"Axel-le?"
Lova mengenal anak laki-laki itu. Axelle Adelio Cetta, putra mahkota kerajaan Cetta. Putra tunggal dari pasangan suami istri billionaire Adelardo Cetta dan Lois Avisa Cetta. Calon penerus dari sebegitu banyaknya jumlah perusahaan besar Cetta yang bergerak hampir di semua bidang. Tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dan di beberapa wilayah negara lain.
Sebagai putra dari pemilik Global Cetta School, Axel biasa laki-laki itu dipanggil memegang kendali penuh atas Global Cetta School terutama pada tingkat senior high. Kedudukan Axel secara tidak langsung berada di atas kepala sekolah.
Privilege yang Axel miliki membuat laki-laki itu bebas tanpa hambatan melanggar semua peraturan yang ada. Pelanggaran paling ringan yang Axel lakukan adalah terlambat masuk. Bolos pelajaran, bolos sekolah, merokok sampai tawuran sudah sering laki-laki itu lakukan berulang kali. Axel tak perlu repot-repot memikirkan hukuman yang akan laki-laki itu terima nantinya. Siapa juga yang berani menguji nyali dengan memberi Axel hukuman? Belum-belum sudah dipecat dulu. Atau yang lebih parahnya lagi bisa-bisa di blacklist dari tempat kerja manapun. Siapa yang mau tidak bisa bekerja lagi?
Tampan, satu kata itu yang paling tepat untuk menggambarkan sosok Axel. Laki-laki itu memiliki bentuk wajah dengan rasio yang hampir sempurna, kulit putih bersih, badan atletis dengan tinggi sekitar 1, 83 meter. Kantong tebal ditambah jabatan sebagai kapten basket menjadikan Axel sebagai most wanted. Tak tanggung-tanggung nama besar Axelle Adelio Cetta menggaung hingga ke sekolah-sekolah lain.
Kepintaran Axel dalam menggoda lawan jenisnya membuat kata 'playboy' menjadi nama tengah laki-laki itu. Mulai dari adik kelas hingga kakak kelas bersedia mengantri hanya untuk bisa menjadi pacar dari seorang Axel. Tak peduli jika nantinya mereka akan menjadi pacar kedua, ketiga, keempat laki-laki itu atau bahkan lebih.
Kedua bola mata Lova bergerak ke sana kemari. Menatap Axel dengan tatapan bingung. "Axel-le?" panggil Lova satu kali lagi dengan suara pelan.
Axel terdiam, tak menjawab dan dengan sengaja mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah hingga mengenai wajah Lova membuat gadis itu reflek mengerjapkan mata.
"Hey?!" protes Lova keras dengan raut kesal yang tidak dapat disembunyikan. Lova mengusap wajah pelan dengan satu tangannya yang bebas. "Ya, gak pake kenceng-kenceng juga, dong. Airnya masuk ke mata aku jadinya, kan perih."
Sebelah sudut bibir Axel naik. Perlahan menurunkan kepala seraya menegakan posisi duduknya. Axel menyilangkan kedua kaki, duduk bersila.
Lova menatap Axel kesal. "Ax-xe. Aku panggil kamu sampai dua kali, lho. Eh! Wait--" Lova langsung mengubah tatapannya pada Axel menjadi ngeri. "Jangan bilang kamu-- kamu gak kenal sama aku?!"
Axel melirik Lova dengan mengangkat alisnya sebelah. Ax-xe? Tidak! Axel menggelengkan kepalanya samar. Dia pasti salah dengar. Axel mengangkat kedua bahunya tak acuh. Lalu menyugar rambutnya yang basah ke belakang dengan kedua tangan secara bergantian.
Lova mendengus keras hingga kedua pipinya menggembung. Menggeser posisi berdirinya menjadi di depan Axel. "Kamu ngapain? Kenapa kamu duduk lesehan di trotoar kaya gini?" tanya Lova lembut sambil perlahan duduk berjongkok seraya tangan kirinya menahan bagian belakang rok. Sementara tangan kanannya mengangkat payung tinggi. "Ini hujan, lho kalau kamu belum tahu."
Axel terdiam memperhatikan Lova yang sedang mengenakan jaket baseball kebesaran warna merah marun sepanjang di atas lutut, hampir menutupi seluruh seragam yang gadis itu kenakan. Hanya menyisakan sedikit bagian ujung rok saja yang terlihat.
Lova memiliki wajah blasteran yang lebih condong ke arah wajah-wajah Asia itu cantik walau tanpa memakai make-up. Eye smile dengan manik mata berwarna hazel. Bulu mata lentik, kedua alis tebal terbingkai rapi, hidung kecil mancung dan bibir tipis warna merah muda alami. Tinggi badan gadis itu ... mungkin hanya dikisaran ... 1, 64 meter saja. Axel manggut-manggut. Lova tergolong tinggi untuk ukuran wanita Indonesia.
Kening Lova mengerut dalam. "Kenapa? Ada yang kotoran di wajah aku, ya?" tanya Lova sambil meraba-raba wajahnya sendiri. "Tolong kamu tunjukin, dong. Aku gak ada kaca. Gak bisa lihat wajah aku sendiri jadinya." pinta Lova halus sambil memalingkan wajah ke kanan dan ke kiri.
Axel tak menjawab. Mengalihkan pandangannya pada rambut belah tengah warna ash brown yang sepertinya memang warna asli dari rambut gadis itu dipotong model oval dengan poni tipis di atas mata dibiarkan tergerai indah sepanjang punggung Lova bergerak-gerak tertiup angin. Tangannya tiba-tiba saja gatal ingin mengaitkan anak rambut Lova yang menutupi wajah gadis itu di belakang telinga.
Cantik! Axel menatap Lova intens. Tak ingin melewatkan kesempatan emas yang dia dapatkan, bisa memandangi wajah cantik Lova dari jarak sangat dekat. Kemana saja dia selama ini? Kenapa baru menyadari eksistensi dari perempuan secantik Lova? Sepertinya terlalu lama bersama cabe-cabean menurunkan standarnya terhadap perempuan.
Mendadak jadi salah tingkah, Lova menggaruk pelipisnya yang sama sekali tidak gatal dan kembali menatap Axel. "Kamu kenapa, sih dari tadi lihatin aku sampai sebegitunya banget. Wajah aku aneh? Wajah aku ada kotorannya? Atau gimana, sih?"
Lova menghela nafas pelan mencoba mengulur kesabarannya karena Axel belum juga mengeluarkan suara. "Ini-- kamu lagi main hujan-hujanan apa gimana, sih?" tanya Lova mencoba mengganti topik pembicaraan. "Kenapa kamu gak neduh? Itu, lho di sana itu--" Lova menunjuk ke arah samping kanannya. "Ada halte. Kamu bisa neduh di sana. Aku aja, yang ngaku suka hujan, tetep aja pake payung, lho."
Axel hanya melirik ke arah halte sekilas.
Lova tersenyum maklum ketika Axel tetap bungkam tampak enggan berbicara dengannya. Mereka berdua memang tidak saling mengenal dekat. Bisa jadi Lova bertepuk sebelah tangan. Hanya dia yang mengenal Axel.
"Masa kecil kamu gak kurang bahagia, kan? Kamu gak takut sakit? Eh! Tapi preman sekolah kaya kamu ini, mana mungkin bisa sakit. Babak belur aja kaya yang udah jadi hobi. Setiap hari dilakukan. Demam atau flu, mah ... sepele." cerocos Lova tanpa sadar.
Dada Axel seketika menghangat melihat senyum tulus yang tak hanya di bibir saja tapi sampai di mata Lova. Kening Axel mengerut. Siapa tadi yang Lova sebut preman? Dia ... preman? Axel terkekeh geli di dalam hati. Dia tidak menyukai perempuan cerewet. Namun repetan yang keluar dari mulut Lova terdengar ... polos tidak membuatnya merasa terganggu sama sekali.
"Eh!" Lova reflek menutup mulut dengan tangannya. "Ya ampun! Maaf, ya. Aku malah jadi banyak ngomong gini. Sok kenal sok dekat banget aku, emang." tanya Lova setelah menurunkan tangannya. Lova cengengesan menatap Axel tidak enak.
Axel hanya menggelengkan kepalanya pelan.
Lova menautkan kedua alisnya. "Kamu habis berantem lagi, ya!" tanya Lova dengan suara yang dinaikkan satu oktaf. Takut-takut jika Axel tidak bisa mendengar suaranya yang sedang beradu dengan suara hujan.
Lova memperhatikan setiap inci wajah Axel. Luka memanjang di pelipis sebelah kanan, kedua pipi memar pasti karena terkena pukulan keras dan sudut kiri bibir sobek. Lova meringis. Luka-luka itu pasti perih ketika terkena air.
Axel terkesiap sedikit ketika telapak tangan halus dan dingin Lova menyentuh kulit pipinya. Kenapa rasanya ... hangat? Axel menatap Lova dalam-dalam. Kedua sudut bibirnya berkedut melihat Lova meringis seolah gadis itu ikut merasakan perih dengan kedua alis yang menukik tajam.
Apa Axel tidak merasa perih sama sekali? Lova menatap tepat di manik mata Axel. "Sakit gak itu lukanya?"
Axel menggeleng pelan. Matanya tak lepas menatap wajah Lova.
Lova mengangguk kecil. "Tolong kamu pegangin dulu, ya payungnya. Sebentar aja." pinta Lova halus sambil tersenyum lembut. Lova meraih tangan kanan Axel dan meletakkan gagang payung lipat yang dia pegang di tangan kanan ke tangan laki-laki itu.
Lova menarik lepas tali tas dari bahu kanan lalu memutar tas itu hingga berada di atas pangkuannya. Membuka tas lebar-lebar, Lova merogoh isinya mencari benda tipis yang akan digunakan untuk menutup luka Axel sementara waktu.
"Nah, ketemu!" seru Lova sambil tertawa kecil. Lova mengeluarkan lalu menunjukan plester warna biru dengan gambar salah satu karakter Disney, Mickey Mouse pada Axel dengan semangat.
Axel menutup mulut rapat-rapat untuk menahan tawanya agar tidak meledak melihat tingkah polos Lova.
"Kalau aku misalkan nanti nekannya kekencangan, kamu bilang, ya." kata Lova tanpa menatap Axel. Dengan hati-hati, Lova mengeringkan jejak air hujan di bagian pelipis Axel yang terdapat luka menggunakan lengan jaket baseballnya. Perlahan mendekatkan bibirnya ke pelipis laki-laki itu.
Axel menahan nafas ketika merasakan hembusan nafas Lova menerpa wajahnya. Gadis itu sedang meniup-niup luka di pelipisnya. Axel reflek menyentuh plester yang baru saja dipasangkan di atas lukanya oleh Lova dengan tangan kiri. Matanya memperhatikan Lova yang sekarang sedang merogoh kantong kecil di bagian depan tas gadis itu.
"Mana tangan kamu? Kesinikan dulu sebentar." titah Lova halus sambil menarik pelan tangan kanan Axel membuat laki-laki itu otomatis langsung memindahkan gagang payung lipat ke tangan kiri.
Lova meletakkan tangan laki-laki itu di atas tas yang berada di pangkuannya. Mengusap pelan buku jemari tangan Axel yang lecet dan memar lalu membalut dengan sapu tangannya. Lova bergidik ngeri membayangkan kondisi korban dari bogeman Axel.
"Eng ... itu--" Lova melirik Axel takut-takut sambil menelan salivanya kasar. "Orang yang tadi kamu pukul itu-- sekarang-- masih hidup, kan, ya?" tanya Lova hati-hati. Lova menggeleng pelan dengan wajah polosnya. "Gak sampai death?" Lova menjatuhkan lehernya ke samping kiri seolah lehernya patah.
Astaga! Pertanyaan macam apa itu? Axel lagi-lagi harus menutup mulut rapat-rapat menahan agar tawanya agar tidak meledak. Wajah Lova kenapa-- lucu?!
Dengan cepat Axel mengubah raut wajahnya menjadi serius ketika tersadar akan sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam bayangannya sekalipun. Axel menatap Lova lekat-lekat. Kenapa Lova yang menemukan disaat dia sedang dalam kondisi kacau? Kenapa Lova yang memberi dia perhatian dan dengan telaten mengobati luka-luka dia? Bukan orang tua, pacar yang ada lebih dari satu atau deretan para mantan yang masih berharap bisa kembali bersamanya.
Axel dan Lova, tidak bisa jika dikatakan akrab. Mereka berdua hidup di dunia masing-masing. Walau sudah berada di dalam satu kelas yang sama hampir selama dua tahun. Interaksi di antara keduanya masih bisa dihitung menggunakan jari.
Hanya satu hal yang Axel tahu tentang Lova. Dari sekian banyaknya orang yang selama ini dia kenal, hanya gadis itu satu-satunya yang menggunakan gaya bicara aku-kamu. Aneh ketika dia sudah terbiasa dengan gaya bicara lo-gue. Tapi sekarang, saat melihat dan mendengar secara langsung dari Lova, Axel merasa dirinya ... spesial? Hell! Pemikiran macam apa itu, Axel! Efek pukulan lawannya tadi mulai bekerja sepertinya. Pikirannya sudah melantur jauh ke mana-ke mana. Axel geleng-geleng kepala.
"Itu, kenapa kepalanya digeleng-gelengin kaya gitu? Ada yang sakit? Kepala kamu pusing?" tanya Lova beruntun dengan raut khawatir yang kentara di wajahnya.
Axel mengangguk lalu menggeleng. Perhatian Lova terasa sangat asing untuknya yang tidak pernah menerima perhatian meski kecil tapi dia bisa merasakan ada ketulusan di sorot mata gadis itu. Lova, itu-- Kedua alis Axel menaut. Entahlah, Axel kesulitan mencari kata yang tepat untuk melengkapi kalimatnya.
"Sampai rumah, kamu langsung minta tolong sama orang rumah bantu kompres tangan sama pipi kamu pakai es batu biar gak makin parah memarnya. Pelipis sama bibir kamu juga harus dibersihkan ulang pakai alkohol biar kotorannya hilang jadi lukanya gak infeksi." terang Lova seraya meletakkan tangan Axel di atas lutut laki-laki itu.
Axel mengangguk.
"Aku gak denger kamu jawab apa. Jadi, kamu ngerti, kan apa yang aku bilang tadi?"
Axel mendengus kasar. "Ngerti-ngerti." jawab Axel dengan ogah-ogahan.
Lova terkekeh pelan yang langsung mendapatkan cibiran dari Axel. "Nah. Gitu, dong ngomong!" seru Lova sambil menjentikkan jarinya. "Aku, kan jadinya ngerti. Dari tadi itu kamu aku ajak ngomong cuma angguk sama geleng doang."
Axel memutar kedua bola matanya malas meladeni ocehan Lova. Bagaimana dia bisa bicara kalau bibirnya sedang robek begitu?! Untung cantik! Eh? Si kampret malah salfok, dong! Jika Axel ingat-ingat kembali, tadi sebelum ada Lova dia merasa baik-baik saja. Tapi setelah gadis itu ada badannya terasa sakit semua. Tulang-tulangnya terasa remuk redam. Kenapa perhatian Lova membuat dia menjadi mellow?
-firstlove-
Tin ... tin ...
"Princess!"
Suara keras klakson mobil disusul dengan suara bass yang sudah sangat familier di telinganya membuat Lova buru-buru membereskan tas. Lova bergerak cepat melepaskan jaket baseballnya.
Tin ... tin ...
"Oh, God!" gumam Lova lirih dengan raut wajah panik.
"Princess!"
"Yes, daddy! Wait a minute, please!" teriak Lova keras sambil menoleh ke belakang sekilas. Lova melingkupkan jaket baseballnya di kedua bahu Axel. "Kamu pakai, ya payung aku dan berhenti main hujan-hujanannya, oke? Aku serius, kamu bisa sakit Axe." Lova menatap Axel serius.
Seolah terhipnotis, kepala Axel mengangguk patuh dengan sendirinya.
Lova tersenyum senang. "Good." puji Lova sambil menepuk puncak kelapa Axel dua kali.
Axel memutar kedua bolanya malas. Lova pikir dia itu bocah?!
"Kamu kalau aku tinggal gak apa-apa, kan ya? Daddy aku udah jemput soalnya." terang Lova sambil menjauhkan tangannya.
"Hmm,"
Lova tersenyum kecil. "Iya, udah. Kalau gitu, aku pulang duluan, ya. Bye, Axe! Take care." Lova mengangkat tasnya hingga di atas kepala. Langsung berdiri dan berlari kencang menerobos hujan menuju ke arah daddynya yang ternyata sudah keluar dari dalam mobil dan berdiri menunggunya di depan pintu kursi penumpang samping kursi pengemudi dengan payung hitam di tangan kanan.
Axel menatap mobil yang membawa Lova sampai hilang di persimpangan. Pandangannya beralih pada jaket baseball warna merah marun Lova yang beraroma musk bercampur cinnamon. Hangat, lembut, manis dan menenangkan. Axel tersenyum tipis.
Kondisi tangan yang terluka dan sedang memegang payung membuat Axel kesulitan mengenakan jaket Lova. Tunggu! Gerakan tangannya terhenti. Axe? Axel terkekeh geli seraya geleng-geleng kepala. Memiringkan kepalanya sedikit. Jadi yang dimaksud Lova itu, dia AXE merek parfume atau AXE dalam artian kapak? Ck! Ambigu. Menambahkan huruf L apa susahnya!
"Ax-xe?" Axel terkekeh ketika menggumamkan namanya sendiri mengikuti cara Lova memanggil. Not bad. Axel mengangkat kedua bahunya tak acuh. Lalu berdiri dari posisi duduknya sambil memindahkan gagang payung ke tangan kanan. Axel melenggang pergi dengan senyum menghiasi bibirnya.
Tbc.