webnovel

BAD LIAR

Manik mata birunya berkilat karena sinar matahari pagi. Liffi hendak masuk ke dalam apartemennya saat aroma musk yang terbawa angin musim gugur menggelitik hidungnya tajam. Liffi terdiam, membeku sesaat.

"Liffi," panggil Sadewa, pria itu turun dari mobilnya.

Sadewa, sejak kapan? pikir Liffi. Jantung Liffi berdegup kencang, apa Sadewa melihatnya? Melihatnya pulang bersama dengan Nakula? Manik mata hitamnya membulat, terkesiap dengan kehadiaran matenya yang lain.

"Sa ... Sadewa."

Sadewa menghela napas panjang, pria itu mulai mengatur napasnya, menjaga agar hatinya tenang, menjaga kepalanya tetap dingin dan tidak terbawa emosi. Perlahan-lahan Sadewa menghampiri Liffi, lalu tersenyum hangat pada gadis itu. Liffi tahu itu hanyalah seulas senyuman yang dipaksakan.

"Kau dari mana?" tanya Sadewa.

Liffi tak bisa menjawab pertanyaan Sadewa, tak mungkin ia berkata bahwa ia baru saja pulang selepas bermalam di rumah Nakula. Sebodoh apapun Liffi, ia tahu bahwa tak ada satu pun manusia yang suka bila pasangannya bersama dengan pria lain, apa lagi berselingkuh di belakangnya.

"Em ... Em ... aku ...," gagap Liffi.

"Apa kau bersama Nakula semalam?" tebak Sadewa.

Mata Liffi membulat, tertegun karena Sadewa bisa langsung menebaknya. Apa mungkin Sadewa melihat Nakula mengantarkannya pulang barusan?

"Dengarkan aku, Sadewa, ini tidak seperti perkiraanmu." Liffi mencoba berkelit, ia takut Sadewa marah.

"Sejak kapan kau mengenal Nakula, Liffi?" Sadewa mengepalkan tangannya, masih mencoba untuk menahan amarah.

"Bisa kita bicara di dalam?" tanya Liffi, ia menggigit bibirnya gusar. Beberapa orang penghuni apartement melihat ke arah mereka, seakan sedang menerka-nerka pertengkaran apa yang sedang terjadi? Kenapa keduanya berdiri dan menghalangi pintu masuk dan membuat mereka terlambat beraktifitas?

Liffi melangkah masuk ke dalam apartemennya diikuti oleh Sadewa. Ruangan sempit itu masih bersih dan rapi seperti biasanya. Sadewa berusaha mengenali aroma Nakula, tapi tak tercium, hanya bau bunga hibicus yang menusuk hidungnya, bau yang amat Sadewa rindukan belakangan ini.

"Duduklah, Sadewa. Aku akan membuatkanmu teh." Liffi menyalakan kompor, mulai menyeduh teh.

Sadewa menuggu dengan sabar, walaupun nyatanya debaran jantungnya kembali cepat dan amarahnya semakin tak tertahankan. Sadewa butuh jawaban, butuh kepastian tentang hubungan Liffi dan Nakula.

"Maaf aku meninggalkanmu semalam." Liffi kembali dengan dua cangkir teh, menyerahkan salah satunya kepada Sadewa.

"Kau belum menjawab pertanyaanku, Liffi!" seru Sadewa. Liffi sudah tak bisa mengelak lagi, ia harus mengatakan yang sebenarnya pada Sadewa. Tapi bagaimana bila Sadewa marah dan menantang Nakula? Apa keduanya akan saling menyerang? Liffi tak ingin hal itu terjadi, tak ingin salah satunya terluka karena dirinya.

"Aku mengenal Nakula sebelum mengenalmu, Sadewa. Kami berdua bertemu tanpa sengaja." Liffi duduk pada tepi ranjang, tepat di samping Sadewa.

"Apa?" Sadewa terkesiap, ternyata Liffi sudah lama mengenal Nakula. Lantas kenapa gadis itu tak pernah bercerita?

"Aku tak pernah bercerita karena dulu aku kira kalian bukan saudara kembar. Nama keluarga kalian berbeda, warna rambut dan mata juga berbeda. Hanya wajahnya yang terbilang mirip." Liffi seakan bisa menjawab keraguan yang terpancar dari wajah Sadewa.

... Hening, Sadewa menunggu kelanjutan alasan milik kekasihnya itu.

"Aku juga tahu kalau dia seorang werewolf terlebih dahulu." Liffi menghirup uap teh melati, aromanya membuat hati jauh lebih tenang.

"Kami berteman karena berasal dari negara yang sama. Nakula sepertinya juga menyukaiku, berkali-kali ai mengataan bahwa aku adalah matenya. Tapi malam itu, saat gerhana bulan. Saat itu aku tersadar bahwa kaulah mateku, Sadewa, bukan Nakula," tutur Liffi.

"Semalam, saat kau bercerita semua tentangnya hatiku sakit. Aku merasa kasihan, kisah hidupnya begitu menyedihkan. Masa lalunya membuatku merasa bersalah karena telah menolaknya, Sadewa. Berbeda denganmu yang punya segalanya, Naku hidup kesepian, padahal kalian berasal dari satu rahim yang sama. Jadi karena kasihan aku bergegas menemuinya, kami mengobrol, tak terasa sudah pagi, dan Nakula mengantarku pulang." Liffi berbohong, kebohongan yang ia karang demi melindungi keduanya. Liffi sadar, kebohongannya terlalu ketara. Gadis itu memang tidak pandai berbohong, bahkan mungkin Sadewa sudah bisa menebaknya hanya dari tatapan mata Liffi. Liffi hanya bisa pasrah, berharap Sadewa menerima semua kebohongan itu begitu saja.

"Kau pembohong yang payah, Liffi. Tapi aku akan mencoba untuk mempercayai semua kebohongan itu karena kau adalah mateku." Sadewa bangkit dari tempatnya duduk.

Liffi hampir meneteskan air mata, namun ia menahannya. Sadewa berkata dengan nada cukup tinggi, ia tak pernah melakukan hal itu sebelumnya. Sadewa juga menyadari kebohongannya, apa yang harus Liffi lakukan untuk menutupi semua kesalahannya? Haruskah ia menumpuknya dengan hal lain? Benar, bukankah wanita selalu benar, tinggal menangis, berteriak dan mengeluarkan jurus mematikan itu.

"Kenapa kau tak percaya padaku, Sadewa. Kau sudah menemukan bentuk sejatimu sedangkan Nakula belum. Bukankah itu bisa dianggap sebagai pembuktian bahwa aku tak pernah mengkhianatimu?" Liffi menangis, tangisan Liffi membuat dada Sadewa berdenyut, ikut merasakan rasa sakitnya.

"LIffi ... aku ha--"

"Pergilah, Sadewa. Aku tak ingin bertemu denganmu sementara waktu." Liffi terpaksa menutup diri dari Sadewa sementara waktu, juga terpaksa membalikkan fakta bahwa dirinya tak bersalah, Sadewa yang salah. Liffi hanya bisa memilih jalan ini untuk melindungi keduanya.

"Kau tahu aku tidak bisa, Liffi. Mate tak terpisahkan." Sadewa menolak.

"Tapi kau tak mempercayaiku, Sadewa." Liffi menatap nanar kearah lelakinya itu, mencoba memberikan efek jera agar Sadewa tak lagi membahas atau mencari tahu hal-hal seputar hubungannya dengan Nakula.

"Dengarkan aku, Liffi! Aku minta maaf bila menaruh curiga padamu, aku tahu aku salah. Mungkin karena aku terlalu mencintaimu jadi aku merasa cemburu." Sadewa memeluk tubuh mungil Liffi, mengecup pucuk kepalanya. Sadewa tahu Liffi berbohong, tapi dibandingkan mengetahui kenyataannya, lebih menyakitkan bila ia harus berpisah dari Liffi. Tidak, jiwanya pasti tidak akan sanggup.

"Pulanglah, Sadewa. Kita harus sama-sama mendinginkan kepala. Jangan menemuiku tiga hari ke depan."

"Liffi , kumohon jangan begini." Sadewa melemah, ia sangat takut kehilangan Liffi, gadis itu adalah belahan jiwanya.

"Aku ada kuliah, jadi harus pergi." Liffi menyahut tasnya dan meninggalkan Sadewa yang mematung sendirian.

"SHIT!!!" umpat Sadewa, ia hampir saja memukul meja sampai hancur, beruntung Sadewa bisa kembali menjaga emosinya.

ooooOoooo

次の章へ