webnovel

Hari Berikutnya

Hari Berikutnya

Pagi sudah datang, Yuki sudah terjaga dari tidurnya, namun ia masih enggan untuk bangun. Seolah sudah tersugesti Yuki pun malas sekali jika pagi sudah datang karena hanya akan ada kesepian dan rasa bersalah. Jika pagi hari sebagian rumah akan terisi dengan teriakan bocah dan juga kesibukan para penghuninya sebelum beraktivitas, maka lain hal dengan rumah Yuki. Tak akan ada suara bising itu kecuali suara langkahnya sendiri dan juga asisten rumah tangganya.

Cahaya matahari dan angin sepoi-sepoi yang berasal dari jendela yang juga berfungsi sebagai pintu itu membuat Yuki tersadar dari tidurnya, rupanya semalam ia lupa untuk kembali menutup pintu tersebut.

"Non.... Sudah pagi....!" Teriak Bi Imah pembantu rumah tangga yang bekerja di rumah Yuki. Sudah menjadi rutinitas Bi Imah di setiap paginya untuk membangunkan sang majikan. Karena Yuki termasuk orang yang susah bangun pagi, jadi Bi Imah adalah alarm Yuki agar tidak keterusan tidur yang akan mengakibatkan dirinya telat berangkat ke Butik.

Yuki mengumpulkan nyawanya, tangan mungil Yuki membuka laci di sebelah tempat tidur untuk mengambil ikat rambut kemudian mengikat rambutnya dengan asal.

"Non...." Merasa belum ada jawaban Bi Imah pun memanggil majikannya lagi sembari mengetuk pintu kayu tebal kamar sang nyonya.

"Iya Bi, aku sudah bangun...!" Jawab Yuki keras, agar suaranya bisa menembus pintu.

"Iya Non, kalau begitu Bibi lanjut bikin sarapan!"

"Hmmm...." Gumam Yuki.

Yuki beranjak dari tempat tidur, tempat ternyaman baginya. Langkah kakinya berjalan menuju ruang sebelah yang masih berada dalam satu ruang dengan kamarnya yaitu ruang kerja. Yuki sengaja membuat ruangan lain di dalam kamarnya karena itu adalah tempat ternyaman bagi dirinya.

Kaki Yuki melangkah menuju sudut ruangan di mana ia meletakkan sebuah foto kesayangannya di sana. Foto yang tak pernah absen ia pandang jika bangun tidur dan menjelang tidur, apalagi saat matanya enggan terpejam. Ia akan memandangi foto tersebut dengan sejuta perasaan rindu.

Aku akan menunggu waktu dimana masa itu akan datang

Puas dengan apa yang dilakukan, Yuki segera masuk ke dalam kamar mandi, membersihkan diri dan bersiap pergi ke Butik.

Mengurus butik sudah menjadi pekerjaan Yuki beberapa tahun belakangan ini, Yuki akan benar-benar menyibukkan diri di sana sembari melupakan sedikit permasalahannya.

***

"Pagi, Cika!" Sapa Yuki pada salah satu karyawan terbaiknya.

"Pagi, Bu." Balas Cika semangat.

"Layanai pelanggan dengan baik dan semangat." Pesan Yuki pada anak buahnya. Selalu kata itu terucap dari bibir manis Yuki agar para karyawannya selalu baik pada pelanggan. Yuki selalu memegang semboyan 'Pembeli adalah Raja' sehingga ia selalu menomor satukan pelayanan yang baik kepada para pelanggannya dan juga kualitas terbaik untuk rancangannya.

Di Butik ini bukan hanya Yuki yang mendesain baju-bajunya tetapi juga ada dua desainer lain yang Yuki pekerjakan. Jujur Yuki sering kewalahan apalagi saat orderan yang sedang banyak sehingga membuat Yuki tak mampu menanganinya sendiri, maka dari itu Yuki mempekerjakan desainer lain dengan keterampilan yang bagus juga. Terbukti selama lima tahun butik milik Yuki belum pernah sekalipun ada yang komplain.

Tangan terampil Yuki menggambar beberapa busana pria dan wanita yang akan ia promosikan dalam sebuah acara besar di Jakarta nanti. Ajang ini selain sebagai promosi juga sebagai penilaian untuk Yuki seberapa besar karyanya diminati oleh publik. Sehingga Yuki tak pernah main-main dalam pekerjaannya kali ini.

"Bu bos ada tamu," Cika melongok ke ruangan Yuki, member tahu kalau bis besarnya ada tamu.

"Siapa ?" Tanya Yuki

"Pak Verrel, bu."

"Oke suruh masuk aja..."

"Siap bu, permisi..."

"Ya..."

Yuki membenahi sebentar ruangannya yang sudah seperti kapal pecah bekas lemparan-lemparan kertas dan beberapa sisa potongan kain. Ia tidak ingin sang tamu melihat betapa hancur ruangan kerjanya, meski tak rapi-rapi amat setidaknya layak untuk dipandang.

"Wah, sepertinya sibuk nih!" Ucap Verrel. Kebiasaan Varel jika masuk ruangan Yuki maka tidak akan ucap salam dan ketuk seperti yang lain.

"Bukan sepertinya, tapi emang sibuk."

Yuki mendekati Verrel dan duduk bersama di sofa tamu.

"Tumben lo kesini pagi-pagi, mau ngapain?" Tanya Yuki tanpa sapa basa-basi.

"Nyantai dulu napa, tawarin gue minum kek atau apa gitu."

"Itu si mau lo, males gue kasih lo minum. Entar jadi kelamaan yang ada pekerjaan gue nggak kelar-kelar karena ngeladenin lo."

"Segitunya lo sama gue. Gue kesini mau ngajakin lo makan siang." Polos Verrel, sepertinya Verrel nggak bisa baca jam.

"Ini masih jam sepuluh, Varel sayang ..... lo mau ngajak gue makan siang, gila aja."

"Iya, gue juga tahu. Sengaja emang, gue kan jadi ada alasan buat nungguin lo."

Yuki menutup kedua mukanya dan mengusapnya kasar. "Ajak aja sana pacar lo, kasian dia punya pacar tapi rasa nggak punya."

"Ketimbang lo, punya suami tapi rasa nggak punya!" Sindir Verrel tajam.

Seketika asap mengepul di atas kepala Yuki. Yuki tak tahu Verrel memiliki masalah apa dengannya hingga harus membuka luka itu kembali. Tatapan tajam seorang Yuki menghunus tajam ke mata Verrel, Verrel yang ditatap pun seketika sadar akan kesalahannya.

Kembali ke meja kerjanya adalah pilihan tepat untuk Yuki. "Pergi kamu dari sini!" Perintah Yuki dingin.

Mendengar perintah Yuki membuat Verrel tak berani membantah, Verrel tak bisa berkutik atau bahkan membela diri. Ia pun tak bisa merubah mood buruk Yuki begitu aja. Maka ia akan memilih pergi daripada Yuki mengamuk bisa lebih bahaya.

"Sorry Kuy, nggak ada maksud." Tulus seorang Verrel, ia memandang pundak Yuki yang turun.

"Gue pulang," Pamit Varel.

Seketika Yuki menyembunyikan wajahnya di atas meja, tia-tiba saja kepalanya terasa berat. Pikiran Yuki menerawang ke masa lalu. Kesal, pedih, sakit, menyesal itu yang selama ini Yuki rasakan. Lama Yuki menentramkan hatinya, namun tiba-tiba saja semua terbuka begitu saja.

Prak

Yuki melempar segala apa yang ada di meja hingga terbang dan mendarat drastis di lantai, bahkan gambar-gambar indah yang sudah ia ukir turut menjadi korban kekesalan hatinya.

Sementar itu di parkiran kantor Yuki, Verrel masih diam di dalam mobil. ia mengambil HP yang ada di saku jas dengan cepat kemudian mengetikkan beberapa kalimat pada seseorang.

"Lo emang brengsek... sudah lama kalian pisah, namun luka itu masih menganga lebar di hati dia."

Begitu kiranya isi pesan yang Verrel kirimkan kepada orang di seberang anta berantah.

***

"Gue punya salah apa sama lo, sampai pagi-pagi lo sms gue nggak mutu gitu?!."

"Patah Hati lo? Sorry gue juga belum sembuh." Tambah Stefan lagi.

"Maaf..." Ucap orang di seberang sana kemudian sambungan dimatikan begitu saja.

Stefan menatap heran dengan apa yang terjadi barusan. Dia hanya menggelengkan kepala sambil berdecak kesal kepada temannya.

"Ayah...." Teriak bocah cilik dibalik pintu.

Stefan yang tadi niatnya mau tiduran lagi pun gagal karena panggilan dari bocil di luar.

"Ayah....!!" Teriak bocah cilik itu sambil mengetuk pintu dengan tangan kecilnya..

"Iya," Jawab Stefan semangat. Entah kenapa setiap mendengar apalagi melihat bocil yang suka sekali memanggilnya dengan sebutan ayah, semangat seorang Stefan langsung tergugah begitu saja meskipun dalam keadaan tubuh yang lelah sekali, semua rasa itu akan sirna hanya karena melihat dan mendengar teriakan putranya.

Klek

Pemandangan yang indah terpampang di depan Stefan saat membuka pintu kamarnya, tampak bocah kecil berpakaian piaya tidur bergambar kartun kesukaannya berdiri dengan wajah cemberut dan kedua tangan berada di pinggang.

"Kenapa ayah lama sekali membuka pintunya, tangan dan sualaku sakit. " Adunya sembari menunjukkan tangan mungil yang sedikit memerah kemudian ia memegang lehernya.

Stefan langsung mengangkat tubuh anaknya ke dalam gendongan sambil membawa si bocil masuk ke kamar. Stefan mengusap tangan mungil sang anak dan ia dekatkan ke arah mulutnya. Segera ia meniup-niup tangan merah itu berharap setelah tiupan tersebut tangan mungil sang putra sembuh, tak lupa ia juga mengecek leher sang putra.

"Kasihan sekali anak ayah ini, maafkan ayah ya sayang. Ayah tadi habis telpon sama teman ayah. Ini minumlah, supaya tenggorokannya tidak sakit" Stefan meminta maaf pada sang anak sambil memberikan segelas air putih. Tangan mungil itu pun meraih gelas yang stefan sodorkan.

"Aku maafkan..." Ucapnya.

"Makasih jagoan ayah!"

"Ayah, kapan aku sekolah? Bang Angga udah, Aila (Aira) juga udah. Kok aku beyum ciii..."

"Satu tahun lagi ya, makanya Danis rajin belajarnya di rumah baik sama ayah, kakek atau nenek dan juga tante Na. Biar bisa sekolah di PAUD, bisa belajar juga sama teman baru.

Anak kecil yang sekarang sedang bermanja dengan Stefan di atas kasur adalah putranya, Danish Arka Alghifari William. Putra pertama Stefan merupakan cucu pertama di keluarga William.

"Ote ote ayah," Semangat Danish.

Sejak kemarin putranya itu merasa kesepian karena berada di rumah sendiri, melihat saudara-saudara sepupunya sekolah Danish pun bertanya kenapa mereka harus sekolah, apa karena tidak mau bermain dengannya?. Setelah Stefan dan kedua orang tuanya menjelaskan tentang sekolah, Danish pun mulai meneror sang ayah untuk segera menyekolahkannya.

"Sekarang mandi, mau ikut ayah ke restoran apa enggak nih jagoan ayah?."

"Ikut....!!!"

次の章へ