu ia bergegas ke kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Devian.

Sementara itu, sepuluh menit kemudian Devian keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk sebatas pinggang. Mata Devian tiba-tiba tertuju pada ranjang yang sudah tersedia pakaian, setelah itu beralih pada meja. Di mana sudah tersedia secangkir kopi dan sepiring nasi, kening Devian berkerut, otaknya mengarah ke istrinya. Mungkinkah dia yang menyiapkan semuanya.

"Nadine, pasti dia yang melakukannya." Devian menyunggingkan senyumnya. Setelah itu ia bergegas memakai pakaiannya.

Selesai berpakaian, Devian berjalan ke arah sofa dan menjatuhkan bobotnya. Ia terdiam sejenak, setelahnya ia meraih gagang cangkir itu dan mulia menyeruput kopi tersebut. Devian tersenyum, ternyata Nadine tidak lupa kopi kesukaannya. Merasa lapar, pria beralis tebal itu mengambil piring yang sudah berisi nasi dan juga lauk. Nadine juga tahu apa makanan kesukaan Devian.

***

Adzan subuh berkumandang, Nadine bergegas bangun dan segera mengambil air wudhu, setelah itu ia akan melaksanakan kewajibannya. Jujur, Nadine ingin sekali shalat berjamaah dengan suaminya, tetapi semua itu tidak akan mungkin terjadi. Mau tidak mau Nadine harus shalat sendiri, ia berharap semoga nanti keinginannya bisa tercapai.

Setelah selesai shalat, Nadine bergegas turun ke bawah, mulai pagi ini ia akan mengerjakan tugas rumah. Nadine tahu jika ada asisten rumah tangga, tetapi sebagai seorang istri ia juga berkewajiban mengerjakan tugas rumah. Wanita berjilbab itu mulai dari dapur, ia akan mencuci peralatan makan yang masih kotor.

Pukul enam pagi Nadine sudah selesai memasak, tentunya dengan batuan bi Mirna. Dengan cekatan Nadine menyajikan hasil masakannya di atas meja makan, setelah itu ia baru akan memanggil bi Mirna. Namun belum sempat Nadine naik ke lantai atas, tiba-tiba bel rumah berbunyi. Takut orang penting, ia bergegas keluar menuju ruang tamu. Wanita berjilbab itu segera membuka pintu utama.

"Devian ada?" tanya seorang wanita yang tak lain adalah Amara.

"Ada, silahkan masuk. Aku panggilkan dulu," jawab Nadine.

Nadine berjalan masuk ke dalam dengan diikuti oleh Amara. Wanita berjilbab itu bergegas naik ke lantai atas menuju ke kamar suaminya. Sementara itu Amara menunggu di ruang tamu, entah ada perlu apa Amara pagi-pagi sekali datang ke rumah Devian. Saat ini Nadine sudah berada di depan pintu kamar suaminya. Ada rasa ragu saat hendak mengetuk pintu tersebut.

Nadine mengetuk pintu kamar suaminya. "Mas, di bawah ada Amara."

Selang beberapa menit, pintu kamar terbuka, terlihat jika Devian sudah siap dengan setelan jas berwarna hitam. Penampilannya sudah tapi, Nadine dapat menebak jika suaminya pasti akan pergi. Nadine tersenyum, meski hanya wajah datar yang Devian tunjukkan. Namun semua itu tidak akan membuat semangat Nadine luntur, harapan dan do'a selalu ia panjatkan.

"Sebentar lagi aku turun," ucap Devian lalu kembali masuk ke dalam kamar.

"Baik, Mas." Nadine tersenyum, lalu beranjak turun ke lantai bawah.

Selang beberapa menit, Devian turun dengan membawa satu buah koper berukuran kecil. Hati Nadine bertanya-tanya, kemana suaminya akan pergi, kenapa Devian sama sekali tidak memberitahu jika pagi ini akan pergi. Devian berjalan menuju sofa di mana Amara duduk, ada rasa yang tidak biasa yang Nadine rasakan.

"Mas mau kemana?" tanya Nadine, ia beranikan diri untuk bertanya.

"Ada kunjungan kerja ke Batam," jawab Devian.

"Berapa lama, Mas," sahut Nadine, ia benar-benar tidak tahu jika suaminya ada kunjungan kerja ke luar kota.

"Nadine, kamu itu istrinya. Masa kamu tidak tahu kemana suamimu akan pergi," sergah Amara. Wanita berambut sebahu itu menatap Nadine dengan tatapan tidak suka.

Devian hanya menghembuskan napasnya. "Selama seminggu, selama aku pergi kamu tidak boleh ke mana-mana, kamu harus tetap di rumah, mengerti."

Nadine hanya menganggukkan kepalanya. "Iya, Mas. Aku mengerti."

Setelah itu, Devian dan Amara bergegas untuk segera pergi. Namun langkah Devian terhenti saat Nadine mengulurkan tangannya. Pria berjas itu terdiam sejenak, dengan sedikit terpaksa Devian menerima uluran tangan istrinya. Nadine tersenyum, dengan penuh bahagia ia mencium punggung tangan suaminya itu. Tak peduli meski Devian melakukan itu dengan terpaksa.

"Hati-hati, Mas," ucap Amara. Sementara Devian hanya tersenyum tipis lalu melangkah keluar dari rumah.

Nadine memandangi mobil suaminya yang perlahan menghilang dari pandangan. Setelah itu ia memutuskan untuk masuk ke dalam, tetapi langkahnya terhenti saat melihat paspor yang tergeletak di sofa. Karena penasaran, Nadine mendekat dan mengambilnya, ia sedikit terkejut saat melihat nama dalam paspor itu. Dadanya tiba-tiba terasa sakit saat nama Devian tertera dalam paspor tersebut.

Ada rasa curiga dalam diri Nadine, Devian bilang pergi hanya untuk kunjungan kerja, lalu untuk apa Amara ikut. Meski ia tahu kalau Amara adalah sekretaris suaminya. Lalu paspor yang tertinggal itu untuk apa, apa mungkin mereka akan pergi diam-diam tanpa sepengetahuan Nadine. Wanita berjilbab itu kembali meletakkan paspor itu di sofa, lebih baik ia pura-pura tidak tahu.

***

Kini Devian dan Amara tengah dalam perjalanan, Devian memilih fokus untuk menyetir. Sementara itu Amara terlihat sibuk dengan ponselnya, entah apa yang tengah wanita itu lakukan. Namun tiba-tiba saja Amara teringat dengan paspor yang sengaja ia bawa. Wanita berambut sebahu itu berniat untuk mengajak Devian pergi ke Jepang untuk liburan, karena Amara sudah tahu tentang masalah yang Devian hadapi.

"Astaga, paspor yang aku bawa kok nggak ada. Jangan-jangan ketinggalan di rumah Devian lagi. Gawat, kalau Nadine sampai tahu, bisa bahaya nih," batinnya. Amara mengutuk dirinya sendiri atas keteledoran yang ia buat.

"Dev, jam tanganku kayaknya ketinggalan di rumah kamu deh. Kita bisa putar balik nggak," ucap Amara, berharap Devian mau kembali lagi ke rumah.

"Itu hanya jam tangan, bisa di ambil nanti setelah kita pulang," ujar Devian. Pria itu menoleh sekilas ke arah Amara.

"Tadi, Dev .... "

"Sudahlah, Amara. Kalau kamu mau balik, kamu bisa naik taksi," potong Devian dengan cepat. Hal itu membuat Amara mendengkus kesal.

Setelah itu, Amara memilih untuk diam, ia hanya bisa berharap semoga paspor miliknya aman. Sesekali Amara menoleh ke arah Devian, terlihat jika pria tampan di sampingnya tengah memikirkan banyak masalah. Amara tahu jika hubungan Devian dan istrinya sedang buruk, bahkan ia juga tahu jika Devian sudah tahu tentang rahasia istrinya.

Di lain sisi, Nadine saat ini tengah membersihkan kamar suaminya. Tak lupa ia mengganti seprei, selimut dan juga sarung bantal. Saat Nadine hendak mengambil seprei di almari, kedua matanya terbelalak ketika melihat isi almari Devian. Nadine tidak menyangka kalau suaminya masih menyimpan foto kebersamaannya bersama dengan wanita masa lalunya.

Seketika persendian Nadine terasa lemas, tubuhnya merosot ke lantai dengan kedua tangannya masih memegangi pintu almari. Tak terasa mata Nadine berkaca-kaca, sedih itu yang ia rasakan sekarang. Begitu berartikah wanita itu, sampai-sampai Devian masih menyimpan rapi foto serta kenangannya bersama dia. Nadine menyeka bulir bening di pipinya, lalu bangkit.

"Aku tidak boleh cengeng, dia hanya masa lalu mas Devian. Dan sekarang aku adalah istri sahnya, aku yakin suatu saat nanti mas Devian bisa menerimaku," batinnya. Nadine menutup pintu almari tersebut setelah apa yang dicarinya telah ia dapat.

Setelah itu, Nadine kembali pada tugasnya, meski hatinya terasa sakit, tapi ia mencoba untuk tetap tegar. Setelah selesai Nadine bergegas keluar dari kamar suaminya. Wanita berjilbab itu turun ke lantai bawah, ia berjalan menuju dapur. Namun langkahnya terhenti saat mendengar bel rumah berbunyi, dengan cepat Nadine berjalan menuju ruang tamu.

Setelah pintu terbuka, Nadine sedikit tersentak saat melihat ibu mertuanya yang berdiri di depan pintu. Dengan tersenyum Nadine mempersilahkan perempuan paruh baya itu untuk masuk ke dalam. Namun Nadine sedikit terkejut saat mendapat perlakuan tidak sopan dari mertuanya itu. Sarah berjalan masuk tanpa memperdulikan menantunya.

"Devian di mana?" tanya Sarah. Perempuan paruh baya itu duduk di sofa.

"Mas Devian pergi ke Batam, Ma. Katanya ada kunjungan kerja," jelas Nadine. Ia masih berdiri tak jauh dari ibu mertuanya itu.

Sarah tersenyum. "Kamu yakin kalau Devian pergi untuk kunjungan kerja."

Nadine mengernyitkan keningnya. "Maksud, Mama."

"Semalam aku menyuruh Amara untuk mengajak Devian ke luar negeri. Ya untuk liburan, kasihan dia. Di malam pengantinnya harus kecewa karena dibohongi." Sarah menekan setiap kata-katanya. Hal itu membuat hati Nadine semakin merasa sakit.

"Ya Allah, apa yang mama lakukan. Jangan-jangan paspor itu," terkanya dalam hati. Nadine melirik sofa di mana paspor itu berada.

"Kenapa, Mama .... "

"Apa, kamu pasti tahu kan maksud dari perkataanku," potong Sarah dengan cepat.

"Jadi, Mama sengaja. Lalu paspor itu." Nadine menunjuk ke arah di mana paspor itu berada.

Seketika mata Sarah mengarah pada telunjuk Nadine. "Astaga! Kenapa paspornya masih ada di sini. Kamu bilang Devian sudah pergi."

"Maaf, Ma. Aku tidak tahu soal itu," ucap Nadine dengan menundukkan kepalanya.

Sarah bangkit dan mengambil paspor tersebut, matanya memerah akibat menahan amarahnya. Sementara Nadine memilih untuk diam dan menundukkan kepalanya. Ia tidak habis pikir jika ibu mertuanya setega itu. Nadine pikir kalau hanya Devian saja yang tahu tentang masalah itu, tetapi ibu mertuanya juga sudah tahu. Bahkan mungkin Amara juga sudah mengetahuinya pula.

"Dasar wanita bodoh. Bisa-bisanya kamu diam saja melihat paspor ini ketinggalan. Wanita tidak berguna! Kamu hanya bikin malu saja." Berkali-kali Sarah menunjuk-nunjuk kepala Nadine dengan telunjuknya.

"Maaf, Ma. Aku benar-benar tidak tahu," ucap Nadine dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

Sarah menyunggingkan senyumnya. "Kamu memang benar, aku sengaja merahasiakan ini darimu dan juga Devian. Aku dan Amara yang sudah merencanakan hal ini, untuk mengajak Devian pergi. Karena aku ingin membuat mereka dekat, mengerti."

Deg. Jantung Nadine terasa berhenti berdetak, apa yang Sarah ucapkan semoga tidak benar. Untuk apa Sarah melakukan itu, apa mungkin ibu mertuanya ingin menjodohkan Devian dan Amara. Lalu bagaimana dengan dirinya, apa mungkin setelah ini keluarga Devian akan menyuruhnya untuk bercerai. Air mata yang sedari tadi Nadine tahan akhirnya tumpah juga.

"Untuk apa kamu menangis, air matamu itu tidak ada gunanya lagi. Perlu kamu ketahui, aku menyesal telah membiarkan Devian menikahimu. Wanita kotor, yang hanya bisa membuat malu keluarga. Andai aku mengetahuinya sejak awal, pernikahan ini tidak akan pernah terjadi." Sarah menatap penuh kebencian pada menantunya itu.

"Aku tidak menyangka, wanita sepertimu bisa berbuat hal sekeji itu. Untuk apa jilbab dan baju panjang ini menutup auratmu. Namun kelakuan seperti wanita di luaran sana," sambungannya. Sarah menatap Nadine penuh dengan kebencian.

Setelah mengatakan hal itu, Sarah berjalan dengan sengaja menabrak bahu kiri Nadine. Perempuan paruh baya itu melenggang pergi meninggalkan Nadine yang masih berdiri mematung, dengan air mata yang telah tumpah. Bahu Nadine berguncang hebat, bukan hanya hatinya yang sakit, tetapi jiwanya juga. Ia tidak pernah menyangka jika semuanya akan berakhir seperti ini.

Baru saja Sarah pergi, tiba-tiba terdengar bel rumah berbunyi. Nadine yang mendengarnya cepat-cepat menyeka air matanya. Setelah itu ia melangkah menuju pintu, Nadine membuat pintu rumahnya. Wanita berjilbab itu sedikit terkejut saat melihat seorang wanita seksi dengan rambut panjang berwarna pirang. Samar-samar Nadine seperti tidak asing dengan wajah wanita di hadapannya itu.

"Mas Devian ada?" tanya wanita itu. Seketika Nadine terdiam setelah mendengar pertanyaan yang dilontarkan padanya.

Luka seorang wanita mungkin tidak bisa dilihat dari senyumannya. Karena seorang wanita menyimpan luka itu di hati dan air matanya.

次の章へ