webnovel

Nightmare

Axelia tidak mengenali tempat ini. Tempat tanpa cahaya mentari selain awan mendung yang menyelimuti langit biru. Mungkin tidak lama lagi akan turun hujan. Seperkian detik kemudian Axelia terpegun seketika saat melihat dirinya di seberang. Tidak tahu mengapa dia merasa yakin sekali jika gadis itu adalah cerminan dirinya. Gadis di sana memiliki rambut panjang berwarna putih, dengan mata terhalau kain, dan dia memakai gaun hitam yang elegan. Benarkah itu dirinya? Axelia tak pernah ingat punya gaun sebagus itu di rumah.

Di hadapan gadis itu telah berdiri seorang pria baya berambut cokelat ikal. Axelia tidak mengenalinya. Wajah mereka berdua tampak buram di pandangan. Hanya wujud yang tampak nyata berada di depan mata. Kemudian gadis bergaun hitam itu mengangkat tangan kanannya. Sebuah pisau teracung ke udara. Dalam sedetik dia menancapkan pisau tepat ke jantung pria baya. Axelia membeku. Lalu terkejut ketika menyadari di tangannya sendiri sudah menggenggam pisau berlumuran darah. Axelia terdorong mundur. Syok. Semakin kaget begitu mendapati Aiden berdiri di seberangnya. Wajah lelaki itu tercengang. Mengira bahwa Axelia lah yang telah membunuh pria baya dihadapannya yang sekarang tergeletak bersimbah darah. Axelia menggeleng kaku. Ingin bicara pun lidahnya mendadak kelu.

Axelia tak dapat membela dirinya sendiri. Dia terpojok oleh tatapan benci Aiden. Sorot mata yang mengerikan dari sosok Aiden yang selalu bersikap lembut kepadanya. Sekarang nampak sangat berbeda. Seperti itukah Aiden yang sebenarnya? Kemudian suara-suara lain menyerangnya dengan nada tudingan bertubi-tubi. Axelia menggeleng-geleng cepat sambil menutupi telinganya. "Aku tidak membunuhnya! Aku tidak membunuhnya!" teriak gadis itu frustasi.

Axelia tersentak bangun. Wajah khawatir Hannah terpampang di atas gadis itu setelah mengguncangkan tubuhnya. "Apa kau baik-baik saja?" tanya Hannah. Raut cemasnya tidak dapat terlihat oleh mata Axelia. Walau begitu suaranya sudah menunjukkan kekhawatiran wanita ini terhadap dirinya. "Kau tidur dengan gelisah sambil mengerang-erang. Jadi kubangunkan. Ini, minumlah dulu." Hannah bergegas mengambil segelas air di nakas meja ketika Axelia beringsut duduk. Kemudian diserahkan padanya yang diterima dengan baik. Axelia menandaskan air putih itu singkat.

Mimpi tadi terasa nyata. Mimpi buruk yang tak seorang pun menginginkan hal itu terjadi.

"Aku belum mengajakmu jalan-jalan di kota ini, bagaimana kalau kau ikut denganku ke suatu tempat?" ajak Hannah.

"Ke mana?"

"Kota ini punya pemandian air panas terbaik. Sangat disayangkan jika kau tidak mencobanya," jawab Hannah menyengir.

***

Hannah memerosotkan posisi duduknya sehingga membuat ia terlihat hampir tenggelam. Gelembung-gelembung kecil bermunculan di depan hidungnya yang separuh terbenam di air ketika mengembuskan napas, dengan tatapan terarah tajam pada Axelia dihadapan. Sementara yang ditatap tampak duduk anteng menikmati air hangat di tubuhnya. Rambutnya disanggul asal, memperlihatkan leher jenjang putih serta bahu mulusnya tanpa tertutup pakaian.

Baru kali ini Hannah merasa minder sebagai seorang wanita perkasa saat mereka berendam di sauna sekarang. Padahal ada banyak wanita di sekitar yang berlalu lalang telanjang, tetapi Hannah tidak merasa cemburu oleh tubuh molek mereka selain terhadap Axelia. Karena tidak ada yang sebulat sempurna seperti milik harta kembar Axelia.

Akhirnya helaan napas membuat pundak Hannah turun melemas. "Axelia, apa kau memakai semacam ramuan?" tanya Hannah tiba-tiba. Dia ingin tahu.

"Huh?" Axelia tidak mengerti. "Apa maksudmu?"

"Itu... Apa kau meminum atau mengoleskan sesuatu ke dadamu?" Hannah memperjelas dengan agak ambigu.

"Memangnya kenapa dengan dadaku?" Axelia bertanya dengan raut polos. Hannah jadi gemas sendiri. Kemudian dia menarik napas. Kepolosan Axelia memaksanya mengatakan sesuatu yang memalukan baginya. "Aku ingin tahu apa yang membuat kedua dadamu berbentuk sempurna," pungkas Hannah dalam sekali tarikan napas.

"Aku tidak tahu standar sempurna itu seperti apa, dan aku tidak pernah melakukan sesuatu untuk dadaku," jawab Axelia kontan.

Hannah memelotot. Seakan tidak percaya. "Sungguh?"

Hanya anggukan gadis itu yang membungkam mulut tercengang Hannah.

***

Tim penerima surat kabar di menara hari ini kedatangan burung gagak. Salah seorang petugas bergegas membuka tali di kaki burung gagak itu. Tersemat sebuah perkamen di kakinya. Dia membaca nama pengirim gulungan kertas itu yang tertera pada pita. "Kirimkan ini pada komandan Nightroad Zero!" perintahnya pada seorang junior. Kopral junior terkesiap menerima tugas. Surat pun diantarkan ke tempat tujuan.

***

Selesai dari sauna, mereka melewati pasar. Tak sengaja Hannah melihat seseorang yang tampak akrab dipandangan. "Bukankah itu mirip komandan?" ragu Hannah mengerucutkan mata karena banyak sekali orang berlalu lalang di sekeliling, sampai kuda pun memaksa menerobos kerumunan manusia, semakin menyempitkan jalan. Sedangkan dipandangan Axelia, semua orang terlihat putih buram sesuai tinggi tubuh mereka dengan latar hitam. Warna itu adalah warna jiwa manusia dan binatang. Secara tak langsung membuat Axelia tidak bisa membedakan bentuk manusia dan binatang. Hanya makhluk hidup yang dapat Axelia lihat melalui mata jiwanya, karena itu dia sudah tiga kali menubruk benda terdekat. "Aw!" Lagi, dia kembali merasakan benturan ringan di kakinya karena meja lapak milik pedangan.

"Hati-hati," kata Hannah yang tak melepaskan gandengan Axelia agar tidak terpisah di tengah kepadatan pasar. Tujuan mereka terlihat di depan mata. Namun, rintangan di jalan membuatnya terasa lama dan jauh. Hannah mencebikkan bibir. Mereka harus beberapa kali berkelit dari arus berlawanan. Terkadang menghindari pemanggul karung yang nyaris menabrak wajahnya, sampai terlonjak saat menginjak ekor kucing yang sedang menikmati ikan curian. "Inilah yang sangat tidak kusuka dari pasar," dengus Hannah.

Axelia meringis. Apalagi dirinya yang baru pertama kali ke pasar sebuah kota besar -jelas saja akan penuh sesak oleh manusia. Bau tak sedap tentu tercium di mana-mana. Semua itu takkan dialami hari ini bila melewati jalan saat pergi ke sauna tadi. Tapi mereka tetap harus menerobos ombak daratan itu agar tiba di sana, Hannah ingin memastikan apa yang sedang dilakukan komandannya di pasar. Hingga mereka berhenti di depan rumah pandai besi, dan Hannah tidak salah lihat. "Apakah kita sampai ditempat Vincent?" tanya Axelia.

"Ya," jawab Hannah.

Usai berbicara dengan seorang pandai besi, kemudian punggung jubah hitam pria itu berputar arah dan tatapan terpegun tampak di mata biru Vincent. Vincent dapat mengendalikan dirinya dari keterkejutan dengan ketenangan stabil. Lalu menarik langkah maju. "Apa yang kalian lakukan di pasar? Membeli sesuatu?" sapa Vincent berbasa-basi pada orang yang dikenalnya.

"Tidak..., kami dari sauna," jawab Axelia jujur.

"Begitukah?" Lalu Vincent mengerling pada Hannah saat mengatakan, "Tiga puluh menit lagi kita akan rapat." Tanpa bicara panjang lagi, dia berlalu pergi. "Baik! Aku tidak akan terlambat," ucap wanita itu, dan punggung Vincent sudah menghilang ditelan kerumunan orang.

"Kira-kira apa yang sedang dilakukan komandan di tempat ini, ya?" gumam Hannah.

"Tanya saja pada pandai besi itu." Axelia menanggapi. Celetukannya membuat Hannah tersentak. "Eh?? Tidak bisa, aku tidak bisa melakukannya!" kaget Hannah sambil menggeleng-geleng cepat, walau dalam hati dia ingin sekali melakukan ucapan Axelia. Tapi jika dilakukan, baginya, akan seperti mata-mata yang menguntit atasan sendiri. Sangat buruk. Hannah masih punya kesopanan. Dia jadi gregetan sendiri sambil menggigit bibir bawahnya.

"Kalian butuh apa di sini?" tegur seorang pandai besi. Tubuhnya nampak berminyak karena keringat, lengan bisep yang terbentuk dari kerja keras, dan pakaian kotor akibat asap pembakaran sudah menjadi makanan sehari-hari mereka sebagai pandai besi.

"Apa kau tahu apa yang dibicarakan pria tadi kepadamu?" Axelia bertanya to the point. Berhasil menghentikan delima benak Hannah jadi tenang. Wanita itu menatap pandai besi dengan penuh harap.

"Kami selalu menjaga identitas pelanggan kami. Jika kalian ingin mengetahuinya, silakan tanyakan langsung pada pria itu sendiri," tolak pria yang nampak seumuran dengan Julian itu.

"Baiklah. Sepertinya itu tak ada urusannya dengan kami. Ayo kita kembali ke asrama, Hannah. Kau akan terlambat," kata Axelia mengingatkan.

"Baiklah..." lesu Hannah setengah hati.

***

次の章へ