Sore ini Arini menghabiskan waktu sorenya di taman lagi. Karena Panji telah menyuruhnya untuk tetap di dalam rumah selagi Panji tidak berada disampingnya.
Hidupnya kini diselimuti perasaan dilema antara senang dan sedih. Tapi setelah direnungkan beberapa kali, perasaannya kini jauh lebih merasa sedih ketimbang senang. Jujur dia merasa senang karena bisa hidup bersama dengan Panji, laki-laki yang bakal menjadi ayah dari anaknya.
Tapi disisi lain dia juga merasa sedih karena harus hidup seperti tawanan perang. Biargimanapun juga dia ingin hidup bebas. Tidak seperti dikurung saat ini. Dulu saat dia hidup sendiri, ada beberapa orang yang menemaninya seperti Dilan, Yanuar bahkan Bu Siti. Tapi sekarang dia harus hidup sendiri dengan Panji saja.
Tiba-tiba ada suara bel rumah berbunyi. Kebetulan Bi Sumi ada di ruang tengah. Mendengarnya, Bi Sumi langsung membukakan pintu.
"Bi saya mau ngambil tas."kata Panji setelah pintunya terbuka.
"Mau saya ambilkan mas?"Bi Sumi cepat-cepat mengambilkan tas Panji.
"Ngga usah bi. Saya ambil sendiri saja."Panji langsung masuk dan melewati Bi Sumi.
Panji berjalan menuju kamarnya. Dia terkejut melihat kamarnya sepi. Bukankah Arini biasanya di dalam kamar. Sempat ada perasaan takut dan cemas pada Panji kalau-kalau Arini kabur.
"Nggak mungkin dia kabur, diluar ada bodyguard kan."batin Panji sambil menenangkan perasaannya yang mencemaskan Arini.
Belum sempat mengambil tasnya Panji malah meninggalkan kamarnya. Dia berlari kesana kemari mencari Arini. Sempat ingin bertanya pada Bi Sumi tapi Bi Sumi tidak terlihat. Terpaksa Panji harus mencari sendiri.
"Hiks…hikss…"Arini menumpahkan rasa sedihnya harus berpisah dengan Dilan dan Yanuar. Memang Arini mudah menangis ketika sedih.
"Apa dia ada disana."batin Panji sambil melihat taman. Kebetulan spot rumahnya yang belum dia lihat adalah taman.
"Aku harus disini. Biargimanapun juga anak ini butuh sosok Panji."ucap Arini dengan pelan sambil mengelus perutnya.
"Dia kenapa."Panji ternyata menemukan Arini sedang duduk di taman. Dilihat dari jauh, Panji melihat Arini sedang menangis.
"Dia kenapa lagi."Panji merasa penasaran dan mulai mengahmpiri Arini dengan pelan-pelan.
Tanpa disadari Arini, Panji telah berada tepat dibelakangnya. Arini masih menangis sambil meratapi kesedihannya saat ini.
"Maafin mamah. Hiks…hikss… Mamah sering menangis. Mamah kalau sedih pasti…hiks..hikss.."Arini terus mengelus perutnya dengan pelan. Kali ini dia benar-benar sedih.
"Mamah nggak tahu kedepannya nanti kita gimana. Apa kita akan seperti ini terus. Mamah juga nggak tahu. Tapi seenggaknya kamu sekarang bisa dekat dengan ayahmu."Arini menunduk dan melihat perut buncitnya. Panji mendengarnya serasa seperti ditampar begitu saja.
Tetesan air mata Arini telah membasahi kaos kedodoran milik Panji yang sengaja dipakainya karena tidak memiliki kaos longgar. Saat dibawa Panji, Arini memang hanya membawa satu pakaian saja. Karena kekukarangan kaos jadi dia terpaksa memakai kaos milik Panji. Sekarang perutnya sudah mulai membesar. Otomatis ukuran pakaiannya berubah dari biasanya.
"Khmmm."Panji tiba-tiba datang dan duduk disebelah Arini. Arini terkejut melihat kedatangan Panji yang tiba-tiba itu.
"Ka…kamu."Arini menatap Panji yang sudah duduk disebelahnya.
"Ini."Panji memberikan sehelai tisu kepada Arini. Arini masih diam saja karena masih tidak menyangka kalau Panji sekarang berada disampingnya.
Karena Arini tidak meresponnya, akhirnya Panji turun tangan sendiri. Mengusap air mata Arini dengan tisu. Arini merasakan tangan kaku Panji mengusap keningnya. Mata Arini terus memandangi keindahan aura wajah Panji. Begitu terasa menyejukkan hatinya kalau memendanginya.
"Kamu kenapa? Jangan menangis terus."ucap Panji sambil fokus mengusap kening Arini.
"Sudah."Arini menghentikan tangan Panji.
Panji langsung berhenti mengusap kening Arini. Kemudian Panji menatap Arini dengan tatapan kasihan. Arini juga menatap Panji. Sehingga keduanya saling beradu pandang dengan jarak lumayan dekat.
"Kenapa kamu memakai kaos ku?"tanya Panji berusaha mencairkan suasana.
"Aku nggak punya kaos yang besar."jawab Arini sedikit ketus.
"Aku mau ke kamar saja."Arini mulai bangun dari tempat duduknya. Dia meninggalkan Panji begitu saja.
Arini tidak ingin berlama-lama bersama Panji. Dia merasa kalau dirinya berada di dekat Panji, perasaannya menjadi tidak karuan. Seperti ada rasa yang tidak bisa dia kendalikan dalam hatinya. Panji mengikuti Arini dari belakang. Arini tidak peduli. Baginya sekarang dia ingin masuk ke kamar saja.
"Kamu kenapa?"Panji bertanya dan berdiri tepat didepan Arini yang duduk di tepian kasur.
"Aku nggak papa. "jawab Arini sambil mendongak kearah Panji.
"Katakanlah. Aku tahu kalau kamu sedih sekarang."Panji terlihat mengintimidasi Arini agar terus terang saja.
"Nggak. Sok tahu aja kamu."jawab Arini terlihat menutup-nutupi dengan senyum manisnya.
Arini tidak kuat kalau Panji terus menatapinya dengan tatapan tajam. Akhirnya dia menyerah.
"Ya aku memang sedih. Tapi percuma saja kalau aku cerita sama kamu. Kamu juga akan diam saja nanti."kata Arini dengan kesal. Arini masih duduk di pinggir kasurnya dan kakinya masih menapak di lantai.
"Apa itu."Panji penasaran.
"Apa aku harus seperti ini terus? Tinggal disini tanpa kejelasan. Dan kami kau kurung seperti ini."Arini tidak kuat menahan rasa dilema hatinya yang telah dia tahan dari awal dia memilih untuk tetap mengikuti perintah Panji tinggal di rumahnya.
"Kalau nanti sudah melahirkan anak ini, aku masih bisa merawat anak ini tidak? Atau kamu malah akan membuang kami setelah kamu menikah dengan mbak Alena? atau kamu akan memisahkan aku dengan anakku dan kamu mengambil anakku?"Arini bicara lagi karena Panji hanya diam saja.
"Sekarang aku memang menuruti perintahmu untuk tetap tinggal disini karena aku sadar kalau kamu ayah dari anak ini. Tapi aku juga butuh kejelasan juga. Kamu maunya kayak gimana sekarang."Arini langsung menunduk karena lagi-lagi air matanya ingin jatuh lagi.
Arini tidak melanjutkan ucapannya lagi. Dia lebih memilih diam saja karena percuma saja dia berbicara kesana kemari karena Panji tetap saja diam dan tidak meresponnya. Kini dia malah tidak kuat sendiri dan berakhir dengan menangis lagi.
Panji kini bingung. Dia menjadi sadar kalau dirnya sedang menggantung Arini. Kemarin dia menyuruh Arini untuk tetap tinggal di rumahnya dan tidak boleh keluar. Dan ternyata Arini telah menurutinya meskipun kemarin ada percobaan kabur. Tapi Arini masih menganggapnya sebagai ayah dari anak yang dikandungnya itu.
"Aku paling nggak bisa melihat cewek menangis."kata Panji. Arini mendengarnya langsung mendongak.
"Kalau kamu tidak ingin aku menangis seperti ini, kamu juga harus ngasih kejelasan aku. Apa aku harus hidup seperti ini."Arini berbicara dengan bibir bergetar. Matanya masih digenangi air matanya.
"Aku nggak tahu. Aku juga nggak tahu kalau keadaannya akan seperti ini.���Panji terlihat frustasi. Panji mengalihkan pandangannya dari Arini kemudian berjalan menjauh dari Arini.
"Berarti kamu belum bisa bertanggung jawab sama kita. Jadi untuk apa kamu memperlakukan kita seperti ini."Arini bangun dari kasur dan berdiri tepat dibelakang Panji.
"Toh aku juga bisa hidup sendiri dengan anak ini. Dan kamu jangan khawatir, aku tidak akan membocorkan kalau kamu a…adalah ayah dari anak ini."Arini berbicara sambil sesenggukan. Tangisaannya semakin menjadi-jadi tatkala tahu Panji tidak serius ingin bertanggung jawab sama dia.
"Sudah. Lebih baik cukup sampai disini saja kita…"belum selesai bicara tiba-tiba Panji membalikkan badannya kemudian memegang tangan Arini.
"Kamu mau apa?"tanya Panji sambil melotot kearah Arini.
"Pergi. Ngapain aku disini kalau kamu memang hanya menggantung kita seperti ini."kata Arini membiarkan tangan Panji menggenggam tangannya.
"Nggak. Kamu harus disini."jawab Panji tambah mengeratkan genggamannya.
"Ok Ok. Kasih aku waktu untuk menyelesakan masalah ini. Aku janji aku akan bertanggung jawab sama anak itu dan kamu."Panji terlihat mulai menyerah.
Arini juga tidak bisa berkata-kata apalagi. Melihat Panji juga sudah terlihat frustasi. Arini tahu kenapa Panji sebegitu frustasinya. Tidak lain kalau bukan karena Alena. Arini sudah tahu gimana hubungan Panji dengan Alena. Mereka berdua saling mencintai.
Merasa tenaganya mulai lemah karena terus menangis. Arini memilih untuk duduk kembali di tepi kasur. Dia harus memikirkan kesehatan anak yang ada di dalam perutnya sekarang. Kalau dia stress terus pasti kesehatan anaknya akan terganggu.
"Sudah kamu jangan bersedih lagi. Aku janji akan bertanggung jawab sama kamu. tolong kasih aku waktu untuk menyelsaikan masalah ini."Panji menghampiri Arini lalu memeluk Arini yang sedang duduk.
"Hmmm."Arini tidak melakukan perlawanan. Dia hanya mengangguk saja.
"Aku berharap kamu memang akan bertanggungjawab sama aku dan anak ini."batin Arini sambil mengingat ucapan Bi Sumi kalau Panji, orangnya sangat tanggungjawab.