Selamat membaca
°•°•°
"HUUUH...! Ya Tuhan..." lagi dan lagi napasku tersengal. "Huft, tenang, santai, kalem...."
Sulit kupercaya, Sean... Sean! Ya Sean! Dia, dia menemaniku! Ya-Ya, dia menjadi teman mengobrolku di ruang tamu malam ini! WOW, GOKIL! Mimpi saja aku tidak pernah! Namun detik ini, dia benar-benar duduk di sana! Dia memilih untuk melanjutkan garapannya dengan duduk di sofa ruang tamuku! Aku senang sekali, hehe. Tapi, sekaligus deg-degan! Astaga... dia kembali lembut dan meneduhkan. Sean yang menenangkan dan meneduhkan kembali!
Beberapa menit lalu yaitu ketika dia menurunkanku di depan pagar rumah, Sean mengatakan, "kamu sendirian, kan? Mending aku temenin, sekalian aku terusin tugasnya... Lagian masih banyak yang harus aku tebus juga sama kamu. Maaf ya..." ya, Sean ternyata masih merasa bersalah. Itulah yang membuatku makin meleleh kala mendengar permohonan maafnya. Itulah yang membuat perasaan sayangku untuknya enggan menghilang. "Salah satunya nemenin kamu." bibir yang tersenyum lebar itu menunjukkan lesung pipi yang malu-malu untuk keluar. Aku yang semakin kagum hanya bisa terkesima dengan mata yang tak kunjung berkedip. Hingga detik berikutnya aku mempersilakan Sean masuk bersama motor merah besarnya. Aku pamit sebentar guna bersih-bersih dan menyiapkan hidangan untuk kita nantinya.
Dan di sinilah aku, berdiri dengan satu nampan di tangan yang muat menampung dua gelas coklat panas, satu gelas kosong, dan seteko air putih biasa. Gilanya aku, aku masih asik memandanginya dari ruang makan. Tapi, karena tak mau Sean menunggu lama dan aku harus beli cemilan, kakiku perlahan mengayun menuju laki-laki yang nampak fokus dan menatap layar laptop lekat-lekat. Sampai di dekat meja aku bersuara, "jangan lupa diminum..." Sean mengiyakan spontan, sambil melirikku. Tanganku lantas sibuk memindahkan semua barang di atas nampan, ke meja di depan Sean "Ya udah, aku keluar sebentar ya..."
"Mau ngapain?" jidatnya langsung membentuk lipatan-lipatan.
"Mau cari cemilan. Masa kamu nggak aku kasih makan?"
"Enggak usahlah! Bahaya cewek keluar malem-malem!"
Aku membuang napas panjang, khawatir juga ternyata. "Terus? Nggak ada cemilan, loh."
"Ya udah, kamu masakin apa aja yang ada, kan bisa...."
"Yah... aku jarang makan di rumah. Nggak ada apa-apa juga di kulkas, selain air dingin sama minuman berasa... Eh-roti kayaknya ada, roti aja gimana?" karena aku masih ada roti tawar, menu untuk sarapan kalau tidak buru-buru ke sekolah.
Senyum kecilnya tersungging dengan mengangguk-angguk dan menjawab, "iya, apa aja boleh yang penting tetep nemenin kamu."
"Ooo-oke, tunggu." Sean yang mengiyakan, membuat tubuhku berbalik dalam satu detik, lalu jalan cepat-cepat ke arah meja makan untuk menyiapkan roti.
Kuambil piring datar warna putih di dapur sebelum mengeluarkan lima lembar roti tawar dari wadahnya yang selalu ada di atas meja makanku. Masing-masing lembar kuolesi selai yang berbeda-beda karena laki-laki yang masih mengenakan seragam sekolah itu pasti tak mempermasalahkan rasa. Apa saja Sean doyan. Bukankah rata-rata cowok memang seperti itu? Sean pun sama, apa saja dimakan kalau memang itu makanan, hahaha. Bukan rakus ya!
"Oke, siap!" kuletakkan roti yang terakhir bersama tumpukan empat roti lainnya. "Nampan! Loh-loh..." aku lupa. "Ah iya! Tadi kan ke dapur dulu."
Begitu siap, aku langsung membawanya ke meja ruang tamu, di mana tamu spesialku berada. Aku yang sedikit menampilkan senyum kala melihat Sean, tiba-tiba melongo saat poni panjangnya dirapikan ke belakang dengan jari-jarinya sendiri. Membuat ketampanan Sean berkali-kali lipat lebih tampan, padahal dia belum mandi. Menurutku, sangat-sangat keren.
"Udah ya? Perutku tiba-tiba keroncongan De, hehe..."
"A-ah iya-iya. U-udah kok." kutaruh piring putih di tanganku ini di samping teko, "i-ini... Siap dimakan!" seruku menutup rasa grogi lalu memeluk erat nampan plastik sambil berdiri menatap Sean.
"Oke, makasih!" tanpa pikir panjang, Sean mengambil salah satu roti yang sudah tidak tawar itu. "De, aku boleh numpang kamar mandi nggak? Aku gerah, pengen mandi."
"O-iya" aku manggut-manggut. "Boleh kok, boleh banget."
"Makasih..." diacak-acaklah surai panjang yang sudah tergerai rapi dari kepala sampai pinggang. Tapi dalam sekejap, kata rapi itu hilang karena ulah lelaki yang sedang sibuk mengunyah roti.
Sean pun bangkit usai mengambil kaos abu-abu dari tas ranselnya. Di saat itulah aku duduk di sofa yang baru saja ia tempati. "Aku cek ya!" pekikku sambil menunjuk laptop di depanku.
Karena Sean yang tak kunjung melepas pandangannya dariku, ia memberikan acungan jempol. Sebelum dia sungguh-sungguh mengangkat kaki, cowok pemilik mata teduh itu menyomot satu roti lagi yang membuat mulutku spontan terkekeh. Dia malah tertawa lebar, berlari menjauh dari hadapanku. Tak lama, sosoknya menghilang begitu punggung tegap itu masuk ke kamar mandi yang ada di dekat dapur.
"Gantengnya ya Tuhan... Aduuuh... Duh-duh."
Detik ini aku harus mengalihkan pikiran ke laptop yang sedari tadi menyala daripada keracunan karya Tuhan apalagi kalau bukan wajahnya Sean.
Sorot mataku mulai lurus ke depan. Menatap intens ke layar yang menyuguhkan deretan kata, puluhan kalimat, dan jutaan makna. Di kelas sebelas ini, program guru Bahasa Indonesia semakin ketat dan tegas. Kalau di kelas sebelumnya para murid disuruh fokus dari semester dua, di kelas sebelas ini beda. Guru kami mengatakan jika tuntutan di kelas dua belas itu lebih berat. Maka dari itu untuk memaksimalkan keseriusan, keniatan, dan pengetahuan kita, para murid harus menyiapkan diri dari kelas sebelas. Jadi, terima saja kalau tugas kelompok benar-benar sulit. Ingat, masih ada internet! Aku juga masih harus mempelajarinya lebih sungguh-sungguh lagi. "Wiiih...!" Sean berhasil menuntaskan. Sudah aku cek bagian akhirnya, dan ternyata cukup memuaskan. Tak salah kalau kemarin sampai tadi ekspresinya serius terus-menerus. "Luar biasa... bagus-bagus..." komentar-komentar yang terlontar dari mulutku saat kembali meneliti tiap-tiap kalimatnya. "...siplah, keren!" memang semua bukan hasil dari otak Sean, tapi banyak kalimat di paragraf terakhir yang ditambahnya. Beberapa contoh juga dia yang menambahkan.
"Dea... Makasih ya kamar mandinya."
"Iya-iya..." balasku tanpa menoleh. "...santai aja."
"Oke." sahutnya.
Harum. Kucium dengan menghirup udara di sekitarku dalam-dalam, wangi sabun yang kupakai tadi menusuk lembut bagian hidung terdalamku. "Ini hasil akhirnya bagus, loh..." ucapku yang masih tertuju pada rangkaian kata di dalam layar dan mengesampingkan harumnya sabunku itu. "A-akhirnya ya..." ucapanku terputus begitu menoleh ke kiri, di mana Sean duduk dan seberapa dekatnya wajahku dengan pipi Sean.
"Kenapa?" tanyanya yang turut memeriksa layar di depan kami.
Napasku semakin memburu. Kutarik mundur tubuhku agar berjauhan dan menyerap oksigen dalam-dalam supaya dadaku tidak sesak. Aku juga memberi hidungku waktu yang banyak untuk membuang napas panjang. "I-itu udah bagus kok... barusan, barusan aku cek."
"Oooh... iya." tangannya langsung bermenari di atas keyboard. Tiga detik kemudian si layar berubah jadi hitam. "Kamu beneran sendirian?"
"I-iya, kenapa?"
"Kamu tidur di rumah Alin aja. Aku nggak tega kalo kamu di rumah sendiri." masih selalu perhatian. Huh! Ingat Dea, dia udah punya pacar! Aku masih sibuk mengatur napas karena melihat penampilannya yang segar. Terpesona selalu aku dibuatnya. "Kamu siapin seragam sama buku yang buat besok, sana! Nanti aku anter ke Alin."
"Yakin?" Sean mengangguk pasti. "Oke."
°•°•°
Terima kasih banyak-banyak untuk kalian yang nambahin DeaSea ke library sama ngasih power stone <3
Ada yang mau disampaikan?
STAY HEALTHY! <3
See You :*
God bless you :)
Penciptaan itu sulit, dukung aku ~ Voting untuk aku!
Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!