Matahari bersinar begitu terang, membuat siapapun yang sedang terlelap berada di ranjang merasa terganggu. Tak terkecuali Angkasa, badannya terasa pegal karena tidur di sofa, terlebih ada Lily di sampingnya.
Angkasa membuka matanya lebar-lebar, kenapa dirinya sedang memeluk seonggok guling? Bukankah yang ada di sini semalam Lily? Atau dirinya hanya bermimpi.
Angkasa melempar guling itu, bangkit memeriksa kamarnya. Membuka pintu dengan kencang, membangunkan Lily yang tertidur nyenyak.
Lily menguap, bangun dari tidurnya. Menghampiri Angkasa yang terlihat melamun.
"Sa, kamu ngapain disini?"
"Kamu yang ngapain di kamar aku? Bukannya semalam..."
"Semalam kenapa?"
"Ah udahlah."
Angkasa menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa aneh dan bingung. Mungkin semalam dirinya memang hanya bermimpi.
Lily menahan tawanya melihat Angkasa yang kebingungan seperti itu. Bahkan dengan situasi yang belum lurus ini, Angkasa berjalan menuju dapur membuat sarapan dengan rambut yang terlihat seperti sarang burung, tidak berniat merapikannya.
Lily menghampiri Angkasa ketika sudah bisa mencium harum dari makanan yang sedang dimasak itu.
"Wow, aku gak tau kamu pinter masak."
"Aku dari dulu bisa masak, kamu aja yang gak tahu."
"Oh kalau gitu aku lihat sisi baru kamu nih."
Lily mengulum bibirnya yang bisa-bisanya mengatakan hal seperti itu dengan gamblangnya, disaat mereka belum benar-benar berbaikan. Bahkan perkataan Lily itu membuat pergerakan tangan Angkasa terhenti.
"Lanjut aja."
Sebisa mungkin Lily menunjukkan senyum tak berdosanya. Baru setelah itu Angkasa melanjutkan aktivitasnya memasak.
Lily beralih duduk di meja makan daripada mengatakan hal-hal aneh lainnya. Setelah beberapa saat Angkasa menyajikan dua buah piring ke meja makan.
Yang bisa Lily lihat adalah nasi yang dicampur dengan banyak makanan, diaduk menjadi satu dan diatasnya terdapat telur mata sapi.
Mata Lily berbinar, sedari semalam dirinya belum mendapat pasokan energi, Lily benar-benar lapar hingga harus membuang rasa malunya.
Angkasa sendiri merasa tidak yakin dengan masakannya, karena Lily mengganggu dengan perkataannya tadi. Tapi melihat Lily makan dengan lahab, sepertinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari rasanya.
Lily melirik Angkasa yang duduk didepannya, Angkasa makan dengan sangat tenang sambil bermain hpnya. Begitu Angkasa menatap balik mata Lily, Lily tersedak, membuat makanan yang ada dimulutnya bertebaran kesana-sini.
Dengan cepat Angkasa bangkit menuangkan air putih kedalam gelas memberikannya pada Lily.
"Diminum." Lily segera menegak air itu untuk melegakan tenggorokannya.
"Kamu gak sekolah Ly?" Lily melirik jam dinding.
"Kamu sendiri kok gak berangkat sekolah?"
"Aku ada pemotretan."
"Oh."
"Jadi?" Lily mengangkat kedua alisnya bingung dengan maksud Angkasa.
"Aah, mana ada sekolah masuk jam sembilan? Aku bolos aja." Lily kembali melahap makanannya.
"Kalau gitu mau ikut aku?"
"Ke?"
"Pemotretan."
"Gak."
"Aku anterin pulang?"
"Gak usah, kalau boleh aku mau disini aja."
"Kalau gitu tunggu sini sampe aku pulang. Aku mau ngomong sama kamu. Baru habis itu aku anter pulang."
"Iya, makasih. Maaf ngerepotin."
"Kalau gitu aku mau mandi dulu, nanti ada bibi yang kesini beres-beres apartemen."
Lily mengangguk-angguk paham, sebenarnya sedikit merasa tak enak hati. Posisi mereka sedang tidak berhubungan baik, tapi Lily juga tak tahu harus kemana lagi.
Jika dirumah Lily tidak bisa menghadapi mamanya atau Aster dan teman-temannya yang lain pasti juga sedang bersekolah.
*
Lily sudah memakai seragam yang digunakannya saat datang ke apartemen ini. Lily fikir harus segera pulang, agar mama dan Aster tidak khawatir.
Lily menatap apartemen yang sudah memberinya perlindungan saat Lily sedang dalam keadaan sulit. Lily bersiap keluar, namun suara pintu terbuka membuatnya kebingungan.
Angkasa keluar bahkan belum ada satu jam. Lalu siapa yang datang? Ah apa itu bibi yang membersihkan rumah ini. Lily menghela nafas lega, Lily hanya tinggal menyapa dan pergi dari sini secepat mungkin.
"Lily?" Suara wanita paruh baya menyapanya. Lily membelalakan mata saat tahu yang datang adalah mama Angkasa. Jika Lily tidak salah ingat, karena hanya sekali Lily pernah bertemu, itupun hanya sebentar karena Angkasa segera mengusirnya saat itu.
"Hallo tante." Lily tersenyum kikuk.
"Anak itu benar-benar tidak bisa dikasih tahu."
"Ya tan?" Walaupun mama Angkasa berkata dengan suara yang sangat pelan, Lily masih bisa mendengar dengan jelas.
"Eh enggak. Kamu kok ada disini?"
"Cuma mampir tan, ambil barang yang dipinjem tapi ternyata gak ada disini."
"Rei kasih tahu kode pintunya ke kamu? Setahu tante, Rei lagi ada job."
"Eh iya tan. Maaf ya tan, masuk padahal gak ada penghuninya."
"Kenapa minta maaf, Rei udah kasih izin kok. Tante gak bisa marah. Lagian kamu juga gak berbuat buruk." Mana bisa Lily mengatakan semalam tidur disini bersama anaknya, bisa-bisa Lily disuruh tanggung jawab.
"Kalau gitu saya langsung balik ke sekolah ya tan?"
"Eh mau kesekolah ya? Ya udah hati-hati."
Lily mencium tangan mama Angkasa. Setelah itu barulah Lily pergi dari sana. Lily berusaha menetralkan detak jantungnya. Untungnya mama Angkasa percaya dengan perkataannya.
Ting!
Pintu lift terbuka, kaki Lily yang melangkah kedepan seketika melangkah kebelakang, melihat Angkasa yang ada di dalam lift itu.
"Sa? Ngapain balik? Ada yang ketinggalan?" Jika memperhatikan penampilan dan dandanan Angkasa sepertinya dirinya sedang berada di tengah pemotretan. Lalu untuk apa kembali?
"Kamu ngapain diluar? Aku kan udah bilang tunggu didalem." Lily melirik kearah pintu apartemen Angkasa. Angkasa mengikuti arah mata Lily dan menebak apa yang terjadi.
"Didalem ada mama aku?"
"Iya..ta..." Angkasa berjalan dengan cepat, diikuti Lily. Dari raut wajahnya terlihat amarah yang menggebu-gebu.
"Sa, kamu mikirin apa?"
Angkasa berhenti menekan tombol akses pintu.
"Kamu pasti disuruh pergi kan sama mama aku?"
"Apa?! Enggak, aku sendiri yang mau pergi. Aku mau pulang."
"Aku kan udah bilang mau bicara sama kamu. Atau kalau gak kamu ikut aku sekarang ke studio aku."
"Gak mau. Sama Sindi aja sana!"
"Kok Sindi?"
"Kan kemaren juga sama Sindi."
"Apa?! Kemaren itu aku kerja, jadi tamu disana sama artis lain juga!"
"Aku gak lihat artis lain selain kamu disana."
"Itu karena kamu pergi sebelum acara dimulai."
"Aku pergi karena kamu bentak aku didepan semua orang!"
"Ha? Bentak gimana?"
"Lily! Gitu."
"Itu supaya kamu berhenti bertengkar sama Doni."
"Halah, bilang aja kamu seneng di gandeng Sindi, makanya kamu bohong dengan alesan mau jagain kak Sean buat ketemu sama dia dan kamu jauhin aku akhir-akhir ini."
"Kapan aku seneng digandeng Sindi?! Dan aku jauhin kamu itu supaya kamu gak celaka!"
Perdebatan mereka terhenti, tanpa sadar satu persatu permasalahan mereka terselesaikan.
Lily mengernyit, berfikir maksud dari kata celaka yang Angkasa ucapkan.
"Apa maksudnya celaka?" Angkasa terdiam, masalah dirinya menjauhi Lily selama ini karena ingin melindungi Lily.
Pintu apartemen Angkasa terbuka, mama Angkasa keluar dari sana.
"Kenapa ribut diluar? Apartemen ini gak cukup kedap suara kalau kalian nempelin telinga ke pintu."
Lily benar-benar malu, tertangkap basah sedang bertengkar dengan Angkasa.
"Iya tan, maaf. Kalau gitu Lily pamit ya."
"Ya, hati-hati."
Lily segera pergi, menunggu lift datang.
Mama Angkasa menatap anaknya dan Lily bergantian. Sepertinya mereka terlihat sangat stres.
"Apa perlu mama jelaskan? Alasan kamu menjauh dari Lily?"
"Gak perlu ma. Biar Rei sendiri, Rei pamit antar Lily pulang ya?"
Bella menyambut uluran tangan anaknya. Dirinya yang sebenarnya tidak menentang pertemanan anaknya dengan siapapun, tapi entah dengan suaminya.
"Pulang? Bukannya Lily pamit buat berangkat sekolah?"
Entahlah, urusan anak muda memanglah memusingkan.